Sugerman
Bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai macam suku, setiap suku dan ras. Di setiap daerah memiliki budaya dan
adat istiadat masing-masing yang memang menjadi rujukan hidup secara cultural dan berfungsi sebagai deskripsi
keunikan sebuah daerah. Budaya (cultural) merupakan gaya
hidup dalam setiap daerah. Dalam konteks
cultural atau budaya secara historis
dan secara empiris realitas di lapangan bahwa budaya merupakan deskripsi adat
istiadat yang selalu melekat dalam diri setiap insan yang memang tidak bisa
dipisahkan secara emosional dan batin dan bukan lahiriah.
Ketika proses kedekatan itu dilakukan secara emosional dan batin,
maka setiap insan yang ada lingkaran
cultural (budaya) tersebut misalnya budaya animisme dan dinamisme akan selalu
jauh dengan sistem agamaisme ataupun aqidah. Ketika kemudian budaya tersebut
selalu dikedepankan, maka secara aqidah setiap insan akan masuk dalam lingkaran
setan maupun agamais sekulerisme. Sehingga
kemudian setiap insan akan terjerumus dalam lingkaran tersebut dan memiliki
pemahaman sekularisasi. Dan sebaliknya, ketika budaya yang melekat dalam setiap
insan itu secara agamais yang mengarah pada proses peningkatan religiusitas dan humanitas maka kehidupan manusia akan masuk dalam lingkaran agamais,
sehingga akan mendapatkan nilai-nilai islamisasi.
Secara historis kehidupan setiap bangsa dan setiap daerah memiliki
keunikan sebuah cultural sehingga
sebuah keunikan tersebut menjadi sebuah perspektif yang berbeda-beda dari diri
setiap insan. Dalam konteks apapun sebuah budaya merupakan warisan nenek moyang
dan kemudian warisan tersebut merupakan repsentatif gaya hidup jaman moyang ataupun jaman dahulu
dan kemudian setiap insan pada hari ini merupakan regenerasi moyang-moyang
terdahulu yang kemudian sebagai regenerasi moyang setiap insan harus menjadi
regenerasi yang patuh dan taat kepada warisan moyang semasih warisan moyang
tersebut tidak menyimpang dari nilai-nilai agamais.
Berdasarkan sebuah gagasan atau ide yang mendasar tersebut di atas,
maka secara cultural daerah Bima dan Dompu merupakan sebuah daerah nomor dua
yang diberi predikat sebagai daerah Serambi Mekkah, kedua dari Aceh
diseluruh Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan kemudian mengapa daerah Bima dan Dompu diberi predikat
sebagai daerah Serambi Mekkah?. Jawabannya, karena daerah Bima dan Dompu terkenal dengan budaya Rimpu
Mpida. Dalam konteks “Rimpu Mpida” yang menjadi adat istiadat bagi kaum
hawa, bahwa apabila keluar dari Rumahnya maupun berada dalam Rumahnya. Bagi
kaum Hawa khususnya para pemudi daerah Bima dan Dompu selalu melekat sebuah
falsafah ”Maja Labo Dahu”.
Maja Labo Dahu merupakan falsafah
bagi para pemuda dan pemudi jaman dulu sampai jaman sekarang, sehingga bagi
para pemuda dan pemudi jaman dulu selalu melekat falsafah tersebut dan falsafat
tersebut merupakan pedoman hidup yang selalu membias dalam diri setiap insan
khususya kaum Hawa. Kaum Hawa jaman dulu selalu malu dan takut apabila memperlihatkan
atau memamerkan auratnya apalagi dilihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya,
sehingga mereka selalu memakai “Rimpu
Mpida”. Pembuktian ini bukan sebuah rekayasa, akan tetapi ini merupakan
sebuah realitas kehidupan masyarakat pada jaman dulu yang selalu takut pada
falsafah dan dosa kepada Tuhan yang telah menciptakan bumi dan langit beserta
isinya.
Sejarah tinggal sejarah, falsafah tinggal falsafah
dan Rimpu Mpida tinggal sebuah kenangan lama yang tiada terlupakan oleh insan
yang masih melekat falsafah “Maja labo dahu”. Akan tetapi bagi insan yang tidak
sadar akan sebuah jati diri sebagai anak turunan dari moyang-moyang Bima dan
Dompu selalu mengeluarkan kata-kata “Kuno, Kampungan, nggak jamani dll” ketika
orang tuanya, masyarakat, ulama (ustadz) melarang untuk membuka aurat lagi-lagi
memamerkan aurat dan kemudian ketika menceritakan sebuah historis masyarakat Bima dan
Dompu tentang “Rimpu Mpida” pasti melontarkan kata-kata ”itukan jaman dulu Pak/
Ibu”
Seiring dengan perkembangan jaman yang begitu
pesat sebuah budaya Rimpu Mpida dan sebuah Falsafah “Maja labo Dahu” tinggal
sebuah kenangan lama dan simbolitas semata. Budaya tersebut jaman sekarang
hanya ditampakkan untuk acara ceremonial saja pada saat acara-acara besar
sebagai ajang pameran simbolitas historis
ataupun menampakan dan mendekripsikan sebuah budaya daerah Bima dan Dompu.
“Dunia pada Menangis” ketika melihat perubahan
pada diri masyarakat Bima dan Dompu yang terkenal dengan budaya tersebut.
Perubahan pada diri para pemuda dan pemudi pada hari sangat drastis, sebuah
suntikan budaya global yang telah melakukan gerakan-gerakan imperialisme historis. Sehingga budaya
“Rimpu Mpida” telah terkikis dalam-dalam akibat derasnya pengaruh globalisasi.
Pembuktian ini telah terjadi pada remaja pada hari ini yang tidak pernah tahu
mana yang salah dan mana yang benar, banyak remaja yang masuk dalam lingkaran
setan misalnya penyalahangunaan narkoba, seksual dan segala penyimpangan yang
lainnya. Pertanyaan kemudian adalah siapakah yang patut kita persalahkah pada
hari ini, apakah orang tua, pemerintah ataupun arus globalisasi yang selalu memberikan
suntikan budaya ala barat? Pertanyaan ini mari kita renungi bersama sehingga
menghasilkan sebuah jawaban yang perlu kita renungkan.
By:
Sugerman
Tanggal 15 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar