Jumat, 19 Juli 2013

PENDIDIKAN, REVITALISASI dan PROBLEM KEBANGSAAN

PENDIDIKAN, REVITALISASI dan PROBLEM KEBANGSAAN

Oleh : Sugerman, S.Pd.


Pendidikan telah mati “Education is Dead”
(Neil Postman)

Benarkah pendidikan telah menemui ajalnya? Benarkah pendidikan telah mati sehingga tidak mampu lagi meminimalisir krisis manusia modern? Pertanyaan ini dalam kondisi ke kinian tentunya tidak sampai pada sebuah jawaban yang cukup ekstrim “Benar”. Namun tidak dapat ditampikkan bahwa memang terdapat sebuah kondisi dimana pendidikan dengan berbagai komponen di dalamnya tidak dapat berbuat banyak bagi pencerahan peradaban bangsa. Sebut saja, “Pendidikan” terkadang hanya sekedar dijadikan sebagai “jargon politik”, dikonsumsi bak barang “instan” dan muncul menjadi wacana yang hangat untuk diperdebatkan ketika dibutuhkan untuk menaikkan popularitas politik atau ketika ada lahan-lahan basah dalam dunia pendidikan yang perlu direbut. Kondisi ini tentunya berimplikasi pada semakin terpuruknya kualitas out put pendidikan di tanah air. Bagaimana tidak, “Sistem Pendidikan” yang ada justeru lahir sebagai produk politik semi permanen bukan karena sebuah “political will” untuk memajukan dunia pendidikan pada umumnya. Di samping itu, sistem itu lahir juga lebih karena adanya respon semi permanen terhadap berbagai tekanan eksternal untuk memajukan dunia pendidikan, sebut saja “sebagai syarat” untuk mendapatkan pinjaman lunak dari investor asing” yang kemudian dijadikan lahan baru untuk memperkaya diri dan rekanannya pada tingkat tertentu. Di samping itu, pada saat yang bersamaan misalnya di tengah masyarakat di akar rumput “menguat” tuntutan untuk melakukan “recovery” sistem pendidikan, isu ini kemudian direduksi dan dijadikan sebagai komoditi politik yang ujung-ujungnya mencari simpati bagi legitimasi kedudukan politik. Berbagai fakta menunjukkan keberadaan kondisi ini yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan, seperti : realisasi UU guru dan dosen yang berjalan tertatih-tatih “penuh dengan intrik dan upaya mobilitas politik” ke arah penghegemonian kekuasaan, pelaksanaan UAN di tengah Pro-Kontra masyarakat perlu atau tidak UAN dipertahankan “sementara” fakta menunjukkan UAN adalah simbol kebangkitan “dosa nasional” bangsa ini, demikian tulisan  “antara kualitas vs dosa nasional” yang penulis kutip dalam sebuah media cetak di negeri ini (mungkin ini harus menjadi bahan renungan kita bersama sebab meski secara nasional pada tahun 2006-2007 peserta UAN yang tidak lulus hanya 9 % dari seluruh Indonesia namun kemudian kondisi mencengangkan terjadi ketika : “Pengadilan Jakarta Pusat” baru-baru ini memenangkan gugatan hukum dari para pelajar yang tidak lulus terhadap pelaksanaan UAN tahun 2006-2007. Artinya ditinjau dari aspek hukum jelas, ada yang salah dalam pelaksanaan UAN yang patut kita cermati), dana pendidikan yang masih di bawah 20 % sebagai mana amanah konstitusi “sementara bidang lain” berlimpah ruah tanpa pertanggung jawaban yang jelas justru malah menjadi rebutan dan komoditi diujung logika dan kedudukun semu sebagai elit politik, guru dan profesinya terkadang terlecehkan dan terpojokkan oleh sistem maupun pandangan minor sebagian masyarakat yang tidak paham akan tugas dan peran guru berikut profesinya “sehingga tidak jarang ada oknum dalam bangsa ini ”berbuat semau gue” menghakimi dan menempatkan kesalahan pada guru dan profesinya ketika terjadi dekadensi nilai dan moral di tengah masyarakat bangsa ini. Terlepas dari persoalan di atas, masih banyak fakta suram lain dalam dunia pendidikan di tanah air yang lebih miris lagi kalau penulis ungkapkan.
Di tingkat internasional misalnya, “beberapa” waktu yang lalu UNDP mengeluarkan catatan penilaian bahwa 2003 IPM (Indeks Pembangunan Manusia) atau HDI (Human Development Indexs) Indonesia merosot dari 0,684 menjadi 0, 682 dan bertahan sampai saat ini. Hal ini tentu saja menyebabkan peringkat Indonesia diantara 175 negara juga merosot dari 110 menjadi 112.
Kondisi di atas menurut para ahli ditengarai karena ruwetnya sistem pendidikan di tanah air. Keruwetan ini tampak dari belum adanya “platform” fundamental yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan program pendidikan. Masih banyak pernyataaan (gagasan) yang bersifat instan dan tanpa konsep dijadikan dasar pengembangan pendidikan sehingga prinsip bangkar pasang seringkali mewarnai sistem pendidikan kita tanpa hasil yang jelas justru malah menjadi mesin birokrasi yang korup dan paling boros “pada titik tertentu” tentunya. Sampai saat ini, belum ada formula yang jelas untuk mengatasi keruwetan tersebut. Maka jadilah persoalan dalam dunia pendidikan kita semakin menyerupai jalinan benang kusut. Kenyataan ini, dalam skala luas melahirkan spektrum yang beragam. Dalam bidang politik misalnya, lahir elit-elit politik yang “oportunis”, korup dan tidak memiliki sensitifitas sosial terhadap berbagai problem bangsa dan masyarakat “wong cilik” yang timbul saat ini (“tapi ada juga sebagian kecil elit politik yang masih bersih namun tidak mampu berbuat banyak untuk perubahan karena kalah power untuk melakukan presure terhadap berbagai kebijakan yang akan diambil”), yang pada gilirannya juga menjadi pelaku aktif dalam menciptakan mesin dan sistem politik yang menindas “bekerja” untuk diri dan kepentingan kelompoknya.
Ledakan penduduk yang tidak terkendali, kemiskinan yang semakin merambah jauh dalam seluruh lapisan sosial (entah itu miskin akhlaq, miskin ekonomi, miskin relasi dll), pengangguran yang tiap tahun meningkat sementara lapangan kerja tiap hari berkurang karena banyaknya perusahaan yang gulung tikar “bangkrut” imbas dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak bagi penguatan ekonomi makro maupun mikro adalah problem-problem krusial yang lagi hangat untuk dicermati saat ini. Mestinya ada penyatuan persepsi dalam menuntaskan problem kebangsaan dimaksud namun justeru yang terjadi persoalan itu dijadikan semacam “gendang politik” yang sewaktu-waktu dapat di “tabuh” dengan bingkai “perjuangan bagi rakyat” pada hal semata-mata hanya untuk mencari simpati dan dukungan rakyat bagi langgengnya kekuasaan. Konflik-konflik sosial dan berbagai benturan-benturan budaya yang terjadi akhir-akhir ini dianggap sebagai “fregmentasi sosial” sebelum mencapai bentuk yang “ideal” dan celakanya malah terus digelindingkan seperti “bola liar” di mana ujung-ujungnya untuk mencapai “popularitas”.
Kegagalan demi kegagalan mesin politik bangsa ini dalam mewarnai setiap tahapan di berbagai bidang seperti yang terungkap dalam tulisan ini, sesungguhnya akan dapat diminimalisir tentunya melalui tahapan yang terencana, sistematis dan berkesinambungan. Apapun bentuk tahapan dan grandesain yang diajukan untuk perubahan, semuanya harus berawal dari peningkatan kualitas dunia pendidikan pada umumnya melalui “Agenda Revitalisasi Sistem Pendidikan” yang ada saat ini, sebab pendidikan merupakan sarana yang paling strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya suatu bangsa. Agenda revitalisasi sistem pendidikan di sini tentunya harus didukung pula dengan agenda revitalisasi pada bidang politik, ekonomi dan sosial budaya sebagai “trilogi” pembangunan dunia pendidikan pada umumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar