PENDIDIKAN, REVITALISASI dan PROBLEM
KEBANGSAAN
Oleh : Sugerman, S.Pd.
Pendidikan
telah mati “Education is Dead”
(Neil
Postman)
Benarkah pendidikan telah menemui ajalnya? Benarkah pendidikan telah
mati sehingga tidak mampu lagi meminimalisir krisis manusia modern? Pertanyaan
ini dalam kondisi ke kinian tentunya tidak sampai pada sebuah jawaban yang
cukup ekstrim “Benar”. Namun tidak dapat ditampikkan bahwa memang terdapat
sebuah kondisi dimana pendidikan dengan berbagai komponen di dalamnya tidak
dapat berbuat banyak bagi pencerahan peradaban bangsa. Sebut saja, “Pendidikan”
terkadang hanya sekedar dijadikan sebagai “jargon politik”, dikonsumsi bak
barang “instan” dan muncul menjadi wacana yang hangat untuk diperdebatkan
ketika dibutuhkan untuk menaikkan popularitas politik atau ketika ada
lahan-lahan basah dalam dunia pendidikan yang perlu direbut. Kondisi ini
tentunya berimplikasi pada semakin terpuruknya kualitas out put pendidikan di
tanah air. Bagaimana tidak, “Sistem Pendidikan” yang ada justeru lahir sebagai
produk politik semi permanen bukan karena sebuah “political will” untuk
memajukan dunia pendidikan pada umumnya. Di samping itu, sistem itu lahir juga
lebih karena adanya respon semi permanen terhadap berbagai tekanan eksternal
untuk memajukan dunia pendidikan, sebut saja “sebagai syarat” untuk mendapatkan
pinjaman lunak dari investor asing” yang kemudian dijadikan lahan baru untuk
memperkaya diri dan rekanannya pada tingkat tertentu. Di samping itu, pada saat
yang bersamaan misalnya di tengah masyarakat di akar rumput “menguat” tuntutan
untuk melakukan “recovery” sistem pendidikan, isu ini kemudian direduksi dan
dijadikan sebagai komoditi politik yang ujung-ujungnya mencari simpati bagi
legitimasi kedudukan politik. Berbagai fakta menunjukkan keberadaan kondisi ini
yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan, seperti : realisasi UU guru dan
dosen yang berjalan tertatih-tatih “penuh dengan intrik dan upaya mobilitas
politik” ke arah penghegemonian kekuasaan, pelaksanaan UAN di tengah Pro-Kontra
masyarakat perlu atau tidak UAN dipertahankan “sementara” fakta menunjukkan UAN
adalah simbol kebangkitan “dosa nasional” bangsa ini, demikian tulisan “antara kualitas vs dosa nasional” yang
penulis kutip dalam sebuah media cetak di negeri ini (mungkin ini harus menjadi
bahan renungan kita bersama sebab meski secara nasional pada tahun 2006-2007
peserta UAN yang tidak lulus hanya 9 % dari seluruh Indonesia namun kemudian
kondisi mencengangkan terjadi ketika : “Pengadilan Jakarta Pusat” baru-baru ini
memenangkan gugatan hukum dari para pelajar yang tidak lulus terhadap
pelaksanaan UAN tahun 2006-2007. Artinya ditinjau dari aspek hukum jelas, ada
yang salah dalam pelaksanaan UAN yang patut kita cermati), dana pendidikan yang
masih di bawah 20 % sebagai mana amanah konstitusi “sementara bidang lain”
berlimpah ruah tanpa pertanggung jawaban yang jelas justru malah menjadi
rebutan dan komoditi diujung logika dan kedudukun semu sebagai elit politik,
guru dan profesinya terkadang terlecehkan dan terpojokkan oleh sistem maupun
pandangan minor sebagian masyarakat yang tidak paham akan tugas dan peran guru
berikut profesinya “sehingga tidak jarang ada oknum dalam bangsa ini ”berbuat
semau gue” menghakimi dan menempatkan kesalahan pada guru dan profesinya ketika
terjadi dekadensi nilai dan moral di tengah masyarakat bangsa ini. Terlepas
dari persoalan di atas, masih banyak fakta suram lain dalam dunia pendidikan di
tanah air yang lebih miris lagi kalau penulis ungkapkan.
Di tingkat
internasional misalnya, “beberapa” waktu yang lalu UNDP mengeluarkan catatan
penilaian bahwa 2003 IPM (Indeks Pembangunan Manusia) atau HDI (Human
Development Indexs) Indonesia merosot dari 0,684 menjadi 0, 682 dan bertahan
sampai saat ini. Hal ini tentu saja menyebabkan peringkat Indonesia diantara
175 negara juga merosot dari 110 menjadi 112.
Kondisi di atas menurut para ahli ditengarai karena ruwetnya sistem
pendidikan di tanah air. Keruwetan ini tampak dari belum adanya “platform”
fundamental yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan program pendidikan.
Masih banyak pernyataaan (gagasan) yang bersifat instan dan tanpa konsep
dijadikan dasar pengembangan pendidikan sehingga prinsip bangkar pasang
seringkali mewarnai sistem pendidikan kita tanpa hasil yang jelas justru malah
menjadi mesin birokrasi yang korup dan paling boros “pada titik tertentu”
tentunya. Sampai saat ini, belum ada formula yang jelas untuk mengatasi
keruwetan tersebut. Maka jadilah persoalan dalam dunia pendidikan kita semakin
menyerupai jalinan benang kusut. Kenyataan ini, dalam skala luas melahirkan
spektrum yang beragam. Dalam bidang politik misalnya, lahir elit-elit politik
yang “oportunis”, korup dan tidak memiliki sensitifitas sosial terhadap
berbagai problem bangsa dan masyarakat “wong cilik” yang timbul saat ini (“tapi
ada juga sebagian kecil elit politik yang masih bersih namun tidak mampu
berbuat banyak untuk perubahan karena kalah power untuk melakukan presure
terhadap berbagai kebijakan yang akan diambil”), yang pada gilirannya juga
menjadi pelaku aktif dalam menciptakan mesin dan sistem politik yang menindas
“bekerja” untuk diri dan kepentingan kelompoknya.
Ledakan penduduk yang tidak terkendali, kemiskinan yang semakin
merambah jauh dalam seluruh lapisan sosial (entah itu miskin akhlaq, miskin
ekonomi, miskin relasi dll), pengangguran yang tiap tahun meningkat sementara
lapangan kerja tiap hari berkurang karena banyaknya perusahaan yang gulung
tikar “bangkrut” imbas dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak bagi
penguatan ekonomi makro maupun mikro adalah problem-problem krusial yang lagi
hangat untuk dicermati saat ini. Mestinya ada penyatuan persepsi dalam
menuntaskan problem kebangsaan dimaksud namun justeru yang terjadi persoalan
itu dijadikan semacam “gendang politik” yang sewaktu-waktu dapat di “tabuh”
dengan bingkai “perjuangan bagi rakyat” pada hal semata-mata hanya untuk
mencari simpati dan dukungan rakyat bagi langgengnya kekuasaan. Konflik-konflik
sosial dan berbagai benturan-benturan budaya yang terjadi akhir-akhir ini
dianggap sebagai “fregmentasi sosial” sebelum mencapai bentuk yang “ideal” dan
celakanya malah terus digelindingkan seperti “bola liar” di mana ujung-ujungnya
untuk mencapai “popularitas”.
Kegagalan demi kegagalan mesin politik bangsa ini dalam mewarnai
setiap tahapan di berbagai bidang seperti yang terungkap dalam tulisan ini,
sesungguhnya akan dapat diminimalisir tentunya melalui tahapan yang terencana,
sistematis dan berkesinambungan. Apapun bentuk tahapan dan grandesain yang
diajukan untuk perubahan, semuanya harus berawal dari peningkatan kualitas
dunia pendidikan pada umumnya melalui “Agenda Revitalisasi Sistem Pendidikan”
yang ada saat ini, sebab pendidikan merupakan sarana yang paling strategis
dalam meningkatkan kualitas sumber daya suatu bangsa. Agenda revitalisasi
sistem pendidikan di sini tentunya harus didukung pula dengan agenda
revitalisasi pada bidang politik, ekonomi dan sosial budaya sebagai “trilogi”
pembangunan dunia pendidikan pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar