Sinergi Trinue Kecerdasan dalam Pembelajaran Menulis
Oleh: Sugerman
(Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Bahasa Indonesia)
Pendekatan pembelajaran dalam kurikulum 2004 diarahkan pada upaya
mengembangkan kemampuan siswa dalam mengelola hasil belajar (kompetensi) yang
paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses belajar
lebih mengacu pada bagaimana siswa belajar dan bukan pada apa yang
dipelajari (Depdiknas, 2004). Sejalan dengan tuntutan tersebut,
mengharuskan setiap praktisi pendidikan, dalam hal ini guru terus berinovasi
dan berkreasi dalam mengembangkan strategi pembelajaran, sehingga kemampuan
dasar yang distandarkan dalam kurikulum dapat tertanam baik dan menjadi cikal
bakal pengembangan potensi pada diri setiap individu siswa.
Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa.
Keterampilan ini berkaitan dengan keterampilan lain, yakni membaca. Dalam
kurikulum, keterampilan ini bisa diwujudkan dalam bentuk materi menulis.
Sebagaimana materi lainnya, materi ini pun seharusnya disajikan secara
bertahap. Sehingga menulis merupakan keterampilan lanjutan yang cukup kompleks,
materi yang diajarkan sebelumnya harus benar-benar dipahami dahulu oleh siswa
mengingat materi tersebut menjadi prasyarat, misalnya menyusun kalimat. Metode
dan teknik mengajar yang tepat sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang
baik terhadap materi ini.
Bukan jika menulis masih
merupakan ‘beban’ berat dan menuntut kemampuan yang tidak mudah. Kegiatan
menulis merupakan kegiatan yang dianggap tidak menyenangkan bagi sebagian besar
orang. Sayangnya, sebagian besar mereka adalah kaum akademisi. Keterampilan
menulis mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan. Ia dapat menunjang
kesuksesan hidup seseorang. Dengan keterampilan menulis, seseorang dapat
melibatkan diri dalam persaingan global yang terjadi. Di era informasi yang
serba canggih ini, semua informasi disajikan secara instan dalam media yang
beragam, termasuk media cetak. Kebutuhan untuk berkomunikasi menjadi suatu hal
yang penting kemampuan berkomunikasi dengan baik, benar, efektif, dan efisien
adalah tuntutan mutlak. Oleh karena itu, keterampilan berbahasa (berbicara,
menyimak, membaca, dan menulis) menjadi hal mutlak yang harus dikuasai agar
kita, kaum akademisi, tidak hanya menjadi penonton saja, tetapi juga ikut
menjadi bagian kemajuan jaman.
Tanpa meremehkan tiga keterampilan berbahasa yang lain, menulis
merupakan keterampilan berbahasa yang paling penting dan sulit dikuasai. Namun
demikian, pemelajaran menulis di sekolah ternyata belum mendapat tempat yang
cukup. Pemelajaran menulis hanya mendapatkan porsi waktu yang sedikit dibanding
dengan pemelajaran kebahasaan lainnya. Selain itu, guru hanya berorientasi
untuk melihat hasil tulisan tanpa membelajarkan proses menulis pada siswa.
Akhirnya, tujuan pemelajaran menulis hanya mengarah pada pencapaian kemampuan
menulis siswa. Dengan kata lain, siswa hanya dituntut untuk cerdas secara
intelektual saja. Hal inilah yang menjadikan menulis sebagai suatu ‘beban’.
Kalau guru hanya terfokus pada
kecerdasan dalam menghasilkan tulisan, tentu saja siswa hanya diajarkan untuk
cerdas secara intelektual. Siswa tidak dibelajarkan untuk mengolah emosi dan
spiritualnya. Padahal di dalam pemelajaran menulis, ketiga
kecerdasan ini sangat mungkin untuk dikembangkan. Kecerdasan emosional,
intelektual, dan spiritual merupakan ketiga kecerdasan yang menjadikan manusia
lebih bermartabat dan berkembang secara utuh. Utuh dalam arti tidak timpang
sebelah. Kalau hanya memberatkan pada salah satu trinue kecerdasan itu
dan tidak memerhatikan kedua kecerdasan lainnya, maka hidup seseorang tidak
akan seimbang. Pada akhirnya, ia akan menjadi manusia yang
‘setengah-setengah’. Upaya penyelarasan ketiga kecerdasan tersebut bukanlah
kewajiban bagian-bagian tertentu dalam pembelajarannya, seperti pelajaran agama
atau moral, melainkan miliki semua pembelajaran yang ada, termasuk pemelajaran
menulis.
A.
Kabar
Kusam Pembelajaran Menulis di Sekolah
Sekolah mendidik seseorang untuk mulai
mengenal dunia ilmu pengetahuan. Selama di sekolah seseorang merasakan masa
sulit dan berusaha untuk belajar keras. Dari keempat keterampilan berbahasa di
atas, menulis diajarkan pada tahap akhir dengan persentasi paling sedikit dibandingkan
aktivitas berbahasa lainnya. Akibatnya, kemampuan menulis siswa menjadi kurang
memadai. Hasil pemelajaran menulis yang diberikan pada
siswa selama belajar di sekolah tampak ketika memasuki jenjang perguruan
tinggi. Tulisan mahasiswa kurang memuaskan. Tugas-tugas
perkuliahan seperti paper, makalah, esai, dan lainnya menjadi sesuatu
yang menyulitkan bagi mahasiswa. Mereka merasa menulis menjadi pekerjaan yang
tidak menyenangkan, membosankan, dan membebani. Hal ini juga diakui oleh para
siswa yang duduk di bangku sekolah menengah atas dan pertama. Tentu saja ini
adalah penyakit yang sudah sekian lama tertanam pada anak bangsa dan sulit
untuk diobati atau diubah. Hasil tulisan mahasiswa di tingkat awal pun masih
kurang memuaskan. Padahal, pada tataran perguruan tinggi, seharusnya mereka
sudah dapat menulis dengan penalaran, retorika, logis, sistematis, analitis,
dan paham aturan bahasa yang baik dan benar. Namun, banyak tulisan mahasiswa
yang masih jauh dari harapan itu. Hal ini merupakan suatu kondisi ironis dalam
era global yang menuntut kualitas sumber daya manusia yang komparatif dan
kompetitif. Lemahnya kemampuan menulis siswa, sesungghunya berakar dari
pelajaran menulis siswa sejak bangku sekolah yang kurang bermutu.
Harus diakui bahwa pemelajaran menulis
di sekolah sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat dari kuantitas dan kualitas
pelajaran menulis di sekolah. Di tingkat SMA saja, pelajaran menulis tidak lebih
dari seperempat bagian pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan
kata lain, selama satu semester sekali atau dua kali saja siswa mendapat
pelajaran menulis. Dalam waktu yang hanya sedikit itu, kualitas belajarnya pun
kurang. Menulis hanya diajarkan sebagai pelajaran yang berorientasi pada hasil.
Pemelajaran menulis sebagai proses akhirnya tersisihkan. Pemelajaran bahasa
belum sepenuhnya berorientasi pada mengaplikasikan kemampuan berbahasa, tetapi
masih pada teorinya. Waluyo menyatakan
bahwa hal itu disebabkan pemelajaran bahasa Indonesia masih sering diberikan
secara teoritis sehingga mengakibatkan performance bahasa siswa kurang.
Teori-teori kebahasaan dan kesastraan lebih banyak diceramahkan guru di depan
kelas. Bahkan, evaluasi pembelajarannya pun bersifat teoritis. Kondisi ini
berkait pula pada keterampilan menulis siswa yang kurang, bahkan pandangan
siswa terhadap menulis sebagai beban semakin kuat.
Syamsi menyebutkan
bahwa selama ini pemelajaran menulis masih dilakukan secara tradisional dengan
menekankan pada hasil tulisan siswa, bukan pada proses yang seharusnya
dilakukan. Para siswa langsung menulis tanpa belajar bagaimana caranya menulis.
Guru biasanya telah menyediakan beberapa macam judul atau topik karangan dan
meminta siswa untuk memilih salah satu diantaranya. Para siswa kemudian diminta
langsung untuk praktik menulis. Setelah selesai, hasil karangan dikumpulkan,
dikoreksi, dan dinilai oleh guru. Model pembelajaran semacam ini terus-menerus
terjadi yang mengakibatkan para siswa merasa jenuh dan kurang senang dalam pemelajaran
menulis. Akhirnya kegiatan pemelajaran menulis dianggap sesuatu beban yang
sangat memberatkan. para siswa akhirnya tidak memiliki pengalaman menulis.
Pembelajaran menulis sebagai suatu proses di tingkat sekolah agaknya sulit terealisasi
dengan melihat jam pelajaran yang sedikit. Namun demikian, hal itu tetap perlu
untuk dilakukan.
Selain pentingnya pemelajaran menulis
sebagai suatu proses, perlu juga dipahami bahwa proses menulis itu sendiri
adalah sebuah pembelajaran. Dari rangkaian aktivitas kegiatan menulis, baik
tahap prapenulisan (prewriting stage), tahap penulisan (writing
stage), maupun tahap pasca penulisan (postwriting stage) dapat
dimuati pembelajaran di luar materi penulisan. Hal ini menjadi nilai tambahan
untuk pemelajaran menulis. Seseorang tidak hanya sekedar mampu menuangkan
gagasannya secara baik, logis, sistematis dalam sebuah tulisan, tapi juga mampu
mengolah daya keilmuan, perasaan, dan aspek moralnya ketika ia berproses
menulis. Ketiga aspek kecerdasan itulah
yang akan memberikan nilai lebih dalam kegiatan menulis bagi siswa. Diakui atau
tidak, kecerdasan tersebut (emosional, intelektual, dan spriritual) terlibat
dalam proses penulisan.
B.
Trinue Kecerdasan
Berbagai macam kecerdasan merupakan
penemuan di bidang psikologi dewasa ini. Penemuan yang cukup populer adalah trinue
kecerdasan yang terdiri atas kecerdasan kecerdasan emosional, intelektual,
dan kecerdasan spiritual. Sebagian orang mengenalnya dengan istilah EQ (Emotional
Quotient), IQ (Intelegency Quotient), dan SQ (Spritual Quotient).
1.
Kecerdasan
Emosional
Daniel Goleman membuat
terobosan baru dengan kemunculan kecerdasan emosional (banyak orang mengenalnya
dengan istilah Emotional Quotient atau EQ) pada pertengahan abad XX.
Goleman menyatakan kecerdasan emosional jauh lebih penting dari kemampuan
skolastik seseorang dalam memengaruhi sukses hidupnya. Hal ini didasari oleh
proses berpikir yang dipengaruhi gejolak perasaan. Kecerdasan emosional terkait
dengan kemampuan seseorang dalam hal memberi rasa empati, cinta, motivasi serta
menanggapi rasa gembira atau sedih. Zohar dan Marshall menyebutkan bahwa
kecerdasan emosional memberikan kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri
dan orang lain. Peran kecerdasan emosional dalam
menunjang kesuksesan lebih banyak daripada kecerdasan intelektual. Nggermanto menyatakan bahwa secara sederhana IQ menentukan sukses seseorang
sebesar 20%, sedangkan EQ memberi kontribusi 80%. Kecerdasan emosional mencakup
kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan
akademik, yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.
Kecerdasan emosional sangat erat
dengan pengendalian diri. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang
baik akan mampu mengendalikan dirinya dalam situasi apapun. Tingkat intelektual
yang tinggi tidak menjamin seseorang akan berhasil tanpa kecerdasan
emosionalnya. Semakin bertambah usia seseorang, semakin berkembang kemampuan
mengendalikan emosinya. Pengendalian emosi juga terkait dengan
pengendalian hidup yang lebih dikenal dengan manajemen hidup (life
management). Dengan manajemen hidup seseorang akan terbiasa mengendalikan
rasa marah, takut, gembira, terpesona, tersinggung, dan lainnya sehingga
hidupnya akan lebih tertata. Intinya, seseorang yang dapat menekan gejolak
emosi akan menikmati hidup lebih baik, dan itulah kecedasan emosional. Dengan
kecerdasan emosional, orang mampu hidup dalam masyarakat secara harmonis.
Selain itu, kecerdasan emosional juga akan memengaruhi proses berpikir secara
positif.
Tidak kalah penting, hal yang masih ada kaitannya dengan
kecerdasan emosi adalah cara menumbuhkan motivasi dalam diri penulis. Tanpa
adanya motivasi, seseorang tidak akan lancar dalam menulis. Menulis harus
tumbuh dari niat yang kuat. Jogja Writing
School yang mulai dikembangkan awal bulan Juli ini juga merupakan sekolah
menulis yang mengutamakan penanaman motivasi pada siswa didiknya (Kompas, 14
Juli 2005). Selanjutnya, dikatakan bahwa motivasi mendapat porsi hingga 60%,
praktik menulis 30%, dan teori menulis 10%. Hal ini menguatkan pandangan bahwa
kecerdasan emosional mempunyai peran yang tidak dapat diabaikan dalam hal
penulisan.
2.
Kecerdasan
Intelektual
IQ atau kecerdasan intelektual muncul pada
awal abad XX dan sangat merajai pengetahuan kecerdasan manusia. IQ menitikberatkan
kemampuan intelek manusia pada kemampuan aritmatis, logis, dan verbal
(Nggermanto). Banyak orang merasa bahwa IQ adalah satu-satunya tolak ukur
kecerdasan manusia. Para orang tua sering membandingkan IQ anaknya dengan anak
yang lain. Mereka menganggap bahwa IQ adalah ukuran tingkat kecerdasan
seseorang. Semakin tinggi IQ anak yang dimiliki anak, maka
orang tua akan semakin bangga. Namun mereka kadang kecewa jika mengetahui nilai
hasil rapor anaknya tidak bagus, padahal IQ anaknya tinggi.
Westen menyatakan bahwa intelegensi berbentuk multifaset.
Artinya intelegensi diperikan dalam berbagai bentuk. Rumusan kecerdasan pun
beraneka ragam, tergantung pada wilayah kecerdasannya, seperti dalam kecerdasan
ilmu pasti, sosial, humaniora, dan sebagainya. IQ hanyalah
satuan ukuran yang menunjukkan taraf kemampuan seseorang. Biasanya intelegensi
diukur di sekolah dan bersifat skolastik. Dengan demikian, IQ tidak menjamin
dapat mengukur semua kecerdasan yang dimiliki seseorang. Dalam sejarahnya, IQ adalah sebuah istilah yang pertama kali
diperkenalkan oleh Lewis Terman, yang mengandung konsep “mengukur” dan angka
(Musfiroh). Alfred Binet membuat model tes IQ dengan membandingkan usia mental
anak (MA) dengan usia kronologis anak (CA) yang kemudian dikalikan 100. Akan
tetapi, IQ mengalami perkembangan sehingga teori Binet tidak dapat diberlakukan
untuk tingkat dewasa. IQ berkembang sejalan dengan perkembangan usia dan akan
stagnan atau bahkan mengalami penurunan setelah usia 18 tahun.
3.
Kecerdasan
Spiritual
Pada akhir abad XX muncul kecerdasan
ketiga yang sekarang cukup popular, yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini
dikenal dengan sebutan SQ atau spiritual quotient. Menurut Zohar dan
Marshall, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam makna yang lebih luas. Kecerdasan spiritual ini merupakan suatu kesadaran diri yang
membuat seseorang dapat lebih memaknai hidup. Dengan kecerdasan spiritual orang
akan mampu mempunyai karakteristik: 1) bersikap fleksibel, 2) beradaptasi
secara spontan dan aktif, 3) mempunyai kesadaran diri, 4) mampu menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan dan rasa sakit, 5) memiliki visi dan prinsip nilai, 6)
mempunyai komitmen, dan 7) mempunyai rasa tanggung jawab yang besar (Zohar dan
Marshall). Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan
jiwa yang dapat membuat manusia menjadi manusia utuh. Perlu
dipahami bahwa kecerdasan spiritual berbeda dengan agama. Kecerdasan spiritual
tidak dibatasi pada agama-agama tertentu, tetapi dapat membuat penganut suatu
agama lebih memahami agamanya. Orang yang beragama belum tentu cerdas secara
spiritual. Orang rajin shalat atau tidak pernah absen ke mesjid tetapi sering merugikan orang atau mencari kekurangan orang lain
maka kecerdasan spiritualnya rendah.
C.
Menerapkan
Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spritual dalam Pembelajaran Menulis
Menulis adalah cara seseorang
berkomunikasi melalui tulisan seseorang berusaha menyampaikan gagasan, ide,
pendapat dan informasi kepada orang lain. Komunikasi dengan cara menulis akan
berhasil baik jika apa yang hendak disampaikan dapat tepat sama dengan apa yang
dipersepsi (Sopa). Sebagai ajang komunikasi, menulis banyak faktor yang terkait
dengan seni berkomunikasi. Beberapa di antaranya adalah esensi komunikasi,
hubungan antarpara komunikan, serta harmoni komunikasi. Kesemuanya itu tidak
lepas dari ketiga macam kecerdasan yang ada dalam diri manusia seperti yang
telah dikemukakan di atas
Menulis adalah cara berbagi ilmu
pengetahuan. Melalui tulisan, orang akan mentransfer ilmu yang dimilikinya
untuk para pembacanya. Dengan demikian, transformasi intelektual dilakukan.
Menulis dalam membentuk apapun menuntut kerja otak untuk menuangkan hal yang
ingin disampaikan. Dari kerja tulis-menulis ilmu dan keahlian seseorang telah
dikembangkan. Oleh sebab itu, pengetahuan dan keahlian seseorang dapat
dikembangkan secara akurat dan efektif melalui kegiatan menulis daripada
sekedar membaca atau berdiskusi saja. Pemelajaran menulis adalah sebuah
proses. Demikian halnya dengan proses menulis juga sebuah pembelajaran. Ada
proses dalam pemelajaran menulis dan ada pemelajaran dalam proses menulis.
Dalam hal ini ketiga (trinue)
kecerdasan terpaut erat dan diharapkan dapat berkembang dengan seimbang.
Ketiga kecerdasan tersebut (emosional,
intelektual, dan spiritual) merupakan kecerdasan yang memiliki wilayah
sendiri-sendiri secara terpisah. Akan tetapi idealnya, kecerdasan tersebut
saling melengkapi dan mendukung. Zuhri menyatakan bahwa IQ adalah kecerdasan
yang paling dominan digunakan manusia untuk berhubungan dan mengelola alam. IQ ditentukan oleh materi otak manusia. Sementara itu, kecerdasan
emosional merupakan kecerdasan yang digunakan manusia untuk berhubungan dan
bekerja sama dengan manusia lainnya. Kecerdasan ini dipengaruhi oleh kondisi
dalam dirinya dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Kecerdasan ketiga, yakni
kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang digunakan untuk “berhubungan”
dengan Tuhan. Kesimbangan ketiganya sangat penting untuk mendukung keberhasilan
komunikasi dengan media tulisan.
Di dalam proses menulis, tahap
pranulisan, penulisan, dan pascapenulisan membutuhkan kerja otak dalam olah
pikiran untuk menuangkan gagasan yang tersimpan dalam pikiran. Hernowo menyatakan
kalau menulis merupakan suatu proses mengeluarakan apa saja yang tersimpan
dalam diri penulisnya. Sebagai alat komunikasi, menulis diharapkan dapat
mewakili apa yang disampaikan penulisnya secara tepat kepada para pembacanya.
Oleh karena itu, penentuan genre, retorika, diksi, tatanan bahasa, ejaan, cara
dan alur penyajian isi, kecermatan mengoreksi dan merevisi dalam proses
penulisan menjadi bagian kerja otak. Hernowo menyatakan
bahwa dalam menulis, tidak hanya kalimat saja yang dipentingkan, tetapi juga reseoning
(penalaran). Dalam hal ini, kemampuan kognitif sangat berperan. Dengan kata
lain, kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan. Dengan kecerdasan intelektual,
seseorang dapat menulis dengan baik dan jelas untuk dipahami pembacanya.
Kecerdasan intelektual dapat
dikembangkan dengan frekuensi menulis yang tinggi karena otak akan dipacu untuk
terlatih dan cerdas. Demikian juga dalam aktifitas membaca yang digunakan untuk
memperkaya penulisan, kecerdasan intelektual diperlukan. Dua kegiatan tersebut
sangat berkaitan. Menulis dan membaca adalah dua aktifitas yang saling
melengkapi dan mendukung. Keduanya adalah kegiatan “mengikat makna”. Dengan
banyak membaca orang akan semakin kaya ilmu dan informasi yang dapat
dijadikannya bahan tulisan. Orang yang menyukai kegiatan menulis alan cenderung
menyukai kegiatan membaca. Kecerdasan intelektual dapat dikembangkan dengan dua
aktifitas tersebut.
Akan tetapi, kecerdasan intelektual
saja tidak cukup. Di dalam penulisan juga diperlukan kecerdasan emosional.
Ketika seseorang menulis, dia sedang mengakrabi dirinya dan mengelola perasaan
yang ada dalam dirinya. Menulis merupakan cara menghadapi hidup, seseorang
perlu melepaskan emosinya dan salah satunya dengan menuliskan ide maupun
idealitas dalam dirinya. Sangat riskan seseorang yang menulis dengan emosi
(tidak berlaku dalam penciptaan fiksi). Dalam menulis perlu suatu objektivitas,
terutama tulisan ilmiah, sehingga hasil karya tulisannya akan lebih dapat
dimaknai secara luas oleh pembacanya.
Pembelajaran menulis yang selama ini
terjadi dirasakan kurang nyaman. Salah satu pemicunya adalah perasaan
keterpaksaan dalam menulis. Para siswa belum menemukan suatu bentuk keleluasaan
dan kepuasan emosi dalam menulis karena selama ini mereka dituntut cerdas
secara intelektual, tetapi bukan emosional. Menulis sebenarnya bisa menjadi
suatu kegiatan yang ikhlas, tanpa harapan akan imbalan apa pun, selain demi
kepuasan. Apa yang terjadi dalam kehidupan ini dapat tercatat dalam bentuk
tulisan. Motivasi dalam menulis menjadi bagian yang penting. Orang yang
termotivasi untuk menulis akan lebih dapat menghasilkan tulisan yang baik.
Namun demikian, cara memotivasi diri perlu dibelajarkan dalam upaya mencerdaskan emosi
yang akhirnya melatihkan anak untuk mau menulis. Orang yang memiliki kemampuan
menulis tinggi, jika tidak ada gairah dan motivasi menulis maka tidak akan
menghasilkan karya atau tulisan. Dengan demikian, tampaklah peranan kecerdasan
emosional dalam kegiatan menulis, di samping kecerdasan intelektualnya.
Adanya peranan kecerdasan emosional
dan intelektual dalam penulisa, tidak akan berguna jika penulis tidak cerdas
secara spiritual. Dengan kecerdasan ini, seseorang mampu membedakan mana yang
baik dan mana yang tidak. Tanpa ini, orang akan menulis sesuka hati tanpa mempertimbangkan
moral dan dampak tulisannya di masyarakat. Kecerdasan spiritual dapat menjadi
pengendali penulis, dalam memilahkan aspek kebermanfaatan tulisannya. Tanggung
jawab dan kejujuran dalam kepenulisan juga akan dapat diperoleh jika penulisnya
cerdas secara spiritual.
Internet yang sekarang menjadi gerbang
informasi super canggih dalam komunikasi instan, banyak ditemukan tulisan yang
dapat merusak moral bangsa. Banyak tulisan di internet yang berbau SARA,
mengandung unsur porno atau kurang senonoh, mengundang konflik, dan sebagainya.
Padahal, internet sekarang bukan hal yang asing, bahkan untuk anak-anak dan
remaja, yang secara emosi dan psikologi masih kurang kendali. Tulisan-tulisan
tersebut dibuat oleh penulis yang tidak bertanggung jawab dan kurang memikirkan
akiibat tulisannya. Mereka inilah manusia yang mempunyai kecerdasan spiritual
rendah. Mereka cerdas secara intelektual dan mungkin emosional, tetapi tidak
dalam spiritualnya. Akhirnya, kecerdasan yang kurang didasari kecerdasan
spiritual penulisnya dapat menjadi pemicu masalah. Padahal, justru dengan
menulis seharusnya kita dapat memecahkan masalah, sebagaimana yang diungkapkan
Krasen yakni “actual writing can help us solve problems and make us
smarter”.
Sinergi ketiga kecerdasan di atas
dalam pemelajaran menulis menjadi suatu realitas yang didambakan. Dengan
kecerdasan intelektual yang tinggi, kecerdasan emosional yang seimbang, dan
kecerdasan spiritual yang terlatih, seseorang dapat menciptakan tulisan yang
baik dan bermakna. Perlu suatu kesadaran bahwa dengan menulis kita berbagi ilmu
dengan pembaca. Oleh karena itu, kecerdasan emosional, intelektual, dan
spiritual menjadi bagian penting yang tidak dapat ditelantarkan. Proses dinamik
otak dalam menyusun kata, tata bahasa, logika, retorika, dalam menulis perlu
didukung emosinya yang baik. Selain itu, hasilnya nanti harus dapat
dipertanggungjawabkan secara spiritual. Siswa di sekolah seharusnya mulai
diarahkan dalam suatu lingkungan belajar yang menyeimbangkan kecerdasan tersebut.
Perlu diakui bahwa kita berada dalam
budaya masyarakat yang belum seimbang antara kecerdasan emosional, intelektual,
dan spiritual. Kecendrungan yang ada, pemelajaran menulis di sekolah lebih
diarahkan pada kemampuan intelektualnya. Padahal, kurikulum yang mulai
diberlakukan adalah Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengutamakan skill para siswa
dalam hal kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian, sudah seharusnya dalam pembelajaran di
sekolah, termasuk menulis, memerhatikan ranah kognitif (kecerdasan
intelektual), ranah afektif (kecerdasan emosional), dan psimotorik
siswa. Termasuk secara menyeluruh kecerdasan spiritual siswa. Dengan menyeimbangkan
ketiganya, pemelajaran menulis akan menjadi lebih menarik dan menyenangkan.
Jika siswa sudah merasakan senang, maka kualitas tulisannya akan lebih mudah
untuk diarahkan menjadi lebih baik. Dalam KBK dan KTSP guru diharapkan
mengenali profil siswanya secara detail. Hal ini akan mempermudah guru dalam
membantu siswa untuk mengembangkan ketiga kecerdasan itu dalam pemelajaran
menulis.
Secara emosional, siswa dibelajarkan
untuk mampu mengontrol emosi dan menata hatinya untuk menghargai pendapat
kawannya. Para siswa tentunya bukan berasal dari suku, agama, dan ras yang
sama, tetapi mereka diharapkan mampu menahan diri dan emosi untuk saling
terbuka dan saling menerima. Dengan demikian, kecerdasan emosional mereka
semakin meningkat. Terakhir, kecerdasan spiritual dilatihkan ketika siswa harus
dapat menilai hal yang baik dan yang tidak, yang benar dan yang salah, yang
sesuai dengan ajaran Tuhan atau yang tidak, dan sebagainya dalam menyikapi
permasalahan konflik. Sikap bijaksana siswa dalam menyikapi masalah dan
kejujurannya untuk menuangkan kebentuk tulisan menjadi pemelajaran spiritual.
Dengan demikian, guru dapat mengetahui dan mengembangkan ketiga kecerdasan
dalam diri siswa.
Pemelajaran menulis di atas, terbukti
telah memadukan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual secara
harmonis. Hasil yang diperoleh juga cukup mengagumkan, walaupun pada awalnya
tidak sedikit siswa yang protes atau menertawakan. Namun, lama-lama siswa
tertarik dan senang dengan pembelajaran tersebut. Akhirnya, menulis tidak lagi
menjadi sebuah beban dan kegiatan yang tidak mengasyikkan. Indah memang kalau
itu semua dapat berjalan pada sekolah kita yang mempunyai banyak keterbatasan.
Pemelajaran menulis yang menyenangkan
masih menjadi impian hingga saat ini. Kecerdasan emosional, intelektual, dan
spiritual masih menjadi target yang terpisahkan dalam pembelajaran. Suatu tantangan
bagi pendidik untuk dapat membantu para siswa
menyeimbangkan ketiga kecerdasan tersebut dalam aktivitas proses menulis siswa.
Jika hal tersebut dapat diwujudkan, paradigma menulis sebagai sebuah beban yang
berat dapat diubah. Dengan sinergi trinue kecerdasan itu, harapannya pemelajaran
menulis dapat menjadi lebih baik, nyaman, dan menyenangkan. Menulis dapat
menjadi suatu kegemaran. Melalui aktivitas menulisnya, para siswa pun dapat
meningkatkan kualitas hidupnya. Pada akhirnya, kita dapat membebaskan diri kita
dari budaya menulis masyarakat kita yang memprihatinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar