Mengajarkan
Sastra di Sekolah
Oleh: Sugerman
Taufik Ismail seorang
yang dikenal sangat gigih
memperjuangkan kebangkitan pengajaran sastra dan menulis di sekolah-sekolah.
Menurutnya, kemampuan sastra siswa sekolah menengah di Indonesia jauh tertinggal
dibandingkan 13 negara yang pernah dikunjunginya, yang mewajibkan
siswa-siswinya membaca dan mendiskusikan 5 sampai 32 karya-karya sastra per
tahun sebuah situasi yang sudah lama
hilang di sekolah kita.
Keprihatinan sastrawan terkenal
tersebut bukanlah hal yang baru. Hal ini amat mendesak diatasi karena sastra
adalah kendaraan yang efektif buat mempromosikan intelektualitas, kebajikan,
moralitas dan kearifan. Sejarah menuturkan secara fasih bahwa negara-negara
maju dan industri, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, dan sebagainya telah lama menjadikan sastra sebagai unsur yang tidak terpisahkan
dalam pengembangan kepribadian dan pembangunan bangsa. Tatkala sistem
pendidikan kontemporer gagal menerangi generasi muda dengan nilai-nilai religius
dan moral, sastra sepatutnya perlu dilihat sebagai jalur alternatif.
Sastra, sebagaimana dirujuk di atas,
adalah model pengalaman khusus yang direpresentasikan oleh teks dan diikuti
oleh standar sastra yang mapan. Ia memunculkan jenis hubungan tertentu antara
pembaca dan teks. Oleh karena itu, ia membutuhkan semacam proses pembacaan
tertentu pula. Novel Siti Nurbaya oleh Marah Rusli, misalnya, mewakili segenap
pengalaman pengarang; kognitif, afektif
dan psikomotorik. Seluruh pengalaman tersebut berwujud sejarah naratif
dijumpai bukan hanya dalam novel ini, tetapi juga dalam bentuk-bentuk tulisan lainnya, misalnya riwayat sejarah dan
catatan ilmiah maupun kehidupan sosial secara umum.
Satu asumsi yang
keliru dikalangan siswa maupun
masyarakat secara umum adalah: Kenapa harus repot-repot membaca novel, cerpen,
puisi, dan drama padahal pengalaman itu semua bisa ditemukan dan dipelajari
dalam karya-karya tulis umum? Salah satu pekerjaan melelahkan yang dihadapi
oleh para guru adalah bagaimana merubah “prilaku non-sastra” menjadi “prilaku
sastra” di kalangan siswa dan membekali mereka dengan kecakapan membaca
sastra. Kekeliruan lain adalah membiarkan pengajaran sastra kepada guru apapun.
Di kebanyakan sekolah pengajaran sastra malah ‘jatuh’ di tangan guru-guru yang
tidak profesional. Sudah menjadi rahasia publik bahwa sistem sekolah kita
ditandai oleh fenomena professional mismatches.
Semenjak dini, sungguh esensial untuk
mendekati sastra sebagai karya-karya tulis terbaik yang mengandung nilai-nilai,
pemikiran, masalah dan konflik masyarakat keseluruhan jalan hidup masyarakat. Secara kasar, sastra adalah sesuatu
yang bernilai dan enak untuk dikatakan. Sastra merupakan sebuah unsur
kebudayaan manusia yang monumental. Tidak salah dikatakan bahwa di mana ada pendidikan di
sana ada kajian sastra.
Sastra perlu dibaca lewat model
pembacaan sosial dan psikologis. Dalam konteks sosial dan budaya, pembaca perlu
mengembangkan prilaku atau sikap bahwa membaca sastra akan meningkatkan
pemahaman terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Adapun secara psikologis,
pembaca harus siap untuk menyerap nilai-nilai estetik terhadap karya-karya sastra.
Sastra bukanlah sekadar bacaan tapi sebuah bacaan estetik.
Bacaan estetik mensyaratkan bacaan
non-estetik dan perhatian penuh pada apa yang dialami, dipikirkan dan dirasakan
oleh pembaca. Upaya-upaya estetika psikologis ini didorong dan dipengaruhi oleh
ciri-ciri tekstual, seperti bunyi, ritme, metafora, simile, asosiasi dan pilihan kata. Secara
sederhana, mengajarkan bagaimana mengapresiasi sastra diyakini bakal
memungkinkan atau memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mendapatkan
kekayaan nuansa pengalaman, pikiran dan perasaan yang “dipancarkan” oleh
sebuah teks.
Kontras dari
bacaan estetik adalah bacaan efferent (berasal dari Bahasa Latin yang
berarti ‘mengangkut’), yakni bacaan non-sastra di mana aspek-aspek estetiknya
sudah hilang, “dibawa jauh” atau “diangkut”. Para pembaca yang tidak ahli, lazimnya menggunakan
strategi membaca efferent tatkala membaca teks-teks non-sastra seperti
surat kabar, majalah atau buku teks. Bagi pembaca awam seperti ini, baik
kesadaran estetik maupun apresiasi terhadap nilai-nilai sastra nyaris tidak
terbentuk. Dengan arti kata, mengajarkan sastra secara benar sama halnya dengan
menekankan estetika dan mengurangi kecenderungan efferent.
Berdasarkan pokok-pokok argumen di
atas, menjadi sebuah pertanyaan benarkah pengajaran sastra sulit dan
menyusahkan? Saya melihat ada beberapa hal yang perlu dieksperimentasikan dalam
pengajaran sastra di sekolah khususnya di bumi “Nggahi Rawi Pahu”.
Pertama, sastra perlu
diajarkan oleh guru-guru yang profesional yang dilengkapi dengan kompetensi
dalam prilaku sastra, kemampuan membaca sastra dan kecakapan mengajarkan
sastra. Prilaku sastra dimaksud dapat terukur dari karya-karya sastra yang
dibaca, ditulis dan didiskusikan dalam lingkaran atau komunitas sastra di dalam
dan luar sekolah. Kemampuan membaca sastra mencakup membaca untuk tujuan dan
kenikmatan estetik. Penekanan berlebihan pada aspek-aspek kultural fiksi
kerap disebut dengan pendekatan struktural, tokoh,
setting,
tema, dan alur, sesuatu yang acapkali menjadi latihan umum di sekolah-sekolah sama sekali bukanlah kegiatan sastra dan berdampak
menjauhnya dimensi estetik dari sastra. Sementara, kecakapan mengajarkan sastra
adalah kecakapan atau kemampuan melahirkan ikatan sastra buat melahirkan
apresiasi estetik, yang secara emosional meresap dalam pengalaman, pikiran dan
perasaan pembaca.
Kedua,
sastra sekiranya dilihat sebagai apa yang disebut sebagai “evokasi sastra” (literary
evocation). Penyair, pengarang dan pemain drama dan teater laiknya penulis lain ingin berinteraksi dengan pembaca. Bersesuaian
dengan prilaku sastra adalah cara pandang membaca transaksional (transactional
view of reading). Hal ini menunjukkan peran aktif intelektual, emosional
dan personal bagi para pembaca. Louise
Rosenblatt (1985) mendefinisikan “evokasi sastra” (literary evocation)
sebagai “the process in which the reader selects out ideas, sensation,
feelings, and images drawn from his past linguistics, literary, and life
experience, and synthesizes them into a new experience” (Proses di mana
pembaca memilih gagasan, sensasi, perasaan dan citra yang berasal dari
pengalaman hidup, sastra dan bahasa masa lalu, untuk kemudian menyatukannya ke
dalam sebuah pengalaman baru).
Implikasinya mengharuskan guru untuk
memberdayakan dan mentransformasikan siswanya sebagai pembaca guna “menjempret”
pelbagai bagian karya-karya sastra demi sebuah kenikmatan estetik. Tidak kalah pentingnya,
evokasi sastra menawarkan pembaca kebebasan menginterpretasikan karya-karya
sastra berdasarkan justifikasi estetik sebaik mungkin. Pola ujian semisal
“betul-salah” (true-false) seperti
yang lazim dalam pelaksanaan ujian di sekolah-sekolah kita sebetulnya adalah
antitesis terhadap prinsip-prinsip pengajaran sastra.
Ketiga, komunitas sastra
bukan sekadar media buat pembelajaran sastra tapi juga pembelajaran secara
umum. Kebebasan dalam apresiasi sastra fungsional meneguhkan upaya-upaya
pribadi dan mandiri dalam merespon karya-karya sastra. Seringkali siswa berada
pada stasi perasaan yang kosong ketika menelaah karya-karya sastra. Dalam
komunitas sastra, perasaan amat terkait dengan pengalaman pribadi antara satu
dengan yang lainnya. Ikatan-ikatan bersama ini akan memajukan dan mengembangkan
interpretasi yang kaya, halus dan fokus dari karya-karya sastra. Pendekatan ini
diharapkan akan meningkatkan kemampuan verbal siswa. Bahkan pada titik
tertentu, hal ini berakibat pada meluasnya kebebasan berekspresi dan demokrasi.
Keempat, mengajarkan
sastra kerap diasosiasikan dengan pengembangan kemampuan menulis. Banyak yang
menganggap bahwa menulis adalah keahlian yang paling sulit dan sedikit dikuasai
oleh para pembelajar bahasa. Sebetulnya, keahlian ini bisa diperoleh lewat
pengajaran sastra estetik. Dalam komunitas sastra, pembaca dituntut untuk
melakukan journaling, yakni mencatat segenap atau berbagai pengalamannya
dalam journal (buku catatan harian). Dengan menulis, interpretasi
pembaca menjadi hasil laporan sendiri dan bersifat otentik. Boleh jadi banyak
yang tak percaya bahwa pembaca sekarang juga dengan sendirinya adalah penulis.
Kelima, dalam komunitas
atau lingkaran sastra, siswa dituntut membaca secara resiprokal dan memberikan
komentar terhadap buku catatan harian. Setelah beberapa lama pengalaman yang
mereka tulis akan bermetamorfosis dari sebuah kewajiban menjadi kebiasaan atau
bahkan kebutuhan. Pendekatan semacam ini akan muncul sebagai sebuah model
alternatif dalam pengajaran sastra; sebuah pergeseran paradigma pengajaran dari
yang berpusat pada teks (text-centeredness) menjadi berpusat pada
pembaca (reader-centeredness).
Sebagai simpulan dari deskripsi di atas bahwa
justifikasi pembelajaran dan aktualisasi praktis dari pembelajaran sastra di
Sekolah sangat berpengaruh pada peradaban bangsa masa kini dan masa akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar