UJIAN
NASIONAL
MENGUBUR
PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh: Sugerman
ADA yang bilang,
semua kebobrokan yang terjadi di sekitar kita dengan frekuensi yang banyak dan
terus meninggi, melanda hampir seluruh wilayah negeri ini, adalah karena tidak
adanya watak yang cukup kokoh pada diri kita bersama. Yang ada adalah watak
bangsa yang rapuh dan watak manusia Indonesia yang mudah goyah.
Kalau
memang benar penilaian itu, maka tentu ada yang salah dengan masalah pendidikan
watak itu. Lantas, sampai seberapa besarkah kesalahan itu?
Yang jelas, jawabnya, banyak sekali.
Pendidikan
watak di kita selama ini diformulasikan menjadi pelajaran agama, pelajaran
kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang program utamanya adalah
pengenalan nilai-nilai secara kognitif
(pengetahuan) semata. Paling-paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan
nilai secara afektif (sikap). Padahal
pendidikan watak seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, lalu penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai
secara nyata. Dalam pendidikan watak harus terjadi langkah pengenalan nilai
secara kognitif, langkah memahami dan
menghayati nilai secara afektif dan
langkah pembentukan tekad secara konatif
(membimbing anak membulatkan tekad). Trilogi pendidikan ini oleh Ki Hajar
Dewantara diterjemahkan dengan kata-kata yang begitu sangat kita kenal: cipta, rasa,
karsa!
Jadi
pendidikan watak pada dasarnya adalah membimbing anak untuk sukarela
mengikatkan diri pada nilai. Sayangnya, pelaksanaan di lapangan sangat
melenceng dan benar-benar amburadul. Tidak ada kesungguhan pemerintah dalam
melaksanakan pendidikan watak itu. Lihat saja, tidak ada tempat dalam kurikulum
sekolah Indonesia ini untuk melaksanakan pendidikan watak yang sebenarnya. Para
guru malah bertanya, untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga untuk pendidikan
watak? “Soal watak kan tidak akan ditanyakan dalam ujian nasional!”
Dan kita
bisa melihat pada penyelenggaraan Ujian Nasional (2006). Hanya tiga mata
pelajaran yang diujikan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika.
Ketiga mata pelajaran itu memang penting. Hemat cerita, tahun 2012 di setiap jurusan
tingkat SMA, misalnya, akan mengujikan beberapa mata pelajaran, program IPA:
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, sedangkan
program IPS: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi/ Akutansi,
Sejarah, dan Sosiologi. Tetapi siapa berani bilang bahwa pendidikan watak (karakter) tidak penting? Kiranya tidak
ada! Namun ketentuan atas ketiga mata pelajaran menentukan lulus-tidaknya
seorang siswa dari Ujian Nasional berarti pemerintah memandang pendidikan
watak sama sekali tidak penting. Dengan begitu, Ujian Nasional telah mengubur
pendidikan watak!
Mungkin
ada yang mengatakan, mengevaluasi hasil pendidikan watak dengan baik tidak
mungkin dilakukan secara nasional, tetapi harus secara lokal. Kita semua
setuju. Tetapi kenyataannya, penilaian lokal tidak diperhitungkan sama sekali.
Jadi kesimpulan yang bisa ditarik, ternyata Depdiknas menganggap pendidikan
watak tidak penting. Itu hanya suatu komoditas politik yang tidak perlu
dianggap terlalu serius. Selain itu, Depdiknas menganggap para guru yang tiap
hari mendampingi anak tidak memiliki informasi yang sah tentang perkembangan
murid, termasuk perkembangan wataknya.
Kini kita harus menentukan secara tegas, pendidikan watak
di sekolah itu penting atau tidak bagi masa depan bangsa dan negara? Kalau
penting, mari ditangani bersama dengan baik. Kalau tidak penting, karena sudah
ada pelajaran agama, kewarganegaraan dan budi pekerti, ya sudah! Jangan mencari
kambing hitam dan merasa paling benar. Dan jangan ngomong tentang nation and character building kalau
begitu.
Atau memang mungkin kita tidak perlu lagi menilai apa saja
sih yang sudah dikenal dan dipahami anak mengenai berbagai hal dalam kehidupan?
Nilai-nilai tentang pergaulan sosial, tentang etos kerja, tentang kejujuran?
Apa saja yang telah diketahui dan dipahami anak tentang berbagai jenis nilai
tadi? Atau bagaimana pula mengevaluasi keberhasilan anak dalam mengenali dan
memahami nilai-nilai itu?
Atau semua
nilai-nilai itu memang tidak diperlukan dalam upaya menuju masa depan yang
lebih baik? Sehingga peran guru sebagai orang yang paling tahu tentang muridnya
malah dianggap tidak mengetahui dan tidak punya informasi akurat tentang anak
didiknya.
Sangat
salah kalau para guru dianggap tidak memiliki informasi yang sah tentang
perkembangan muridnya termasuk perkembangan wataknya. Justru gurulah yang
paling tahu tentang itu semua, karena mereka yang paling dekat. Dari aspek afektif anak dan aspek praksis, guru selalu melakukan observasi
yang sistematis, meskipun dengan cara yang paling sederhana sekalipun. Jadi
terlalu gegabah kalau menganggap guru tidak memiliki informasi sah tentang
muridnya. Sangat arogan sekali penilaian itu.
Ironisnya,
sudah tak ada kesungguhan dalam melaksanakan pendidikan watak itu, tapi justru
keinginan adanya kurikulum pendidikan watak malah dianggap sebagai komoditas
politik saja.
Sepantasnya setiap pejabat negara tidak hanya berpikir
sepanjang masa jabatannya saja dan bagi kepentingan politik kekuasaannya.
Setiap kebijakan publik yang akan diambil harus berorientasi untuk kepentingan
jangka panjang dan terlebih lagi memerhatikan nasib bangsa, nasib anak didik
dan nasib negara ini ke depan.
Negeri ini sungguh membutuhkan bukan hanya pemikiran,
tetapi terobosan yang cerdas. Hal itu hanya bisa dilakukan kalau para
pemimpinnya, mereka yang kebetulan dipercaya untuk memegang tampuk kekuasaan,
memiliki pikiran terbuka. Tahu akan tugas dan tanggungjawabnya serta
berorientasi kepada hasil. Bahkan bukan hasil untuk sekarang saja, tetapi untuk
masa depan.
Puluhan juta anak didik kita yang teraniaya dalam memperoleh
haknya di bidang pendidikannya, bahkan lebih banyak lagi yang putus sekolah,
sepantasnya menggugah kesadaran pemerintah untuk bekerja sungguh-sungguh dalam
memajukan pendidikan anak-anak kita.
Kita harus memiliki kesadaran bersama, bahwa pendidikan watak
justru menjadi sangat strategis dan sangat penting ketika kita sekarang
dihadapkan pada kenyataan terus bergesernya sejumlah sistem nilai sebagai
akibat modernisasi -----yang sangat menghamba pada rasio dan materi.
Konkretnya, dampak yang mengiringi modernisasi antara lain berupa dehumanisasi.
Modernisasi itu di masa mendatang akan mengakibatkan:
1.
Kehidupan
mendatang akan lebih banyak tantangan.
2.
Abad
yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang mendorong
manusia untuk lebih menggunakan akal pikiran dan akan memburu materi.
3.
Akibat
butir 2 di atas, akan terjadi pengikisan nilai manusiawi di mana rasa bahagia,
sedih dan duka akan berkurang bahkan bisa lenyap. (Misalnya, kasus tabrakan
maut cukup diselesaikan dengan ganti rugi materi; Suami isteri sibuk mencari
materi, dan kebahagiaan diukur dengan materi).
4.
Enjoyment
dan materialisme mendorong orang menggerakkan orang menggeser sistem nilai.
Jika di masa lalu, misalnya gotong royong menjadi sendi kehidupan masyarakat,
saat ini nilai itu semakin bergeser, seberapapun seseorang bekerja harus
mendapatkan upah.
5.
Kehidupan
yang penuh dengan pelayanan serba elektrik akan menimbulkan dampak
individualistik.
Dari kelima point di atas itu, yang lebih mengerikan lagi
adalah ramalan sosiolog yang mengatakan bahaya pergeseran sistem nilai
keagamaan dan etika dalam kehidupan keluarga yang bergeser dengan nilai sosial
budaya yang serba ekonomis. Pernikahan misalnya, dianggap hanya sebagai sebuah
kontrak sosial ekonomis dan biologis saja. Dan fenomena ini sudah tampak dalam
masyarakat modern di Swedia, Amerika Serikat, dan di banyak negara Barat sana.
Oleh karena itu, kita berharap, apapun perubahan di masa
mendatang, pendidikan sangatlah penting sebagai pedoman masa depan yang lebih
baik. Di sinilah pendidikan watak sebagai kurikulum pendidikan di sekolah
menjadi sangat penting.
Sekolah sendiri sebagai lembaga pendidikan formal,
merupakan agent of change, maka
berubah ke arah mana pun, jika masyarakatnya terpelajar, terdidik dan berwatak,
perubahan itu akan tetap berada di dalam bingkai menuju kebaikan dan
kesempurnaan yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Kita hanya berharap kepada pemerintah, bahwa untuk
tahun-tahun ajaran mendatang, pengalaman sistem ujian nasional (2006) yang
terang-terangan mengubur pendidikan watak itu, tidak dilakukan lagi. Tahun
ajaran janganlah ditutup lagi dengan kontroversi tentang kelulusan anak.
Pemerintah harus konsisten dengan sikapnya bahwa untuk mereka yang duduk di
bangku kelas III SMP maupun SMA, syarat kelulusan tidak hanya ditentukan oleh
ujian nasional. Ada tiga indikator lain yang sama pentingnya. Yakni harus
menyelesaikan semua proses belajar, baik nilainya untuk mata pelajaran agama
dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, olahraga dan
kesehatan, serta lulus ujian sekolah.
Marilah kita manfaatkan energi yang kita miliki untuk
memperbaiki kualitas bangsa ini. Jangan terus setiap ujian nasional selalu
mendulang kontroversi, yang jelas-jelas sangat melelahkan itu! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar