Jumat, 19 Juli 2013

PISAHKAN PENDIDIKAN DENGAN KEPENTINGAN POLITIK SESAAT

PISAHKAN PENDIDIKAN
DENGAN KEPENTINGAN POLITIK SESAAT

Oleh: Sugerman

“PENERIMAAN siswa baru (PSB) hanyalah se­bagian masalah kecil dari pembangunan pen­didikan di Indonesia. Masalah lainnya ada­lah mutu atau kualitas pendidikan, keterkaitan atau relevansi pendidikan sebagai output men­jawab kebutuhan masyarakat, serta efisi­ensi atau motivasi untuk mengoptimalkan pen­didikan sebagai solusi menghadapi tan­tang­an pembangunan bangsa," hal ini dikata­kan Tendi Naim, ketua Simpul Pendidikan Jawa Barat, sebuah organisasi non-peme­rin­tah yang berusaha mendorong percepatan dan perbaikan pendidikan. (Pikiran Rakyat, 4 Juli 2004).
                Bila melihat muaranya, memang ma­sa­lah PSB yang berlangsung setiap tahun ini, terjadi akibat pemerintah belum mampu men­jadi penyelenggara pendidikan yang baik, dan mendorong pendidikan seba­gai modal pem­bangunan bangsa. Menurut da­ta di Dep­diknas, diperkirakan rata-rata seta­hunnya 2 juta anak tidak tertampung di SD. Artinya, me­reka tertolak karena kurangnya da­ya tampung atau tidak sanggup melewati PSB karena bi­­­aya yang tidak murah lagi. Semen­ta­ra, mere­­ka yang lo­los PSB pun belum tentu mela­­njutkan pen­didikan dasarnya, karena me­nu­rut data ter­sebut masih terdapat 1 juta anak usia 7-12 ta­hun yang putus sekolah SD.
Itu bisa dilihat lebih mendasar lagi di ting­kat pendidikan pra-sekolah kita. Layanan peme­rintah baru bisa menampung 1% anak usia 0-5 tahun melalui penitipan anak, 12,65% usia 5-6 tahun melalui taman kanak-kanak, serta 0,245 melalui kelompok bermain. Data lain menye­butkan, 11,298 juta anak usia 4-6 tahun yang masih memerlukan layanan pen­didikan pra-sekolah.
Jadi kesimpulannya, kesempatan un­tuk mem­­­per­oleh pendidikan bagi rakyat Indo­nesia masih sangat terbatas pada tingkat se­kolah dasar. (Sebagai hasil dari Program In­pres SD 1974).  Berdasarkan data Balitbang Dep­diknas 2000, angka partisipasi murni (APM) untuk anak usia SD tahun 2010 telah mencapai 94,4%. Sementara APM SMP 54,8%, SMA, SMK, dan MA, 31,5%, serta angka partisipasi kasar (APK) pendidikan ti­nggi hanya 11,6%.
Dari data tersebut terlihat sekali be­sarnya kesenjangan antara keluaran (lulusan) SD ke SMP, SMP ke SMA dan SMA ke Per­guruan Tinggi, dengan daya tampung yang se­makin kecil atau terbatas jumlahnya. Diasum­si­kan, setiap lulus 10 anak SD, hanya tertam­pung 5 orang saja di SMP. Begitu pun de­ngan 5 orang SMP yang lulus, hanya bisa di­tampung 3 orang di SMA. Akibatnya, terja­dilah tingkat persaingan begitu ketat saat mu­sim PSB.
Dalam kondisi ini, orangtua bak meng­­­­­­­­hadapi buah simalakama. Di satu pihak ia butuh sekolah dan ingin anaknya sekolah di tempat yang layak serta terjangkau dan difa­silitasi pemerintah sebagai pengemban ama­nat UUD 1945, namun menemui kenyataan daya tampung terba­tas. Akhirnya, musim PSB selalu membuat jelimet. Apalagi jika dihadapkan pada persoalan dana, orangtua tidak bisa berbuat banyak dan tidak dalam posisi tawar.
Bila dana pendidikan pemerintah (AP­BN) masih lebih besar ke penyediaan infrastrukturnya, dibandingkan subsidi untuk siswa sendiri secara langsung, berarti masih belum mengena pada sasaran pendidikan itu sendiri. Karena sekolah tidak hanya me­mer­lukan guru yang berkualitas dengan gaji yang tinggi, dan gedung-gedung yang megah, namun juga ke­tersediaan buku, seragam ser­ta peralatan pe­nunjang kegiatan belajar meng­ajar.
Dan semua itu siapa yang mena­nggung? Berapa yang dibiayai secara efektif dari pemerintah, dan tepat pada sasaran tan­­­­pa pengurangan dan penyelewengan di te­ngah jalan? Kekurangan-ke­kurangan itulah yang biasanya akan ditim­pakan pada siswa baru.
Kesenjangan di daya tampung sekolah (supply) yang masih rendah dibandingkan ke­butuhan masyarakat (demand) mendorong pe­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­nawaran harga yang tinggi. Hal ini wajar bi­la melihat hukum ekonomi, barang yang ter­batas pasti akan memiliki daya tawar lebih tinggi.
                Adakah solusi yang bisa kita tempuh? Seperti biasanya, solusi itu selalu ada dan bisa dilakukan. Tetapi sayang niat untuk ke sananya itu yang tidak ada. Belum nampak.
Ada tiga cara solusi untuk bisa di­tempuh.
Pertama, kapasitas dan daya tampung diper­besar. Ini bisa dilakukan secara bertahap di­mu­lai dari tingkat yang paling dasar hingga Perguruan Tinggi. Terutama di tingkat sekolah lanjutan, karena untuk SD/MI daya tam­pung anak yang memasuki usia sekolah su­dah memadai yang mencapai 95-98%.
Setidaknya pemerintah kabupaten dan kota menggulirkan SMP Terbuka. Selain itu juga mendorong sekolah mau melakukan double shift. Bila daya tampung kurang me­madai untuk kelas pagi maka perlu membuka kelas sore. Jadi selama permintaan masyarakat ter­hadap pendidikan masih tinggi dan moti­va­si­nya ada, pihak sekolah harus sebisa mungkin melayani. Dan tidak ada lagi siswa yang lulus SD tidak melanjutkan atau tidak tertampung.
                Bila perlu dibuka sekolah jarak jauh atau kelas jarak jauh, dan SMP Kecil. Seko­lahnya cukup 3 kelas, dengan murid masing-masing kelas bisa hanya 8-10 orang dan dike­lola oleh pemerintah desa setempat. Ijazah yang didapat disamakan dengan SMP lain­nya.
Kedua, memberdayakan dewan pendi­dikan dan dewan sekolah, agar terus ber­usaha mem­perkecil cost atau biaya yang di­bebankan langsung pada siswa dengan men­cari sumber pendanaan pihak ketiga. Bisa ju­ga diadakan subsidi silang antara siswa yang mampu de­ngan siswa tidak mampu. Juga a­lum­ni yang bekerja di perusahaan atau swas­ta bisa dili­batkan untuk mengurus pendidikan untuk mengatasi persoalan biaya, dan pihak peme­rintah juga memberi respon dengan mem­­­­­­­­buat kebijakan pengurangan pajak bagi peru­sa­ha­an atau swasta yang menyalurkan dana­nya untuk pendidikan.
Ketiga, memisahkan pendidikan dari ke­pen­tingan kekuasaan politik. Agar setiap ke­­­bi­jakan bisa dipertanggungjawabkan dan ko­­mit­men membangun pendidikan menjadi je­las. Jadi nantinya tidak lagi muncul ungkapan, gan­ti pejabat ganti pula kebijakan, karena pe­ma­haman yang berbeda-beda tentang pendi­dik­an di Indonesia. Setidaknya pengalaman UAN (2004) dengan mekanisme Konversi Nilainya yang melibas rasa keadilan itu, tidak terulang lagi di masa-masa mendatang. Karena, betapa pun ditutupi, di si­tu juga terasa sekali muatan politiknya. Di mana pemerintah tam­pak kuat sekali menge­jar jumlah kelulus­an yang tinggi sekedar untuk mem­­­­­­­­be­ri image positif ke ma­syarakat bahwa de­ngan jumlah kelulus­an yang tinggi itu me­nu­njukkan bahwa peme­rintah telah mampu mem­bawa pendi­dikan kita pada tingkat ber­hasil dan memba­nggakan(?). Di sini ekskutif telah membuat pendidikan sebagai alat kepentingan politik sesaat!
“Ah, itu mah cuma sebuah capaian yang se­mu!” keluh masyarakat, yang setiap tahun harus menye­­­­­­­kolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dan tidak mampu membiayai. Mengenaskan sekali.
Dan tahun itu pula, mulai tahun 2005, ada Ujian Nasional, dengan grade 4,26 yang kemudian secara antiklimaks menghasilkan lulusan nol persen di banyak sekolahan. Sangat mengenaskan dan menimbulkan kontroversi.
Ditambah lagi, di tahun 2006 sampai sekarang, ternyata pula Ujian Nasional itu lebih menuai kontroversi. Apalagi ketika Kurikulum 2004 sedang dipelajari, dipraktikkan, dan dinikmati, muncul Kurikulum 2006 yang diperkenalkan dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Umumnya para guru bidang studi menjadi kesal dan bingung lalu memlesetkannya menjadi Kurikulum KaTeSiaPe? (Menurut siapa?). Itu karena mereka dikejar-kejar agar membuat sendiri kurikulum tiap mata pelajaran bagi sekolahnya. Akibatnya banyak waktu habis untuk seminar dan pertemuan guru bidang studi demi merencanakan kurikulum seperti diharapkan KTSP. Hal ini jelas sangat mengganggu proses belajar mengajar. Yang pasti, KTSP itu menjadi beban baru yang diluncurkan pemerintah tanpa persiapan memadai. Beberapa guru menyatakan, keputusan Depdiknas yang ngotot mengadakan ujian nasional (UN) 2007 membuat pembaruan kurikulum lewat KTSP kian mandul dan menunjukkan ketidakseriusan pemerintah memperbaiki carut marut pendidikan nasional.
Ada pertanyaan dominan dari para guru ini, jika KTSP memberi keluasan bagi otonomi sekolah di tingkat satuan pendidikan, standar penilaian seharusnya juga menjadi hak otonomi  sekolah, sebab merekalah yang menentukan indikator dan memilih proses serta materi melalui program belajar di kelas. Karena itu, UN merupakan keputusan yang kontraproduktif bagi peningkatan kualitas pembelajaran. Dampak negatif UN lainnya adalah, UN akan membuat tiap sekolah lebih konsentrasi memperdalam mata pelajaran yang di-UN-kan daripada membuat anak didik cerdas dan mampu berpikir kreatif berhadapan dengan materi pembelajaran yang diterimanya. Dengan begitu, bisa disimpulkan, UN 2007, 2008, 2010, 2011, 2012 dan seterusnya, tidak akan mampu menaikkan kualitas pendidikan nasional. UN tidak lebih sebagai proyek yang kental muatan politisnya daripada edukatifnya. Dan sekaligus itu sangat memboroskan anggaran negara.
Kita berharap, siapapun yang meme­rin­tah negeri ini, siapa pun Kepala Negaranya, mau menyadari bahwa, me­maju­kan pen­didikan bukanlah masalah politik dan kekuasaan, te­tapi sepenuhnya murni ma­salah melaksanakan ama­nat Konstitusi dan memba­ngun bangsa ini ke depan dengan penuh keikhlasan hati.
Para penanggungjawab pendidikan mestinya mendengarkan keluhan para guru yang berdedikasi tinggi bagi pendidikan negeri ini. Ironisnya, pemerintah tidak ada kehendak politik untuk memperbaiki dunia pendidikan, para guru pun dianggap angin lalu. Keluhan dan jeritan hati para guru adalah keluhan dan jeritan hati bangsa. Mestinya para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan mendengarkan para guru. Pembaruan pendidikan mensyaratkan dialog yang dewasa dan adil di antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti guru, sekolah, dan pemerintah.
Pemaksaan yang terjadi dalam dunia pendidikan, apalagi bila disertai ancaman (dalam segala bentuknya, baik secara jelas, ataupun terselubung), tidak akan memajukan pendidikan. Yang terjadi justru sebaliknya, alias kontraproduktif.
Dan, KTSP ini akan jadi lambang ketidakberdayaan guru yang selama ini diperlakukan tidak adil dan menjadi obyek kekuasaan. Jika pemerintah tidak mau mendengarkan mereka dan ngotot dengan agendanya sendiri, pemerintah sendiri yang akan menanggung resiko atas kredibilitas kinerja politiknya. Rakyat sendiri yang akan menilainya. Padahal, guru hanya meminta agar kinerjanya sebagai pendidik bangsa dihargai, bukan dijadikan proyek politik.

Pendidikan adalah lokomotif yang akan membawa bangsa ini dalam perjalanan menuju yang lebih baik. Janji-janji yang per­nah disampaikan oleh para anggota legislatif dan pejabat ekskutifnya untuk selalu menge­depankan pendidikan, dan berjanji akan membuat pendidikan jadi murah dan berkualitas, perlu diikuti komitmen dan kejujuran untuk berpikir dan bertindak di atas kepentingan sendiri dan golongan, agar bangsa ini bisa lebih cerdas di kemudian hari. Jangan sekali-kali menjadikan pendidikan murah sekedar sebagai komoditas politik. Perbuatan seperti itu sesungguhnyalah sebuah kejahatan dan terang-terangan sangat menipu bangsa ini. Sementara, masyarakat pun wajib dan harus aktif menggunakan hak me­­­­­reka untuk terus me­ngontrol pemenuh­an janji-janji itu. Meski untuk itu masih tanda tanya besar.
Pemerintah juga harus menjaga, janganlah sam­­­­­­­­­­­­­pai masyarakat keburu a­patis dan tidak percaya lagi pada peme­rin­tah­nya, yang punya tugas utama membeayai pendidikan bagi seluruh warga­nya itu.
Jangan sa­­­­­lahkan masyarakat bila me­re­ka me­­ngo­­­­­­­mentari dengan sinis pen­didikan kita seba­gai : nggedabrus alias bohong besar!!! ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar