Jumat, 19 Juli 2013

Sinergi Trinue dalam Pembelajaran Menulis



Sinergi Trinue Kecerdasan dalam Pembelajaran Menulis

Oleh: Sugerman
(Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Bahasa Indonesia)

Pendekatan pembelajaran dalam kurikulum 2004 diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam mengelola hasil belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses belajar lebih mengacu pada bagaimana siswa belajar dan bukan pada apa yang dipelajari (Depdiknas, 2004). Sejalan dengan tuntutan tersebut, mengharuskan setiap praktisi pendidikan, dalam hal ini guru terus berinovasi dan berkreasi dalam mengembangkan strategi pembelajaran, sehingga kemampuan dasar yang distandarkan dalam kurikulum dapat tertanam baik dan menjadi cikal bakal pengembangan potensi pada diri setiap individu siswa.
Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa. Keterampilan ini berkaitan dengan keterampilan lain, yakni membaca. Dalam kurikulum, keterampilan ini bisa diwujudkan dalam bentuk materi menulis. Sebagaimana materi lainnya, materi ini pun seharusnya disajikan secara bertahap. Sehingga menulis merupakan keterampilan lanjutan yang cukup kompleks, materi yang diajarkan sebelumnya harus benar-benar dipahami dahulu oleh siswa mengingat materi tersebut menjadi prasyarat, misalnya menyusun kalimat. Metode dan teknik mengajar yang tepat sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang baik terhadap materi ini.
Bukan  jika menulis masih merupakan ‘beban’ berat dan menuntut kemampuan yang tidak mudah. Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang dianggap tidak menyenangkan bagi sebagian besar orang. Sayangnya, sebagian besar mereka adalah kaum akademisi. Keterampilan menulis mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan. Ia dapat menunjang kesuksesan hidup seseorang. Dengan keterampilan menulis, seseorang dapat melibatkan diri dalam persaingan global yang terjadi. Di era informasi yang serba canggih ini, semua informasi disajikan secara instan dalam media yang beragam, termasuk media cetak. Kebutuhan untuk berkomunikasi menjadi suatu hal yang penting kemampuan berkomunikasi dengan baik, benar, efektif, dan efisien adalah tuntutan mutlak. Oleh karena itu, keterampilan berbahasa (berbicara, menyimak, membaca, dan menulis) menjadi hal mutlak yang harus dikuasai agar kita, kaum akademisi, tidak hanya menjadi penonton saja, tetapi juga ikut menjadi bagian kemajuan jaman.
Tanpa meremehkan tiga keterampilan berbahasa yang lain, menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling penting dan sulit dikuasai. Namun demikian, pemelajaran menulis di sekolah ternyata belum mendapat tempat yang cukup. Pemelajaran menulis hanya mendapatkan porsi waktu yang sedikit dibanding dengan pemelajaran kebahasaan lainnya. Selain itu, guru hanya berorientasi untuk melihat hasil tulisan tanpa membelajarkan proses menulis pada siswa. Akhirnya, tujuan pemelajaran menulis hanya mengarah pada pencapaian kemampuan menulis siswa. Dengan kata lain, siswa hanya dituntut untuk cerdas secara intelektual saja. Hal inilah yang menjadikan menulis sebagai suatu ‘beban’.
Kalau guru hanya terfokus pada kecerdasan dalam menghasilkan tulisan, tentu saja siswa hanya diajarkan untuk cerdas secara intelektual. Siswa tidak dibelajarkan untuk mengolah emosi dan spiritualnya. Padahal di dalam pemelajaran menulis, ketiga kecerdasan ini sangat mungkin untuk dikembangkan. Kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual merupakan ketiga kecerdasan yang menjadikan manusia lebih bermartabat dan berkembang secara utuh. Utuh dalam arti tidak timpang sebelah. Kalau hanya memberatkan pada salah satu trinue kecerdasan itu dan tidak memerhatikan kedua kecerdasan lainnya, maka hidup seseorang tidak akan seimbang. Pada akhirnya, ia akan menjadi manusia yang ‘setengah-setengah’. Upaya penyelarasan ketiga kecerdasan tersebut bukanlah kewajiban bagian-bagian tertentu dalam pembelajarannya, seperti pelajaran agama atau moral, melainkan miliki semua pembelajaran yang ada, termasuk pemelajaran menulis.   
A.     Kabar Kusam Pembelajaran Menulis di Sekolah
Sekolah mendidik seseorang untuk mulai mengenal dunia ilmu pengetahuan. Selama di sekolah seseorang merasakan masa sulit dan berusaha untuk belajar keras. Dari keempat keterampilan berbahasa di atas, menulis diajarkan pada tahap akhir dengan persentasi paling sedikit dibandingkan aktivitas berbahasa lainnya. Akibatnya, kemampuan menulis siswa menjadi kurang memadai. Hasil pemelajaran menulis yang diberikan pada siswa selama belajar di sekolah tampak ketika memasuki jenjang perguruan tinggi. Tulisan mahasiswa kurang memuaskan. Tugas-tugas perkuliahan seperti paper, makalah, esai, dan lainnya menjadi sesuatu yang menyulitkan bagi mahasiswa. Mereka merasa menulis menjadi pekerjaan yang tidak menyenangkan, membosankan, dan membebani. Hal ini juga diakui oleh para siswa yang duduk di bangku sekolah menengah atas dan pertama. Tentu saja ini adalah penyakit yang sudah sekian lama tertanam pada anak bangsa dan sulit untuk diobati atau diubah. Hasil tulisan mahasiswa di tingkat awal pun masih kurang memuaskan. Padahal, pada tataran perguruan tinggi, seharusnya mereka sudah dapat menulis dengan penalaran, retorika, logis, sistematis, analitis, dan paham aturan bahasa yang baik dan benar. Namun, banyak tulisan mahasiswa yang masih jauh dari harapan itu. Hal ini merupakan suatu kondisi ironis dalam era global yang menuntut kualitas sumber daya manusia yang komparatif dan kompetitif. Lemahnya kemampuan menulis siswa, sesungghunya berakar dari pelajaran menulis siswa sejak bangku sekolah yang kurang bermutu.
Harus diakui bahwa pemelajaran menulis di sekolah sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat dari kuantitas dan kualitas pelajaran menulis di sekolah. Di tingkat SMA saja, pelajaran menulis tidak lebih dari seperempat bagian pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan kata lain, selama satu semester sekali atau dua kali saja siswa mendapat pelajaran menulis. Dalam waktu yang hanya sedikit itu, kualitas belajarnya pun kurang. Menulis hanya diajarkan sebagai pelajaran yang berorientasi pada hasil. Pemelajaran menulis sebagai proses akhirnya tersisihkan. Pemelajaran bahasa belum sepenuhnya berorientasi pada mengaplikasikan kemampuan berbahasa, tetapi masih pada teorinya. Waluyo menyatakan bahwa hal itu disebabkan pemelajaran bahasa Indonesia masih sering diberikan secara teoritis sehingga mengakibatkan performance bahasa siswa kurang. Teori-teori kebahasaan dan kesastraan lebih banyak diceramahkan guru di depan kelas. Bahkan, evaluasi pembelajarannya pun bersifat teoritis. Kondisi ini berkait pula pada keterampilan menulis siswa yang kurang, bahkan pandangan siswa terhadap menulis sebagai beban semakin kuat.
Syamsi menyebutkan bahwa selama ini pemelajaran menulis masih dilakukan secara tradisional dengan menekankan pada hasil tulisan siswa, bukan pada proses yang seharusnya dilakukan. Para siswa langsung menulis tanpa belajar bagaimana caranya menulis. Guru biasanya telah menyediakan beberapa macam judul atau topik karangan dan meminta siswa untuk memilih salah satu diantaranya. Para siswa kemudian diminta langsung untuk praktik menulis. Setelah selesai, hasil karangan dikumpulkan, dikoreksi, dan dinilai oleh guru. Model pembelajaran semacam ini terus-menerus terjadi yang mengakibatkan para siswa merasa jenuh dan kurang senang dalam pemelajaran menulis. Akhirnya kegiatan pemelajaran menulis dianggap sesuatu beban yang sangat memberatkan. para siswa akhirnya tidak memiliki pengalaman menulis. Pembelajaran menulis sebagai suatu proses di tingkat sekolah agaknya sulit terealisasi dengan melihat jam pelajaran yang sedikit. Namun demikian, hal itu tetap perlu untuk dilakukan.
Selain pentingnya pemelajaran menulis sebagai suatu proses, perlu juga dipahami bahwa proses menulis itu sendiri adalah sebuah pembelajaran. Dari rangkaian aktivitas kegiatan menulis, baik tahap prapenulisan (prewriting stage), tahap penulisan (writing stage), maupun tahap pasca penulisan (postwriting stage) dapat dimuati pembelajaran di luar materi penulisan. Hal ini menjadi nilai tambahan untuk pemelajaran menulis. Seseorang tidak hanya sekedar mampu menuangkan gagasannya secara baik, logis, sistematis dalam sebuah tulisan, tapi juga mampu mengolah daya keilmuan, perasaan, dan aspek moralnya ketika ia berproses menulis.  Ketiga aspek kecerdasan itulah yang akan memberikan nilai lebih dalam kegiatan menulis bagi siswa. Diakui atau tidak, kecerdasan tersebut (emosional, intelektual, dan spriritual) terlibat dalam proses penulisan. 
B.      Trinue Kecerdasan
Berbagai macam kecerdasan merupakan penemuan di bidang psikologi dewasa ini. Penemuan yang cukup populer adalah trinue kecerdasan yang terdiri atas kecerdasan kecerdasan emosional, intelektual, dan kecerdasan spiritual. Sebagian orang mengenalnya dengan istilah EQ (Emotional Quotient), IQ (Intelegency Quotient), dan SQ (Spritual Quotient).
1.       Kecerdasan Emosional
Daniel Goleman membuat terobosan baru dengan kemunculan kecerdasan emosional (banyak orang mengenalnya dengan istilah Emotional Quotient atau EQ) pada pertengahan abad XX. Goleman menyatakan kecerdasan emosional jauh lebih penting dari kemampuan skolastik seseorang dalam memengaruhi sukses hidupnya. Hal ini didasari oleh proses berpikir yang dipengaruhi gejolak perasaan. Kecerdasan emosional terkait dengan kemampuan seseorang dalam hal memberi rasa empati, cinta, motivasi serta menanggapi rasa gembira atau sedih. Zohar dan Marshall menyebutkan bahwa kecerdasan emosional memberikan kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan orang lain. Peran kecerdasan emosional dalam menunjang kesuksesan lebih banyak daripada kecerdasan intelektual. Nggermanto menyatakan bahwa secara sederhana IQ menentukan sukses seseorang sebesar 20%, sedangkan EQ memberi kontribusi 80%. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.
Kecerdasan emosional sangat erat dengan pengendalian diri. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan mampu mengendalikan dirinya dalam situasi apapun. Tingkat intelektual yang tinggi tidak menjamin seseorang akan berhasil tanpa kecerdasan emosionalnya. Semakin bertambah usia seseorang, semakin berkembang kemampuan mengendalikan emosinya. Pengendalian emosi juga terkait dengan pengendalian hidup yang lebih dikenal dengan manajemen hidup (life management). Dengan manajemen hidup seseorang akan terbiasa mengendalikan rasa marah, takut, gembira, terpesona, tersinggung, dan lainnya sehingga hidupnya akan lebih tertata. Intinya, seseorang yang dapat menekan gejolak emosi akan menikmati hidup lebih baik, dan itulah kecedasan emosional. Dengan kecerdasan emosional, orang mampu hidup dalam masyarakat secara harmonis. Selain itu, kecerdasan emosional juga akan memengaruhi proses berpikir secara positif.
Tidak kalah penting, hal yang masih ada kaitannya dengan kecerdasan emosi adalah cara menumbuhkan motivasi dalam diri penulis. Tanpa adanya motivasi, seseorang tidak akan lancar dalam menulis. Menulis harus tumbuh dari niat yang kuat. Jogja Writing School yang mulai dikembangkan awal bulan Juli ini juga merupakan sekolah menulis yang mengutamakan penanaman motivasi pada siswa didiknya (Kompas, 14 Juli 2005). Selanjutnya, dikatakan bahwa motivasi mendapat porsi hingga 60%, praktik menulis 30%, dan teori menulis 10%. Hal ini menguatkan pandangan bahwa kecerdasan emosional mempunyai peran yang tidak dapat diabaikan dalam hal penulisan. 

2.       Kecerdasan Intelektual
                   IQ atau kecerdasan intelektual muncul pada awal abad XX dan sangat merajai pengetahuan kecerdasan manusia. IQ menitikberatkan kemampuan intelek manusia pada kemampuan aritmatis, logis, dan verbal (Nggermanto). Banyak orang merasa bahwa IQ adalah satu-satunya tolak ukur kecerdasan manusia. Para orang tua sering membandingkan IQ anaknya dengan anak yang lain. Mereka menganggap bahwa IQ adalah ukuran tingkat kecerdasan seseorang. Semakin tinggi IQ anak yang dimiliki anak, maka orang tua akan semakin bangga. Namun mereka kadang kecewa jika mengetahui nilai hasil rapor anaknya tidak bagus, padahal IQ anaknya tinggi.
                   Westen menyatakan bahwa intelegensi berbentuk multifaset. Artinya intelegensi diperikan dalam berbagai bentuk. Rumusan kecerdasan pun beraneka ragam, tergantung pada wilayah kecerdasannya, seperti dalam kecerdasan ilmu pasti, sosial, humaniora, dan sebagainya. IQ hanyalah satuan ukuran yang menunjukkan taraf kemampuan seseorang. Biasanya intelegensi diukur di sekolah dan bersifat skolastik. Dengan demikian, IQ tidak menjamin dapat mengukur semua kecerdasan yang dimiliki seseorang. Dalam sejarahnya, IQ adalah sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Lewis Terman, yang mengandung konsep “mengukur” dan angka (Musfiroh). Alfred Binet membuat model tes IQ dengan membandingkan usia mental anak (MA) dengan usia kronologis anak (CA) yang kemudian dikalikan 100. Akan tetapi, IQ mengalami perkembangan sehingga teori Binet tidak dapat diberlakukan untuk tingkat dewasa. IQ berkembang sejalan dengan perkembangan usia dan akan stagnan atau bahkan mengalami penurunan setelah usia 18 tahun.   
3.       Kecerdasan Spiritual
Pada akhir abad XX muncul kecerdasan ketiga yang sekarang cukup popular, yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini dikenal dengan sebutan SQ atau spiritual quotient. Menurut Zohar dan Marshall, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam makna yang lebih luas. Kecerdasan spiritual ini merupakan suatu kesadaran diri yang membuat seseorang dapat lebih memaknai hidup. Dengan kecerdasan spiritual orang akan mampu mempunyai karakteristik: 1) bersikap fleksibel, 2) beradaptasi secara spontan dan aktif, 3) mempunyai kesadaran diri, 4) mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan dan rasa sakit, 5) memiliki visi dan prinsip nilai, 6) mempunyai komitmen, dan 7) mempunyai rasa tanggung jawab yang besar (Zohar dan Marshall). Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan jiwa yang dapat membuat manusia menjadi manusia utuh. Perlu dipahami bahwa kecerdasan spiritual berbeda dengan agama. Kecerdasan spiritual tidak dibatasi pada agama-agama tertentu, tetapi dapat membuat penganut suatu agama lebih memahami agamanya. Orang yang beragama belum tentu cerdas secara spiritual. Orang rajin shalat atau tidak pernah absen ke mesjid tetapi sering merugikan orang atau mencari kekurangan orang lain maka kecerdasan spiritualnya rendah. 

C.      Menerapkan Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spritual dalam Pembelajaran Menulis
Menulis adalah cara seseorang berkomunikasi melalui tulisan seseorang berusaha menyampaikan gagasan, ide, pendapat dan informasi kepada orang lain. Komunikasi dengan cara menulis akan berhasil baik jika apa yang hendak disampaikan dapat tepat sama dengan apa yang dipersepsi (Sopa). Sebagai ajang komunikasi, menulis banyak faktor yang terkait dengan seni berkomunikasi. Beberapa di antaranya adalah esensi komunikasi, hubungan antarpara komunikan, serta harmoni komunikasi. Kesemuanya itu tidak lepas dari ketiga macam kecerdasan yang ada dalam diri manusia seperti yang telah dikemukakan di atas
Menulis adalah cara berbagi ilmu pengetahuan. Melalui tulisan, orang akan mentransfer ilmu yang dimilikinya untuk para pembacanya. Dengan demikian, transformasi intelektual dilakukan. Menulis dalam membentuk apapun menuntut kerja otak untuk menuangkan hal yang ingin disampaikan. Dari kerja tulis-menulis ilmu dan keahlian seseorang telah dikembangkan. Oleh sebab itu, pengetahuan dan keahlian seseorang dapat dikembangkan secara akurat dan efektif melalui kegiatan menulis daripada sekedar membaca atau berdiskusi saja. Pemelajaran menulis adalah sebuah proses. Demikian halnya dengan proses menulis juga sebuah pembelajaran. Ada proses dalam pemelajaran menulis dan ada pemelajaran dalam proses menulis. Dalam hal ini ketiga (trinue) kecerdasan terpaut erat dan diharapkan dapat berkembang dengan seimbang.
Ketiga kecerdasan tersebut (emosional, intelektual, dan spiritual) merupakan kecerdasan yang memiliki wilayah sendiri-sendiri secara terpisah. Akan tetapi idealnya, kecerdasan tersebut saling melengkapi dan mendukung. Zuhri menyatakan bahwa IQ adalah kecerdasan yang paling dominan digunakan manusia untuk berhubungan dan mengelola alam. IQ ditentukan oleh materi otak manusia. Sementara itu, kecerdasan emosional merupakan kecerdasan yang digunakan manusia untuk berhubungan dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Kecerdasan ini dipengaruhi oleh kondisi dalam dirinya dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Kecerdasan ketiga, yakni kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang digunakan untuk “berhubungan” dengan Tuhan. Kesimbangan ketiganya sangat penting untuk mendukung keberhasilan komunikasi dengan media tulisan.
Di dalam proses menulis, tahap pranulisan, penulisan, dan pascapenulisan membutuhkan kerja otak dalam olah pikiran untuk menuangkan gagasan yang tersimpan dalam pikiran. Hernowo menyatakan kalau menulis merupakan suatu proses mengeluarakan apa saja yang tersimpan dalam diri penulisnya. Sebagai alat komunikasi, menulis diharapkan dapat mewakili apa yang disampaikan penulisnya secara tepat kepada para pembacanya. Oleh karena itu, penentuan genre, retorika, diksi, tatanan bahasa, ejaan, cara dan alur penyajian isi, kecermatan mengoreksi dan merevisi dalam proses penulisan menjadi bagian kerja otak. Hernowo menyatakan bahwa dalam menulis, tidak hanya kalimat saja yang dipentingkan, tetapi juga reseoning (penalaran). Dalam hal ini, kemampuan kognitif sangat berperan. Dengan kata lain, kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan. Dengan kecerdasan intelektual, seseorang dapat menulis dengan baik dan jelas untuk dipahami pembacanya.
Kecerdasan intelektual dapat dikembangkan dengan frekuensi menulis yang tinggi karena otak akan dipacu untuk terlatih dan cerdas. Demikian juga dalam aktifitas membaca yang digunakan untuk memperkaya penulisan, kecerdasan intelektual diperlukan. Dua kegiatan tersebut sangat berkaitan. Menulis dan membaca adalah dua aktifitas yang saling melengkapi dan mendukung. Keduanya adalah kegiatan “mengikat makna”. Dengan banyak membaca orang akan semakin kaya ilmu dan informasi yang dapat dijadikannya bahan tulisan. Orang yang menyukai kegiatan menulis alan cenderung menyukai kegiatan membaca. Kecerdasan intelektual dapat dikembangkan dengan dua aktifitas tersebut.
Akan tetapi, kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Di dalam penulisan juga diperlukan kecerdasan emosional. Ketika seseorang menulis, dia sedang mengakrabi dirinya dan mengelola perasaan yang ada dalam dirinya. Menulis merupakan cara menghadapi hidup, seseorang perlu melepaskan emosinya dan salah satunya dengan menuliskan ide maupun idealitas dalam dirinya. Sangat riskan seseorang yang menulis dengan emosi (tidak berlaku dalam penciptaan fiksi). Dalam menulis perlu suatu objektivitas, terutama tulisan ilmiah, sehingga hasil karya tulisannya akan lebih dapat dimaknai secara luas oleh pembacanya.
Pembelajaran menulis yang selama ini terjadi dirasakan kurang nyaman. Salah satu pemicunya adalah perasaan keterpaksaan dalam menulis. Para siswa belum menemukan suatu bentuk keleluasaan dan kepuasan emosi dalam menulis karena selama ini mereka dituntut cerdas secara intelektual, tetapi bukan emosional. Menulis sebenarnya bisa menjadi suatu kegiatan yang ikhlas, tanpa harapan akan imbalan apa pun, selain demi kepuasan. Apa yang terjadi dalam kehidupan ini dapat tercatat dalam bentuk tulisan. Motivasi dalam menulis menjadi bagian yang penting. Orang yang termotivasi untuk menulis akan lebih dapat menghasilkan tulisan yang baik. Namun demikian, cara memotivasi diri perlu dibelajarkan dalam upaya mencerdaskan emosi yang akhirnya melatihkan anak untuk mau menulis. Orang yang memiliki kemampuan menulis tinggi, jika tidak ada gairah dan motivasi menulis maka tidak akan menghasilkan karya atau tulisan. Dengan demikian, tampaklah peranan kecerdasan emosional dalam kegiatan menulis, di samping kecerdasan intelektualnya.
Adanya peranan kecerdasan emosional dan intelektual dalam penulisa, tidak akan berguna jika penulis tidak cerdas secara spiritual. Dengan kecerdasan ini, seseorang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Tanpa ini, orang akan menulis sesuka hati tanpa mempertimbangkan moral dan dampak tulisannya di masyarakat. Kecerdasan spiritual dapat menjadi pengendali penulis, dalam memilahkan aspek kebermanfaatan tulisannya. Tanggung jawab dan kejujuran dalam kepenulisan juga akan dapat diperoleh jika penulisnya cerdas secara spiritual.
Internet yang sekarang menjadi gerbang informasi super canggih dalam komunikasi instan, banyak ditemukan tulisan yang dapat merusak moral bangsa. Banyak tulisan di internet yang berbau SARA, mengandung unsur porno atau kurang senonoh, mengundang konflik, dan sebagainya. Padahal, internet sekarang bukan hal yang asing, bahkan untuk anak-anak dan remaja, yang secara emosi dan psikologi masih kurang kendali. Tulisan-tulisan tersebut dibuat oleh penulis yang tidak bertanggung jawab dan kurang memikirkan akiibat tulisannya. Mereka inilah manusia yang mempunyai kecerdasan spiritual rendah. Mereka cerdas secara intelektual dan mungkin emosional, tetapi tidak dalam spiritualnya. Akhirnya, kecerdasan yang kurang didasari kecerdasan spiritual penulisnya dapat menjadi pemicu masalah. Padahal, justru dengan menulis seharusnya kita dapat memecahkan masalah, sebagaimana yang diungkapkan Krasen yakni “actual writing can help us solve problems and make us smarter”.
Sinergi ketiga kecerdasan di atas dalam pemelajaran menulis menjadi suatu realitas yang didambakan. Dengan kecerdasan intelektual yang tinggi, kecerdasan emosional yang seimbang, dan kecerdasan spiritual yang terlatih, seseorang dapat menciptakan tulisan yang baik dan bermakna. Perlu suatu kesadaran bahwa dengan menulis kita berbagi ilmu dengan pembaca. Oleh karena itu, kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual menjadi bagian penting yang tidak dapat ditelantarkan. Proses dinamik otak dalam menyusun kata, tata bahasa, logika, retorika, dalam menulis perlu didukung emosinya yang baik. Selain itu, hasilnya nanti harus dapat dipertanggungjawabkan secara spiritual. Siswa di sekolah seharusnya mulai diarahkan dalam suatu lingkungan belajar yang menyeimbangkan kecerdasan tersebut.
Perlu diakui bahwa kita berada dalam budaya masyarakat yang belum seimbang antara kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual. Kecendrungan yang ada, pemelajaran menulis di sekolah lebih diarahkan pada kemampuan intelektualnya. Padahal, kurikulum yang mulai diberlakukan adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengutamakan skill para siswa dalam hal  kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian, sudah seharusnya dalam pembelajaran di sekolah, termasuk menulis, memerhatikan ranah kognitif (kecerdasan intelektual), ranah afektif (kecerdasan emosional), dan psimotorik siswa. Termasuk secara menyeluruh kecerdasan spiritual siswa. Dengan menyeimbangkan ketiganya, pemelajaran menulis akan menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Jika siswa sudah merasakan senang, maka kualitas tulisannya akan lebih mudah untuk diarahkan menjadi lebih baik. Dalam KBK dan KTSP guru diharapkan mengenali profil siswanya secara detail. Hal ini akan mempermudah guru dalam membantu siswa untuk mengembangkan ketiga kecerdasan itu dalam pemelajaran menulis.
Secara emosional, siswa dibelajarkan untuk mampu mengontrol emosi dan menata hatinya untuk menghargai pendapat kawannya. Para siswa tentunya bukan berasal dari suku, agama, dan ras yang sama, tetapi mereka diharapkan mampu menahan diri dan emosi untuk saling terbuka dan saling menerima. Dengan demikian, kecerdasan emosional mereka semakin meningkat. Terakhir, kecerdasan spiritual dilatihkan ketika siswa harus dapat menilai hal yang baik dan yang tidak, yang benar dan yang salah, yang sesuai dengan ajaran Tuhan atau yang tidak, dan sebagainya dalam menyikapi permasalahan konflik. Sikap bijaksana siswa dalam menyikapi masalah dan kejujurannya untuk menuangkan kebentuk tulisan menjadi pemelajaran spiritual. Dengan demikian, guru dapat mengetahui dan mengembangkan ketiga kecerdasan dalam diri siswa.
Pemelajaran menulis di atas, terbukti telah memadukan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual secara harmonis. Hasil yang diperoleh juga cukup mengagumkan, walaupun pada awalnya tidak sedikit siswa yang protes atau menertawakan. Namun, lama-lama siswa tertarik dan senang dengan pembelajaran tersebut. Akhirnya, menulis tidak lagi menjadi sebuah beban dan kegiatan yang tidak mengasyikkan. Indah memang kalau itu semua dapat berjalan pada sekolah kita yang mempunyai banyak keterbatasan.

Pemelajaran menulis yang menyenangkan masih menjadi impian hingga saat ini. Kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual masih menjadi target yang terpisahkan dalam pembelajaran. Suatu tantangan bagi pendidik untuk dapat membantu para siswa menyeimbangkan ketiga kecerdasan tersebut dalam aktivitas proses menulis siswa. Jika hal tersebut dapat diwujudkan, paradigma menulis sebagai sebuah beban yang berat dapat diubah. Dengan sinergi trinue kecerdasan itu, harapannya pemelajaran menulis dapat menjadi lebih baik, nyaman, dan menyenangkan. Menulis dapat menjadi suatu kegemaran. Melalui aktivitas menulisnya, para siswa pun dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Pada akhirnya, kita dapat membebaskan diri kita dari budaya menulis masyarakat kita yang memprihatinkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar