Jumat, 26 Juli 2013

Pergi Jauh Sampai Menatap Buah Hati

Oleh: Sugerman

Gerimis hujan malam menyelimuti tubuhku basah kuyub. Ku langkahkan kaki dibawah pepohonan, aku berdiam tiada merangkai kata dalam lisan, dan hanya merenung sebatas angan membisu. Waktu mengizinkan menghela nafas, tubuh gemetar sangat dingin.
Aku berdiri tegak tengah termangu di bawah pohon, ku tatap langit tak berbintang, gelap malam, kepala berputar-putar tak menentu. Tak terasa kuraih tetesan air dari dedaunan hingga membasah wajahku, dingin mulai menyerang. Kedua tangan bersedekap erat-erat. Pikiran mulai melayang seumpama gerimis hujan reda, ku bersemi ditempat yang kering.
Sungguh malam ini bola mata tidak bisa memejamkan, tat kala aku tidak menghindar dari gerimis hujan terus bicara. Apakah aku harus mengupasnya dengan melindungi diri sendiri?.
Bapak Salman dengan sendirinya, dia berjalan kaki dari Singusari menembus Dinoyo. Tas yang digendongnya nyaris putus tali tas itu. Karena selalu ditarik ketika tas tersebut meleleh dari punggungnya, dan tidak membiarkan jatuh.
Setelah lima jam dari perjalannya sudah sampai di Dinoyo serta langsung mendatangi Pondok Pesantren Ainul Yaqin tepat pada jam 08:00 malam, dia pun dihambur-hambur oleh hujan.
“Mas. Kalau dari sini ke Trenggalek arahnya ke mana?” Tanya pak Salman wajah kelihatan pucat.
“Maaf pak, saya tidak tahu. Soalnya saya tidak pernah pergi ke sana” jawabnya dengan jujur.
Harus bagaimana lagi. Pikir pak salman semakin membengkak pusing dan tak bergairah.
“Kalau begitu, terima kasih mas. Saya mau tanyak sama orang lain, mungkin ada  yang tahu. Ayo mas!”
“Tunggu dulu pak! Aku ambilkan payung biar bapak terlindungi dari hujan”
“Ia mas”
Angin menghembus, hujan membanjiri segala hamparan. Aku mulai bertasbih dan memohon kepada tuhan di tengah-tengah kedinginan, agar tercapai akan tujuan yang selalu aku kejar.
“Ini pak payungnya ”
“Kenapa bikin repot-repot!”
“Tidak repot kok”
“Oh ia! Nama mas siapa?”
“Nama saya pak, Erman
Erman!” sebut bapak
“Betul pak” celoteh Erman kepala mengangguk
“Terima kasih mas, aku pergi dulu”
“Sama-sama pak, hati-hati di jalan”
“Baik mas”
Tubuh pak Salman sengaja balik kiri, dan berjalan terus mencari tahu arah yang dituju. Payung diangkatnya ke atas kepala tanpa meghindari hujan yang disertai kilatan petir menyambar pohon, kilatan lebih cepat dari pada kedipan mata, sehingga model jalan pun harus ke kanan kiri.
Dari Pondok Pesantren Ainul Yaqin, dia melaju ke arah timur lewat depan kampus hijau Universitas Islam Malang yang bersebelahan dengan pondok tersebut. Dia sambil menyapa dirinya dalam mengutamakan selamat di tengah-tengah jalan yang selalu penuh kendaraan berlalu lalang, mondar-mandir, pak Salman sampai dipertigaan lampu merah jl. Gajayana malang berusaha berteduh di depan toko, diletakkannya payung yang dibawa pak Salman.
Kemudian dia numpang tanya kepada pemilik toko itu dan seluruh anggota tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki menggetar. Karena diserang dingin.
“Bu!” panggil pak Salman
“Ia pak, ada apa?” sahut ibu pemilik toko sambil meletakkan genggamannya di atas rak barang-barangnya.
“Mungkin ibu tahu daerah Trenggalek” cetus pak Salman
“Ia pak, aku tahu. Kenapa ya pak!” nada ibu berwajah serius.
“Kalau boleh tahu, ke mana arahnya dari sini?” Tanya pak Salman nyaris sama dengan pertanyaan yang ditanyakan kepada mas Erman.
“Ya, dari sini ke barat pak” ungkap ibu, tangan diluruskan ke arah tujuan.
“Owww…” Bapak Salman membalasnya dengan dua bibir memoncung.
“Terima kasih ya bu!” pinta Bapak Salman
“Ia pak, sama-sama” sela ibu dengan arti bahasa yang sama
Hujan menjelang reda, turun gemercik membuat pening dan panik dalam heningku, bibir sudah tidak berarti menuansakan hidup untuk menempuh sebuah deretan kalbu. Betapa malam ini menyicitkan batinku tanpa terasa hampa kendatipun harus turun bersayap.
Aku meraba-raba gelapnya langit tiada berbintang dengan mata berbinar, menatapnya menembus gemercik air hujan sangat dingin. Jejak kakiku kembali menapak jalur yang sama sampai mendekati seorang mahasisiwa yang punya nama Lukman Hakim.
“Mas, mas, mas!” panggil Bapak Salman jalannya makin cepat
“Ya, ada pak!” jawab Lukman Hakim menggertak, tangan meraba dadanya deg-degan
“Mas, kamu asalnya dari mana?”
“Saya berasal dari Dompu pak”
Dompu…!” mulut bapak terbelalak tanpa mangatup
“Bapak sendiri dari mana?” cetus Lukman
“Aku juga dari Bima
Bima!” sebut Lukman, matanya berbinar
 “Iyeh mas!”1 timpal Bapak Salman
Betapa aku kasihan melihat bapak pergi sendirian pada malam ini, raganya diserang cahaya dingin, membelenggu di seluruh jantungnya dengan membawa aura tidak memesona, akan tetapi menyandang derita yang mambuatnya fana.
“Bapak sebenarnya mau ke mana?”2 Tanya Lukman Hakim
saya mau ke Trenggalek mas” sahut Bapak Salman tangan tanpa melepas payung yang digenggamnya.
“Kenapa bapak tidak naik kendaraan?” Lukman Hakim bertanya lagi matanya sambil melirik kebanyak kendaraan.
“Tadi mas, saya dari Dompu naik bus, setelah sampai di Singosari, kondektor mulai meminta karcis kepada seluruh penumpang, kebutulan ketika saya mau ambil dompet di saku (kantong) celana ternyata kosong alias hilang, entah di mana hilangnya dompet itu mas” cerita Bapak Salman dengan singkat.
“Jadi bapak dari sana ke sini pergi jalan kaki!” sela Lukman Hakim dengan nada terkejut.
“Betul mas” singkat bapak
“Subhanallah” ungkap Lukman Hakim
“Ini pak uangku ambil Rp.10,000 buat kebutuhan Bapak
terima kasih mas”
“Sama-sama pak”6
Aku rasa, sekiranya aku berjalan kaki sejauh perjalanan Bapak Salman yang menapaki jalan trotoar itu, kemungkinan besar tidak akan mampu menempuhnya, apalagi sekarang zaman anak manja dan dimanjakan.
Malam semakin larut, petang menyelimuti perut bumi serta langit pun tiada berbintang seiring hembusan angin mendarat dari gunung-gunung yang menumpahkan udara sejuk dan segar.
Kaki mulai beranjak pada jalan trotoar menuju tujuan yang menjadi sasaran utama akan suatu harapan, setelah tiga hari kemudian, Bapak Salman telah sampai ke Pondok Pesantren Al-Amin Trenggalek. Namun selama tiga hari di tengah perjalanan yang sangat menyedihkan dia makan nasi hanya tiga kali, tidak tidur dan hanya menyempatkan diri istirahat saat mau makan di warung, ketika di Trenggalek dia mulai mengetuk pintu kamar buah hatinya.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
“Maulana malik ada ya!”
“Ia, ada Pak”
“Silakan masuk Pak”
Bapak Salman langsung meraih hening anaknya bernama Maulana Malik yang sedang sakit sambil meneteskan air mata yang membawa keromantisan terhadap Maulana Malik. Karena Bapak Salman bisa bertemu dengannya walau diderita oleh nasib yang tidak bisa disangka.[1]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar