Oleh: Sugerman
Gerimis hujan malam menyelimuti tubuhku basah
kuyub. Ku langkahkan kaki dibawah pepohonan, aku berdiam tiada merangkai kata
dalam lisan, dan hanya merenung sebatas angan membisu. Waktu mengizinkan menghela
nafas, tubuh gemetar sangat dingin.
Aku berdiri tegak tengah termangu di bawah
pohon, ku tatap langit tak berbintang, gelap malam, kepala berputar-putar tak
menentu. Tak terasa kuraih tetesan air dari dedaunan hingga membasah wajahku,
dingin mulai menyerang. Kedua tangan bersedekap erat-erat. Pikiran mulai
melayang seumpama gerimis hujan reda, ku bersemi ditempat yang kering.
Sungguh malam ini bola mata tidak bisa
memejamkan, tat kala aku tidak menghindar dari gerimis hujan terus bicara.
Apakah aku harus mengupasnya dengan melindungi diri sendiri?.
Bapak Salman dengan sendirinya, dia berjalan
kaki dari Singusari menembus Dinoyo. Tas yang digendongnya nyaris putus tali
tas itu. Karena selalu ditarik ketika tas tersebut meleleh dari punggungnya,
dan tidak membiarkan jatuh.
Setelah lima jam dari perjalannya sudah sampai
di Dinoyo serta langsung mendatangi Pondok Pesantren Ainul Yaqin tepat pada jam
08:00 malam, dia pun dihambur-hambur oleh hujan.
“Mas. Kalau dari sini ke Trenggalek arahnya ke
mana?” Tanya pak Salman wajah kelihatan pucat.
“Maaf pak, saya tidak tahu. Soalnya saya tidak
pernah pergi ke sana” jawabnya dengan jujur.
Harus bagaimana lagi. Pikir pak salman semakin
membengkak pusing dan tak bergairah.
“Kalau begitu, terima kasih mas. Saya mau tanyak
sama orang lain, mungkin ada yang tahu.
Ayo mas!”
“Tunggu dulu pak! Aku ambilkan payung biar
bapak terlindungi dari hujan”
“Ia mas”
Angin menghembus, hujan membanjiri segala
hamparan. Aku mulai bertasbih dan memohon kepada tuhan di tengah-tengah kedinginan,
agar tercapai akan tujuan yang selalu aku kejar.
“Ini pak payungnya ”
“Kenapa bikin repot-repot!”
“Tidak repot kok”
“Oh ia! Nama mas siapa?”
“Nama saya pak, Erman ”
“Erman!” sebut bapak
“Betul pak” celoteh Erman kepala
mengangguk
“Terima kasih mas, aku pergi dulu”
“Sama-sama pak, hati-hati di jalan”
“Baik mas”
Tubuh pak Salman sengaja balik kiri, dan
berjalan terus mencari tahu arah yang dituju. Payung diangkatnya ke atas kepala
tanpa meghindari hujan yang disertai kilatan petir menyambar pohon, kilatan
lebih cepat dari pada kedipan mata, sehingga model jalan pun harus ke kanan
kiri.
Dari Pondok Pesantren Ainul Yaqin, dia melaju
ke arah timur lewat depan kampus hijau Universitas Islam Malang yang
bersebelahan dengan pondok tersebut. Dia sambil menyapa dirinya dalam
mengutamakan selamat di tengah-tengah jalan yang selalu penuh kendaraan berlalu
lalang, mondar-mandir,
pak Salman sampai dipertigaan lampu merah jl. Gajayana malang berusaha berteduh
di depan toko, diletakkannya payung yang dibawa pak Salman.
Kemudian dia numpang tanya kepada pemilik toko
itu dan seluruh anggota tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki
menggetar. Karena diserang dingin.
“Bu!” panggil pak Salman
“Ia pak, ada apa?” sahut ibu pemilik toko
sambil meletakkan genggamannya di atas rak barang-barangnya.
“Mungkin ibu tahu daerah Trenggalek” cetus pak Salman
“Ia pak, aku tahu. Kenapa ya pak!” nada ibu
berwajah serius.
“Kalau boleh tahu, ke mana arahnya dari sini?”
Tanya pak Salman nyaris sama dengan pertanyaan yang ditanyakan kepada mas Erman.
“Ya, dari sini ke barat pak” ungkap ibu,
tangan diluruskan ke arah tujuan.
“Owww…” Bapak Salman membalasnya dengan dua
bibir memoncung.
“Terima kasih ya bu!” pinta Bapak Salman
“Ia pak, sama-sama” sela ibu dengan arti bahasa yang sama
Hujan menjelang reda, turun gemercik membuat
pening dan panik dalam heningku, bibir sudah tidak berarti menuansakan hidup
untuk menempuh sebuah deretan kalbu. Betapa malam ini menyicitkan batinku tanpa
terasa hampa kendatipun harus turun bersayap.
Aku meraba-raba gelapnya langit tiada
berbintang dengan mata berbinar, menatapnya menembus gemercik air hujan sangat
dingin. Jejak kakiku kembali menapak jalur yang sama sampai mendekati seorang
mahasisiwa yang punya nama Lukman Hakim.
“Mas, mas, mas!” panggil Bapak Salman jalannya
makin cepat
“Ya, ada pak!” jawab Lukman Hakim menggertak,
tangan meraba dadanya deg-degan
“Mas, kamu asalnya dari mana?”
“Saya berasal dari Dompu pak”
“Dompu…!” mulut bapak terbelalak tanpa
mangatup
“Bapak sendiri dari mana?” cetus Lukman
“Aku juga dari Bima”
“Bima!” sebut Lukman, matanya berbinar
“Iyeh mas!”1
timpal Bapak Salman
Betapa aku kasihan melihat bapak pergi
sendirian pada malam ini, raganya diserang cahaya dingin, membelenggu di seluruh jantungnya
dengan membawa aura tidak memesona, akan tetapi menyandang derita yang
mambuatnya fana.
“Bapak sebenarnya mau ke mana?”2
Tanya Lukman Hakim
“saya mau ke Trenggalek mas” sahut Bapak Salman
tangan tanpa melepas payung yang digenggamnya.
“Kenapa bapak tidak naik kendaraan?” Lukman
Hakim bertanya lagi matanya sambil melirik kebanyak kendaraan.
“Tadi mas, saya dari Dompu naik bus,
setelah sampai di Singosari, kondektor mulai meminta karcis kepada seluruh
penumpang, kebutulan ketika saya mau ambil dompet di saku (kantong) celana
ternyata kosong alias hilang, entah di mana hilangnya dompet itu mas” cerita Bapak
Salman dengan singkat.
“Jadi bapak dari sana ke sini pergi jalan
kaki!” sela Lukman Hakim dengan nada terkejut.
“Betul mas” singkat bapak
“Subhanallah” ungkap Lukman Hakim
“Ini pak uangku ambil Rp.10,000 buat kebutuhan
Bapak”
“terima kasih mas”
“Sama-sama pak”6
Aku rasa, sekiranya aku berjalan kaki sejauh
perjalanan Bapak Salman yang menapaki jalan trotoar itu, kemungkinan besar tidak
akan mampu menempuhnya, apalagi sekarang zaman anak manja dan dimanjakan.
Malam semakin larut, petang menyelimuti perut
bumi serta langit pun tiada berbintang seiring hembusan angin mendarat dari gunung-gunung
yang menumpahkan udara sejuk dan segar.
Kaki mulai beranjak pada jalan trotoar menuju
tujuan yang menjadi sasaran utama akan suatu harapan, setelah tiga hari
kemudian, Bapak Salman telah sampai ke Pondok Pesantren Al-Amin Trenggalek.
Namun selama tiga hari di tengah perjalanan yang sangat menyedihkan dia makan
nasi hanya tiga kali, tidak tidur dan hanya menyempatkan diri istirahat saat
mau makan di warung, ketika di Trenggalek dia mulai mengetuk pintu kamar buah
hatinya.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
“Maulana malik ada ya!”
“Ia, ada Pak”
“Silakan masuk Pak”
Bapak Salman langsung meraih hening anaknya
bernama Maulana Malik yang sedang sakit sambil meneteskan air mata yang membawa
keromantisan terhadap Maulana Malik. Karena Bapak Salman bisa bertemu dengannya
walau diderita oleh nasib yang tidak bisa disangka.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar