Jumat, 19 Juli 2013

UJIAN NASIONAL MENGUBUR PENDIDIKAN KARAKTER

UJIAN NASIONAL
MENGUBUR PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh: Sugerman

             ADA yang bilang, semua kebobrokan yang terjadi di sekitar kita dengan frekuensi yang banyak dan terus meninggi, melanda hampir seluruh wilayah negeri ini, adalah karena tidak adanya watak yang cukup kokoh pada diri kita bersama. Yang ada adalah watak bangsa yang rapuh dan watak manusia Indonesia yang mudah goyah. 
            Kalau memang benar penilaian itu, maka tentu ada yang salah dengan masalah pendidikan watak itu. Lantas, sampai seberapa besarkah kesalahan itu?
Yang jelas, jawabnya, banyak sekali.
            Pendidikan watak di kita selama ini diformulasikan menjadi pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang program utamanya adalah pengenalan nilai-nilai secara kognitif (pengetahuan) semata. Paling-paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan nilai secara afektif (sikap). Padahal pendidikan watak seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, lalu penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Dalam pendidikan watak harus terjadi langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif dan langkah pembentukan tekad secara konatif (membimbing anak membulatkan tekad). Trilogi pendidikan ini oleh Ki Hajar Dewantara diterjemahkan dengan kata-kata yang begitu sangat kita kenal: cipta, rasa, karsa!
            Jadi pendidikan watak pada dasarnya adalah membimbing anak untuk sukarela mengikatkan diri pada nilai. Sayangnya, pelaksanaan di lapangan sangat melenceng dan benar-benar amburadul. Tidak ada kesungguhan pemerintah dalam melaksanakan pendidikan watak itu. Lihat saja, tidak ada tempat dalam kurikulum sekolah Indonesia ini untuk melaksanakan pendidikan watak yang sebenarnya. Para guru malah bertanya, untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga untuk pendidikan watak? “Soal watak kan tidak akan ditanyakan dalam ujian nasional!”
            Dan kita bisa melihat pada penyelenggaraan Ujian Nasional (2006). Hanya tiga mata pelajaran yang diujikan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika. Ketiga mata pelajaran itu memang penting.  Hemat cerita, tahun 2012 di setiap jurusan tingkat SMA, misalnya, akan mengujikan beberapa mata pelajaran, program IPA: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, sedangkan program IPS: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi/ Akutansi, Sejarah, dan Sosiologi. Tetapi siapa berani bilang bahwa pendidikan watak (karakter) tidak penting? Kiranya tidak ada! Namun ketentuan atas ketiga mata pelajaran menentukan lulus-tidaknya seorang siswa dari Ujian Nasional berarti pemerintah memandang pendidik­­­­an watak sama sekali tidak penting. Dengan begitu, Ujian Nasional telah mengubur pendidikan watak!
            Mungkin ada yang mengatakan, mengevaluasi hasil pendidikan watak dengan baik tidak mungkin dilakukan secara nasional, tetapi harus secara lokal. Kita semua setuju. Tetapi kenyataannya, penilaian lokal tidak diperhitungkan sama sekali. Jadi kesimpulan yang bisa ditarik, ternyata Depdiknas menganggap pendidikan watak tidak penting. Itu hanya suatu komoditas politik yang tidak perlu dianggap terlalu serius. Selain itu, Depdiknas meng­­anggap para guru yang tiap hari mendampingi anak tidak memiliki informasi yang sah tentang perkembangan murid, termasuk perkembangan wataknya.
Kini kita harus menentukan secara tegas, pendidikan watak di sekolah itu penting atau tidak bagi masa depan bangsa dan negara? Kalau penting, mari ditangani bersama dengan baik. Kalau tidak penting, karena sudah ada pelajaran agama, kewarganegaraan dan budi pekerti, ya sudah! Jangan mencari kambing hitam dan merasa paling benar. Dan jangan ngomong tentang nation and character building kalau begitu.
            Atau memang mungkin kita tidak perlu lagi menilai apa saja sih yang sudah dikenal dan dipahami anak mengenai berbagai hal dalam kehidupan? Nilai-nilai tentang pergaulan sosial, tentang etos kerja, tentang kejujuran? Apa saja yang telah diketahui dan dipahami anak tentang berbagai jenis nilai tadi? Atau bagaimana pula mengevaluasi keberhasilan anak dalam mengenali dan memahami nilai-nilai itu?
            Atau semua nilai-nilai itu memang tidak diperlukan dalam upaya menuju masa depan yang lebih baik? Sehingga peran guru sebagai orang yang paling tahu tentang muridnya malah dianggap tidak mengetahui dan tidak punya informasi akurat tentang anak didiknya.
            Sangat salah kalau para guru dianggap tidak memiliki informasi yang sah tentang perkembangan muridnya termasuk perkembangan wataknya. Justru gurulah yang paling tahu tentang itu semua, karena mereka yang paling dekat. Dari aspek afektif anak dan aspek praksis, guru selalu melakukan observasi yang sistematis, meskipun dengan cara yang paling sederhana sekalipun. Jadi terlalu gegabah kalau menganggap guru tidak memiliki informasi sah tentang muridnya. Sangat arogan sekali penilaian itu.
            Ironisnya, sudah tak ada kesungguhan dalam melaksanakan pendidikan watak itu, tapi justru keinginan adanya kurikulum pendidikan watak malah dianggap sebagai komoditas politik saja.
Sepantasnya setiap pejabat negara tidak hanya berpikir sepanjang masa jabatannya saja dan bagi kepentingan politik kekuasaannya. Setiap kebijakan publik yang akan diambil harus berorientasi untuk kepentingan jangka panjang dan terlebih lagi memerhatikan nasib bangsa, nasib anak didik dan nasib negara ini ke depan.
Negeri ini sungguh membutuhkan bukan hanya pemikiran, tetapi terobosan yang cerdas. Hal itu hanya bisa dilakukan kalau para pemimpinnya, mereka yang kebetulan dipercaya untuk memegang tampuk kekuasaan, memiliki pikiran terbuka. Tahu akan tugas dan tanggungjawabnya serta berorientasi kepada hasil. Bahkan bukan hasil untuk sekarang saja, tetapi untuk masa depan.
Puluhan juta anak didik kita yang teraniaya dalam memperoleh haknya di bidang pendidikannya, bahkan lebih banyak lagi yang putus sekolah, sepantasnya menggugah kesadaran pemerintah untuk bekerja sungguh-sungguh dalam memajukan pendidikan anak-anak kita.

Kita harus memiliki kesadaran bersama, bahwa pendidikan watak justru menjadi sangat strategis dan sangat penting ketika kita sekarang dihadapkan pada kenyataan terus bergesernya sejumlah sistem nilai sebagai akibat modernisasi -----yang sangat menghamba pada rasio dan materi. Konkretnya, dampak yang mengiringi modernisasi antara lain berupa dehumanisasi.
Modernisasi itu di masa mendatang akan mengakibatkan:
1.      Kehidupan mendatang akan lebih banyak tantangan.
2.      Abad yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang mendo­­­­­­rong manusia untuk lebih menggunakan akal pikiran dan akan memburu materi.
3.      Akibat butir 2 di atas, akan terjadi pengikisan nilai manusiawi di mana rasa bahagia, sedih dan duka akan berkurang bahkan bisa lenyap. (Misalnya, kasus tabrakan maut cukup diselesaikan dengan ganti rugi materi; Suami isteri sibuk mencari materi, dan kebahagiaan diukur dengan materi).
4.      Enjoyment dan materialisme mendorong orang menggerakkan orang menggeser sistem nilai. Jika di masa lalu, misalnya gotong royong menjadi sendi kehidupan masyarakat, saat ini nilai itu semakin bergeser, seberapapun seseorang bekerja harus mendapatkan upah.
5.      Kehidupan yang penuh dengan pelayanan serba elektrik akan menimbulkan dampak individualistik.

Dari kelima point di atas itu, yang lebih mengerikan lagi adalah ramalan sosiolog yang mengatakan bahaya pergeseran sistem nilai keagamaan dan etika dalam kehidupan keluarga yang bergeser dengan nilai sosial budaya yang serba ekonomis. Pernikahan misalnya, dianggap hanya sebagai sebuah kontrak sosial ekonomis dan biologis saja. Dan fenomena ini sudah tampak dalam masyarakat modern di Swedia, Amerika Serikat, dan di banyak negara Barat sana.
Oleh karena itu, kita berharap, apapun perubahan di masa mendatang, pendidikan sangatlah penting sebagai pedoman masa depan yang lebih baik. Di sinilah pendidikan watak sebagai kurikulum pendidikan di sekolah menjadi sangat penting.
Sekolah sendiri sebagai lembaga pendidikan formal, merupakan agent of change, maka berubah ke arah mana pun, jika masyarakatnya terpelajar, terdidik dan berwatak, perubahan itu akan tetap berada di dalam bingkai menuju kebaikan dan kesempurnaan yang meng­­hargai nilai-nilai kemanusiaan.
 
Kita hanya berharap kepada pemerintah, bahwa untuk tahun-tahun ajaran mendatang, pengalaman sistem ujian nasional (2006) yang terang-terangan mengubur pendidikan watak itu, tidak dilakukan lagi. Tahun ajaran janganlah ditutup lagi dengan kontroversi tentang kelulusan anak. Pemerintah harus konsisten dengan sikapnya bahwa untuk mereka yang duduk di bangku kelas III SMP maupun SMA, syarat kelulusan tidak hanya ditentukan oleh ujian nasional. Ada tiga indikator lain yang sama pentingnya. Yakni harus menyelesaikan semua proses belajar, baik nilainya untuk mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, olahraga dan kesehatan, serta lulus ujian sekolah.
Marilah kita manfaatkan energi yang kita miliki untuk memperbaiki kualitas bangsa ini. Jangan terus setiap ujian nasional selalu mendulang kontroversi, yang jelas-jelas sangat melelahkan itu! ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar