Transformasi
Gerakan Mahasiswa dalam Membangun Peradaban Bangsa
(Sugerman)
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi Cakrawala
Dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
-WS Rendra-
Bangsa ini sedang berada pada persimpangan
sejarah. Sedang kebingungan ke mana akan melangkah. Bangsa ini perlu ada yang
memandu. Bangsa ini terkesampingkan maknanya. Kebanyakan generasi muda
inteleknya lebih senang berhura-hura, malas berpikir dan berdiskusi, tidak
serius belajar serta terlanjur terjerumus dalam manuver modernisasi yang
membuat mereka menjadi kaum oportunis. Mereka adalah manusia yang dididik agar
menjadi intelektual yang kontributif, mampu mamahami permasalahan di
sekitarnya, kemudian menganalisis serta memformulasikan solusi masalah tersebut
dalam bentuk nyata. Tapi apa daya. Definisi tidak selaras dengan implementasi.
Mereka belum mampu membuat harapan bangsa ini menjadi kenyataan yang lebih baik
dari sebelumnya. Kebanyakan mereka tidak memaknai peran yang diemban, posisi di
mana mereka berada, serta fungsinya di mata masyarakat. Hanya lebih menonjolkan
individualisme yang demikian melambung. Mereka adalah anak manusia yang di
dadanya menyandang label MAHASISWA. Generasi yang katanya–harapan bangsa.
Apa
arti kata MAHA di depan kata SISWA?
Pertanyaannya
sekarang. Ke manakah para pemuda intelektual terdidik saat ini? Ke manakah para
penerus cita-cita bangsa di zaman ini? Di mana kemandirian mereka selaku
pengemban amanah rakyat? Mana kegarangan teriakan mahasiswa yang telah
meruntuhkan Kerajaan 32 tahun Soeharto?
Jawabannya
mungkin bisa terpuaskan jika kita berkeliling kota malam ini. Nongkrong
di mall, berkumpul di simpang jalan dengan sekumpulan motor beserta
teman-temannya, berdesakkan di konser musik, bersesak-sesak mengantri di loket
peluncuran album sebuah grup band, dan berpeluh-peluh keringat di pub sambil
menghabiskan dua botol bir. Mungkin tidak semua. Tapi itulah kenyataannya kini.
Gaung hedonisme sudah tidak bisa lagi dibendung oleh antibodi idealitas
semangat antikemapanan. Dampak negatif globalisasi seakan menghujam deras dalam
alur pikiran mereka. Membuat dangkal kreativitas dan menumpulkan kemandirian.
Sayangnya zaman ini membuat mereka condong pada satu pilihan yang mengerdilkan
intelektualnya.
Sebagai
insan akademis yang selalu mencari kebenaran ilmiah, mahasiswa selalu
diharapkan mampu memahami keberadaannya berlandas pada tri dharma perguruan
tinggi. tri dharma merupakan misi yang diembankan masyarakat kepada perguruan
tinggi di mana mahasiswa berada di dalamnya dan mendukung tercapainya misi
tersebut. maka inilah mengapa mahasiswa memiliki power untuk menunjukkan
arti kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa selalu
memiliki kemandirian lebih dalam konteks ia memandang hidupnya. Sebagai kelas
minoritas yang memiliki kelebihan pikiran dan waktu luang, mahasiswa kerap
muncul sebagai pelopor gerakan perlawanan atau perbaikan terhadap kondisi
ketidakidealan masyarakat. Gerakan ini dilandasi oleh kesadaran moral, tanggung
jawab intelektual, serta pengabdian sosial. Kesadaran inilah yang dulu diyakini
membuat mahasiswa memiliki bergaining position di negara ini.
Menyibak
Sejarah Pergerakan Mahasiswa
Banyak
pergerakan yang dibangun oleh mahasiswa telah melahirkan perubahan di negara
ini atau setidaknya apa yang mereka perjuangkan telah melahirkan cetakan sejarah
bagi bangsa. Pergerakan mahasiswa yang dibangun di negeri ini dulu telah
membuat bangsa ini kaya akan sejarah. Mereka menyadari bahwa kebutuhan rakyat
saat itu menjadi demikian penting untuk mereka bahas dan cari solusinya. Wujud
nyata dari perjuangan mereka dalam menumbuhkan kepedulian terhadap rakyat,
membuat mereka menjadi kaum yang kritis, reaktif terhadap ketidakadilan, dan
kontrol terhadap jalannya berdemokrasi di negara ini.
Pada
zamannya pergerakan mahasiswa di berbagai negara telah melahirkan gejolak
sosial yang sangat memberikan pengaruh pada situasi dan wacana pergerakan
mahasiswa di berbagai negara lainnya. Demikian juga di Indonesia. Pergerakan
mahasiswa di Bolivia, Argentina, Korsel, Filipina, Cina, Iran, dan negara
lainnya telah menularkan semangat pergerakan pada mahasiswa Indonesia kala itu.
Baik pada masa kebangkitan nasional (1908), masa inisiasi persatuan (1928),
masa perjuangan kemerdekaan (1945), masa pergolakan kemerdekaan (1966), dan
terakhir masa perjuangan reformasi (1998). Selain pada masa itu, pergerakan
mahasiswa telah melahirkan peristiwa sejarah yang sangat dikenang. Di antaranya
ada peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) dan NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) pada tahun 1978 di ITB sebagai
tindakan represif penguasa saat itu terhadap diterbitkannya ‘Buku Putih
Perjuangan Mahasiswa Indonesia’ yang terkenal dengan nama “Gerakan Anti
kebodohan”. Dari semua akumulasi perjuangan generasi muda intelekual Indonesia
telah banyak agenda yang telah dihasilkan dimulai dari masa kebangkitan
nasional yang berhasil menyadarkan rakyat bahwa Indonesia harus bangkit dan
melawan terhadap segala bentuk kolonialisasi yang ada. Hasil dari masa ini
adalah berdirinya Boedi Oetomo sebagai organisasi formal pertama yang didirikan
oleh kaum muda pribumi yang intelek. Pada masa inisiasi persatuan (1928) telah
melahirkan sumpah pemuda yang intinya menginginkan adanya komponen-komponen
yang dapat membentuk sebuah bangsa terwujud. Tahun 1945 mahasiswa selain
bertugas untuk menuntut ilmu, mereka juga disadarkan untuk peduli dalam
mewujudkan kemerdekaan bangsa. Banyak mahasiswa yang terlibat pada masa ini,
dan hasil yang diperoleh adalah sangat fenomenal (dan mahasiswa saat itu mengambil
peran yang cukup besar juga), yaitu kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1966
lahirlah Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) di mana di sana mahasiswalah yang
menjadi pelopor. Puncaknya dan peristiwa yang paling fenomenal adalah pada
tahun 1998. Generasi inilah yang berani menggulirkan semangat reformasi. Pada
masa ini marak terjadi aksi-aksi penumbangan rezim orde baru.
Pada masa itu orientasi dan arah gerakan mahasiswa telah jelas. Mereka
telah memiliki visi bersama untuk bergerak dan berani melahirkan kepedulian
terhadap penderitaan rakyat saat itu. Kesadaran dan kekritisan adalah sikap
yang sangat dasar untuk dibangun dalam karakter mereka. Atas dasar menjadi
bagian dari masyarakat, mereka bergerak. Maka pada masa itu terkenallah dengan
sebutan aktivis. Semua aktivis itu dicetak dengan pola kaderisasi yang rapi
melalui kelompok-kelompok studi warisan para seniornya. Mereka dibekali dengan
pemikiran dan wacana sosial politik yang berkembang sambil digugah untuk
melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka.
Atas dasar itulah sikap kepemimpinan yang mereka bangun. Budaya
berdiskusi sangat kental sekaligus fokus dan mengena yang terjadi pada masa
itu. Wacana sosial yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga membuat mereka
menyadari keberadaan mereka sebagai insan akademis yang selalu memakai kaidah
kebenaran ilmiah. Penanaman nilai yang dilakukan adalah bagaimana mereka
mewujudkan kepedulian mereka. Dengan basic pola kaderisasi dan penanaman
nilai, mereka telah membuat sendiri perspektif kepemimpinan menurut mereka. Tak
perlu dipungkiri bahwa gerakan yang mereka bangun telah ikut menorehkan sejarah
perjuangan bangsa ini. Inisiasi mereka telah melahirkan kuncup peradaban bangsa
yang nantinya diharapkan terus berkembang lewat tangan dan pemikiran kaum muda
ini.
Gerakan
Mahasiswa Dulu dan Kini : Transformasi
Pergerakan mahasiswa lain dulu lain sekarang.
Tantangan dan peluang yang dihadapi pun berbeda. Antara kolonialisasi dan globalisasi. Setiap masa memiliki zamannya masing-masing.
Setiap masa memiliki sarana pembelajaran dan aktualisasi masing-masing. Setiap
masa memiliki cara menjawab tantangan zaman dan masa depan. Oleh karena itu
jelas pergerakan mahasiswa per-masa-nya pasti akan berbeda. Kita mengenal
gerakan mahasiswa harus berlandas pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka
haruslah perguruan tinggi bertugas untuk menanamkan nilai-nilai Tri Dharma
tersebut. Secara substantif, keberadaan mahasiswa di perguruan tinggi tidak terlepas dari peran perubahan yang dimiliki
oleh setiap perguruan tinggi. Dalam perspektif tertentu, mahasiswa juga
merupakan aset masa depan sebuah bangsa, karena mereka adalah kelompok
minoritas dari masyarakatnya yang terpelajar. Dengan demikian, mahasiswa secara
mitos selalu diagungkan sebagai calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan
datang. Namun, sejauh mana relevansi dari asumsi tersebut dengan realitas yang
ada?
Kenyataan
menunjukkan bahwa mahasiswa adalah bagian dari mereka yang juga menjadi masalah
dari bangsa ini. Ketidakmampuan perguruan tinggi membangun kapasitas
keilmuan yang secara kritis mampu memberikan banyak perspektif epistemis,
juga berpengaruh pada kualitas mahasiswa yang dihasilkannya. Perguruan tinggi
hanya sekedar menjadi mesin/pabrik yang melahirkan produk massal yang bernama
sarjana, yang bahan mentahnya adalah mahasiswa. Perguruan tinggi juga hanya
menjadi konsumen yang mengikuti selera pasar dalam melahirkan produk-produknya.
Dalam konteks lain, perguruan tinggi kemudian menjadi kelompok oportunis yang
dibungkus oleh legitimasi ilmiah yang demikian canggih.
Keadaan
ini membawa konsekuensi pada tidak adanya hubungan yang baik antara gerakan
pemikiran kritis di satu sisi, dengan kecenderungan perkembangan perguruan
tinggi yang mengarah pada pemikiran dominan (neoliberalisme) di sisi lain. Pada
titik inilah sebenarnya terjadi benturan yang sangat berat di internal sebuah
perguruan tinggi, yang secara langsung mempengaruhi cara berpikir mahasiswanya.
Akibatnya, mayoritas mahasiswa adalah mereka yang tidak kreatif, tidak
inovatif, tidak kritis, serta tidak mempunyai visi perubahan secara esoterik
dalam memandang masa depan masyarakatnya. Dampak negatif dari globalisasi yang
merasuki segala bidang kehidupan masyarakat.
Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada dinamika
gerakan mahasiswa yang terbangun dari dalam kampus. Terkadang kita hanya bisa
mengurut dada tatkala melihat mayoritas mahasiswa yang apatis, hedonis, dan tidak
peduli dengan lingkungannya. Sementara di pihak lain kita juga bisa menemukan
sedikit mahasiswa yang kritis, yang dengan kembang kempis mencoba melakukan
sesuatu untuk perubahan masyarakatnya. Ironis! Padahal harusnya pada zaman
sekarang ini yang mengusung tema globalisasi di mana-mana, mahasiswa harusnya
menjadi subjek penilai terhadap keberjalanan proses ini, bukannya turut menjadi
objek. Jelas ini menimbulkan masalah.
Gerakan mahasiswa yang dibangun saat ini dengan memakai metode pergerakan
masa lalu dinilai tidak memberikan perkembangan berarti dalam merumuskan
kembali peradaban bangsa. Metode-metode konvensional seperti aksi (demonstrasi)
sayangnya menjadi sebuah tindakan yang terlalu reaktif, dan dianggap sebagai
metode satu-satunya. Maka apabila kita lihat metode pergerakan masa kini dan
masa lalu sebenarnya tidaklah jauh berbeda, sayang sekali hasilnya sangat
berbeda jauh. Pemerintah kini tidak lagi khawatir dengan yang namanya aksi,
masyarakat kini telah menganggap itu hanya ritual kemahasiswaan saja. Ditambah
lagi dari keapatisan mahasiswa. Ketidakberlanjutannya mereka dalam menjaga
komitmen mereka untuk bergerak. Mereka memang selalu ikut ambil bagian dalam
tiap-tiap aksi, akan tetapi setelah itu kemudian mereka malas-malasan, tidak
mau serius belajar, tidak mau serius berfikir, tidak mau serius berencana dan
tidak mau serius berdiskusi bagaimana caranya menawarkan solusi dalam setiap
permasalahan yang dihadapi. Parahnya lagi di antara mereka banyak yang
berkoar-koar mengenai fasilitas rakyat, ia sendiri yang malah menggunakan
fasilitas rakyat itu dengan tidak bertanggung jawab. Maka metode yang dibangun
masa kini haruslah menjadi tinjauan ulang yang harus dirumuskan oleh mahasiswa
dalam setiap gerakannya. Karena hakikat gerakan itu adalah memberikan pengaruh.
Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang sangat kompleks. Agaknya
persoalan gerakan harus memiliki dasar dan pedoman yang harus diemban oleh
setiap mahasiswa yang masih memiliki kepedulian dalam hatinya.
Maka
dari itu idealnya, gerakan, sebagai sebuah proses untuk menumbuhkan sense of
leadership mahasiswa diperlukan transformasi. Arti transformasi di sini
bukan berarti mereduksi semua metode gerakan kemahasiswaan yang dulu sudah
berkembang, akan tetapi lebih dikaitkan pada persoalan atau permasalahan yang
menjadi dampak negatif dari globalisasi. Misalnya kebutuhan akan pangan,
kerusakan lingkungan, kelaparan, kebutuhan akan energi dan teknologi tepat
guna, permasalahan sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Transformasi
gerakan mahasiswa yang dibangun untuk masa depan harus memenuhi irisan antar
beberapa kepentingan oleh setiap pihak. Kemudian timbul pertanyaan. Siapakah
yang akan memainkan peran (actor)
untuk mengambangkan sifat gerakan tersebut. Sifat gerakan yang pertama yang harus
ditampilkan adalah membangun karakter kebangsaan, sekarang ini banyak mahasiswa
yang melandasi gerakannya dengan karakter NATO (No Action Talk Only) atau omdo
alias omong doang. Inilah sebenarnya kondisi yang memprihatinkan. Perguruan tinggi yang berperan sebagai
lembaga yang ikut turut andil dalam penanaman atau pengajaran, haruslah
menanamkan pembangunan karakter, agar sifat ini lebih didasari oleh semangat
untuk menjaga keutuhan. Untuk menyadari betapa pentingnya kontribusi gerakan
terhadap arah membawa bangsa ini selanjutnya. Perguruan tinggi harus mampu
mewujudkan karakter itu yang ada pada mahasiswanya. Dengan berlandas pada
potensi dasar manusia (fisik, akal, jiwa) metode pembangunan karakter mahasiswa
harus terus ditingkatkan agar dia mengerti seberapa penting perannya dalam
menyelesaikan permasalahan bangsa. Membangun Karakter Kebangsaan harus
terintegrasi ke dalam sebuah sistem tata nilai yang dianut oleh mahasiswa.
Nantinya pembangunan karakter ini juga yang akan membentuk pola pikir ilmiah,
kritis, idealisme, dan kepeloporan. Pola pikir inilah yang mendasari sebuah
gerakan. Gerakan dalam sebuah wujud protes terhadap kondisi sosial yang dinilai
tidak adil.
Transformasi gerakan juga harus memunculkan
generasi-generasi yang mampu memimpin bangsa ini. Sudah saatnya kaum muda,
terutama mahasiswa, mempersiapkan untuk memproyeksikan diri menjadi pemimpin.
Mencetak pemimpin muda adalah sebuah urgensi untuk mendinamisasi keberjalanan
bangsa ini. Untuk para mahasiswa tempalah diri kalian di berbagai organisasi,
baik itu bersifat sosial, politik, ekonomi, pengembangan ilmu pengetahuan, dan
lainnya. Organisasi merupakan sarana yang paling tepat dalam mempersiapkan
mentalitas kepemimpinan mahasiswa yang nantinya akan menjadi penopang budaya
kepemimpinan nasional yang saat ini masih morat-marit dan memalukan. Belajarlah
mengenal bidang yang disukai agar dapat memberikan perspektif kritis tentang
kepemimpinan (leadership) yang secara visioner mampu merumuskan pola kehidupan
bersama yang lebih baik di masa yang akan datang. Ambillah peran strategis yang
dapat meningkatkan skill leadership. Dalam menumbuhkan skill leadership,
ada beberapa faktor yang dapat menunjang skill tersebut. Pertama, harapan. Harapan adalah matahari di langit jiwa. Tidak
ada sesuatu yang sangat dibutuhkan saat reruntuhan kekalahan menghimpit jiwa
kita selain dari harapan yang dapat mengembalikan rasa percaya diri untuk
bangkit kembali. Di sinilah fungsi seorang pemimpin dan nilai yang dianutnya! Kedua, mengubah diri. Harapan itu menimbulkan
tekad untuk mengubah diri, dari hal yang kecil hingga hal yang besar. Menjadi
teladan, adalah cara yang efektif dalam mempengaruhi orang. Ketiga, mencari visi terhadap perubahan. Para penggerak tidak
bisa bekerja tanpa perencanaan, mereka butuh planning untuk memelihara
semangat gerakannya. Pun ketika ia tidak menemukan orang yang dicari, ia akan
membuatnya sebelum energinya habis. Maka dari itu risaulah terhadap
penyakit-penyakit yang menyerang bangsamu hari ini. Buatlah kegelisahan hati
dengan membaca koran, berita, dan media-media tentang bangsa ini. Bukalah mata
atas penjajahan asing atas sumber daya alam Indonesia yang sudah semakin
menipis. Kemudian berpikir untuk menjadi pembuat kebijakan strategis di negeri
(Daerah) ini. Bangkitkanlah negeri ini ketika kau menjadi pemimpin nanti.
Lawanlah semua ekses negatif globalisme. Tumbuhkanlah dalam diri kita
keberanian menentang tirani. Serta ingatlah bahwa transformasi gerakan ini
harus memunculkan hasil yang signifikan bagi bangsa ini.
Constructive
Movement : The Real Transformation Movement
Transformasi gerakan yang ketiga merupakan wujud konkret
gerakan yang bersifat pengabdian dan tentunya akan mengarahkan bangsa ini pada
kemakmuran dan mungkin kesejahteraan. Dengan gerakan konstruktif yang terdiri
dari pengembangan keprofesian mahasiswa dan penerapan teknologi, pengabdian
masyarakat, dan kegiatan berwirausaha, diharapkan peran serta kepemimpinan
mahasiswa sebagai kaum muda dalam perannya sebagai agent of change, guardian
of value dan iron stock menjadi solusi terhadap permasalahan bangsa.
Dengan pengembangan keprofesian dan teknologi
yang menjadi inti pengetahuan mahasiswa, diharapkan dapat mengaplikasikan apa
yang dipelajarinya di bangku sekolah untuk diabdikan terhadap masyarakat dan
bangsa. Metode yang dilakukan adalah dengan sedikit menggeser minat kita
terhadap hal yang lebih luas kepada kegiatan-kegiatan penelitian dan keprofesian.
Harus ditanamkan kesadaran dalam benak mahasiswa bahwa mengaplikasikan ilmu
yang telah didapatkan di bangku kuliah merupakan tanggung jawab moral yang
harus dipenuhi. Didasari oleh permasalahan bangsa yang terkait dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka mahasiswa berkesempatan untuk ambil peran dalam
penyelesaian masalah tersebut. Misalnya teknologi dalam pemanfaatan energi
untuk listrik, teknologi dalam mengelola lingkungan, teknologi informasi dan
komunikasi, teknologi ketahanan pangan dan banyak lagi teknologi yang dalam
perspektif pengajaran di perguruan tinggi bisa dikembangkan lebih lanjut untuk
kemanfaatan masyarakat dan bangsa ini. Bukan hal yang tidak mungkin mahasiswa
melakukan itu dan banyak sarana serta wadah untuk menampung kreativitas
mahasiswa dalam mengembangkan keprofesiannya untuk kegunaan. Di antara ada
Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS), Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI),
serta masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang telah banyak melahirkan karya
nyata sebagai kreativitas intelektual mahasiswa. Semua karya nyata tersebut
tentunya dilandasi atas dasar wujud kontribusi mahasiswa terhadap bangsa.
Jikalau
karya nyata itu telah banyak dan termanfaatkan dengan baik, maka perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia akan lebih maju. Dengan Iptek yang
maju bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa yang terpandang di dunia
internasinal. Semua itu akan menjadi cita-cita besar mahasiswa untuk bangsa.
Mahasiswa
pun harus bergerak dalam konteks yang lebih real lagi selain mengembangkan
keprofesiannya. Keprofesian itu akan lebih terdayagunakan apabila mampu
diimplementasikan dalam kegiatan yang bersifat pengabdian. Hal ini merupakan
cerminan dari tri dharma perguruan tinggi. Misalnya mengadakan kegiatan Bina
Desa atau terlibat dalam mitigasi bencana alam ataupun pelestarian lingkungan.
Bahkan kalaupun di lingkungan sekitarnya ada kegiatan kerja bakti dan mahasiswa
mengikuti kegiatan tersebut, maka itu adalah wujud kontribusi yang riil
walaupun kecil, tapi mungkin demikian berarti bagi masyarakat di sekitarnya.
Sekali lagi kegiatan tersebut harus dilandasi dengan kesadaran tanggung jawab
mahasiswa sebagian bagian dari masyarakat.
Efektivitas keilmuan dan latar belakang ilmu
akan lebih bermanfaat lagi apabila melibatkan banyak pihak, baik orang lain
maupun dirinya sendiri. Dengan melahirkan semangat wirausaha serta upaya untuk
mengimplementasikannya akan sangat berguna setidaknya bagi mahasiswa itu
sendiri. Setidaknya ia tak akan menambah beban pengangguran yang menjadi salah
satu masalah bangsa saat ini. Ia juga membantu pemerintah dalam membuka
lapangan kerja baru. Berwirausaha merupakan sebuah wujud gerakan mahasiswa
dalam sisi yang mungkin tidak terpikirkan selama ini. Setidaknya negeri ini
membutuhkan orang yang berjiwa entrepreneur lima persen setiap tahunnya
(ITB dan Manusia ITB untuk Indonesia Incorporated, Cardiyan HIS, President
& CEO PT. SWI Group, Jakarta). Peluang mahasiswa dalam menumbuhkan dan
menularkan semangat wirausaha sekarang ini sangat terbuka lebar. Asalkan
memiliki keteguhan dan kesungguhan untuk berusaha mandiri.
Semua
wujud transformasi gerakan tersebut semakin membuka penempatan peran serta
kemampuan kepemimpinan mahasiswa sebagai generasi muda untuk turut ambil bagian
dalam penyelesaian masalah bangsa. Ikhtiar yang dilakukan mudah-mudahan dicatat
sebagai langkah revolusioner untuk mewujudkan tatanan bangsa Indonesia yang
madani, adil, makmur, dan berkesejahteraan. Konsep berpikir dalam mewujudkan
gerakan-gerakan yang disebutkan di atas sebenarnya masih menggunakan metode
bagaimana mahasiswa masa lalu berpikir akan realita bangsa, akan tetapi dengan
implementasi gerakan yang berbeda.
Refleksi kepemimpinan mahasiswa dalam memimpin
transformasi gerakan ini harus dilakukan dengan semangat penyadaran akan realitas
masyarakat dan bangsa, menumbuhkan kepedulian yang murni, dan semangat
integritas serta pembelajaran yang dimaknai sebagai pemicu semangat untuk
berkontribusi. Kritis, ilmiah, pelopor, inisiatif, dinamis, serta kata-kata
lainnya yang merupakan sikap dan sifat yang harus disandang oleh mahasiswa di
zaman ini. Ingatlah bahwa bangsa ini merindukan putra-putrinya untuk memimpin.
Untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam membangun peradaban
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar