PISAHKAN PENDIDIKAN
DENGAN KEPENTINGAN POLITIK
SESAAT
Oleh: Sugerman
“PENERIMAAN
siswa baru (PSB) hanyalah sebagian masalah kecil dari pembangunan pendidikan
di Indonesia. Masalah lainnya adalah mutu atau kualitas pendidikan,
keterkaitan atau relevansi pendidikan sebagai output menjawab kebutuhan masyarakat, serta efisiensi atau
motivasi untuk mengoptimalkan pendidikan sebagai solusi menghadapi tantangan
pembangunan bangsa," hal ini dikatakan Tendi Naim, ketua Simpul
Pendidikan Jawa Barat, sebuah organisasi non-pemerintah yang berusaha
mendorong percepatan dan perbaikan pendidikan. (Pikiran Rakyat, 4 Juli 2004).
Bila melihat muaranya, memang masalah
PSB yang berlangsung setiap tahun ini, terjadi akibat pemerintah belum mampu
menjadi penyelenggara pendidikan yang baik, dan mendorong pendidikan sebagai
modal pembangunan bangsa. Menurut data di Depdiknas, diperkirakan rata-rata
setahunnya 2 juta anak tidak tertampung di SD. Artinya, mereka tertolak
karena kurangnya daya tampung atau tidak sanggup melewati PSB karena biaya
yang tidak murah lagi. Sementara, mereka yang lolos PSB pun belum tentu
melanjutkan pendidikan dasarnya, karena menurut data tersebut masih
terdapat 1 juta anak usia 7-12 tahun yang putus sekolah SD.
Itu
bisa dilihat lebih mendasar lagi di tingkat pendidikan pra-sekolah kita.
Layanan pemerintah baru bisa menampung 1% anak usia 0-5 tahun melalui
penitipan anak, 12,65% usia 5-6 tahun melalui taman kanak-kanak, serta 0,245
melalui kelompok bermain. Data lain menyebutkan, 11,298 juta anak usia 4-6
tahun yang masih memerlukan layanan pendidikan pra-sekolah.
Jadi
kesimpulannya, kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi rakyat Indonesia
masih sangat terbatas pada tingkat sekolah dasar. (Sebagai hasil dari Program
Inpres SD 1974). Berdasarkan data
Balitbang Depdiknas 2000, angka partisipasi murni (APM) untuk anak usia SD
tahun 2010 telah mencapai 94,4%. Sementara APM SMP 54,8%, SMA, SMK, dan MA,
31,5%, serta angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi hanya 11,6%.
Dari
data tersebut terlihat sekali besarnya kesenjangan antara keluaran (lulusan)
SD ke SMP, SMP ke SMA dan SMA ke Perguruan Tinggi, dengan daya tampung yang semakin
kecil atau terbatas jumlahnya. Diasumsikan, setiap lulus 10 anak SD, hanya tertampung
5 orang saja di SMP. Begitu pun dengan 5 orang SMP yang lulus, hanya bisa ditampung
3 orang di SMA. Akibatnya, terjadilah tingkat persaingan begitu ketat saat musim
PSB.
Dalam
kondisi ini, orangtua bak menghadapi buah simalakama. Di satu pihak ia
butuh sekolah dan ingin anaknya sekolah di tempat yang layak serta terjangkau
dan difasilitasi pemerintah sebagai pengemban amanat UUD 1945, namun menemui
kenyataan daya tampung terbatas. Akhirnya, musim PSB selalu membuat jelimet. Apalagi jika dihadapkan pada
persoalan dana, orangtua tidak bisa berbuat banyak dan tidak dalam posisi
tawar.
Bila
dana pendidikan pemerintah (APBN) masih lebih besar ke penyediaan infrastrukturnya,
dibandingkan subsidi untuk siswa sendiri secara langsung, berarti masih belum
mengena pada sasaran pendidikan itu sendiri. Karena sekolah tidak hanya memerlukan
guru yang berkualitas dengan gaji yang tinggi, dan gedung-gedung yang megah,
namun juga ketersediaan buku, seragam serta peralatan penunjang kegiatan
belajar mengajar.
Dan
semua itu siapa yang menanggung? Berapa yang dibiayai secara efektif dari
pemerintah, dan tepat pada sasaran tanpa pengurangan dan penyelewengan di
tengah jalan? Kekurangan-kekurangan itulah yang biasanya akan ditimpakan
pada siswa baru.
Kesenjangan
di daya tampung sekolah (supply) yang
masih rendah dibandingkan kebutuhan masyarakat (demand) mendorong penawaran
harga yang tinggi. Hal ini wajar bila melihat hukum ekonomi, barang yang terbatas
pasti akan memiliki daya tawar lebih tinggi.
Adakah solusi yang bisa kita
tempuh? Seperti biasanya, solusi itu selalu ada dan bisa dilakukan. Tetapi
sayang niat untuk ke sananya itu yang tidak ada. Belum nampak.
Ada
tiga cara solusi untuk bisa ditempuh.
Pertama,
kapasitas dan daya tampung diperbesar. Ini bisa dilakukan secara bertahap dimulai
dari tingkat yang paling dasar hingga Perguruan Tinggi. Terutama di tingkat
sekolah lanjutan, karena untuk SD/MI daya tampung anak yang memasuki usia
sekolah sudah memadai yang mencapai 95-98%.
Setidaknya
pemerintah kabupaten dan kota menggulirkan SMP Terbuka. Selain itu juga
mendorong sekolah mau melakukan double
shift. Bila daya tampung kurang memadai untuk kelas pagi maka perlu
membuka kelas sore. Jadi selama permintaan masyarakat terhadap pendidikan
masih tinggi dan motivasinya ada, pihak sekolah harus sebisa mungkin
melayani. Dan tidak ada lagi siswa yang lulus SD tidak melanjutkan atau tidak
tertampung.
Bila perlu dibuka sekolah jarak
jauh atau kelas jarak jauh, dan SMP Kecil. Sekolahnya cukup 3 kelas, dengan
murid masing-masing kelas bisa hanya 8-10 orang dan dikelola oleh pemerintah
desa setempat. Ijazah yang didapat disamakan dengan SMP lainnya.
Kedua,
memberdayakan dewan pendidikan dan dewan sekolah, agar terus berusaha memperkecil
cost atau biaya yang dibebankan
langsung pada siswa dengan mencari sumber pendanaan pihak ketiga. Bisa juga
diadakan subsidi silang antara siswa yang mampu dengan siswa tidak mampu. Juga
alumni yang bekerja di perusahaan atau swasta bisa dilibatkan untuk
mengurus pendidikan untuk mengatasi persoalan biaya, dan pihak pemerintah juga
memberi respon dengan membuat kebijakan pengurangan pajak bagi perusahaan
atau swasta yang menyalurkan dananya untuk pendidikan.
Ketiga,
memisahkan pendidikan dari kepentingan kekuasaan politik. Agar setiap kebijakan
bisa dipertanggungjawabkan dan komitmen membangun pendidikan menjadi jelas.
Jadi nantinya tidak lagi muncul ungkapan, ganti pejabat ganti pula kebijakan,
karena pemahaman yang berbeda-beda tentang pendidikan di Indonesia.
Setidaknya pengalaman UAN (2004) dengan mekanisme Konversi Nilainya yang melibas
rasa keadilan itu, tidak terulang lagi di masa-masa mendatang. Karena, betapa
pun ditutupi, di situ juga terasa sekali muatan politiknya. Di mana pemerintah
tampak kuat sekali mengejar jumlah kelulusan yang tinggi sekedar untuk memberi
image positif ke masyarakat bahwa dengan jumlah kelulusan yang tinggi itu menunjukkan
bahwa pemerintah telah mampu membawa pendidikan kita pada tingkat berhasil
dan membanggakan(?). Di sini ekskutif telah membuat pendidikan sebagai alat
kepentingan politik sesaat!
“Ah,
itu mah cuma sebuah capaian yang semu!”
keluh masyarakat, yang setiap tahun harus menyekolahkan anak-anaknya ke
jenjang yang lebih tinggi dan tidak mampu membiayai. Mengenaskan sekali.
Dan
tahun itu pula, mulai tahun 2005, ada Ujian Nasional, dengan grade 4,26 yang
kemudian secara antiklimaks menghasilkan lulusan nol persen di banyak
sekolahan. Sangat mengenaskan dan menimbulkan kontroversi.
Ditambah
lagi, di tahun 2006 sampai sekarang, ternyata pula Ujian Nasional itu lebih menuai
kontroversi. Apalagi ketika Kurikulum 2004 sedang dipelajari, dipraktikkan, dan
dinikmati, muncul Kurikulum 2006 yang diperkenalkan dengan nama KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan). Umumnya para guru bidang studi menjadi kesal dan
bingung lalu memlesetkannya menjadi Kurikulum KaTeSiaPe? (Menurut siapa?). Itu
karena mereka dikejar-kejar agar membuat sendiri kurikulum tiap mata pelajaran
bagi sekolahnya. Akibatnya banyak waktu habis untuk seminar dan pertemuan guru
bidang studi demi merencanakan kurikulum seperti diharapkan KTSP. Hal ini jelas
sangat mengganggu proses belajar mengajar. Yang pasti, KTSP itu menjadi beban
baru yang diluncurkan pemerintah tanpa persiapan memadai. Beberapa guru
menyatakan, keputusan Depdiknas yang ngotot mengadakan ujian nasional (UN) 2007
membuat pembaruan kurikulum lewat KTSP kian mandul dan menunjukkan
ketidakseriusan pemerintah memperbaiki carut marut pendidikan nasional.
Ada
pertanyaan dominan dari para guru ini, jika KTSP memberi keluasan bagi otonomi
sekolah di tingkat satuan pendidikan, standar penilaian seharusnya juga menjadi
hak otonomi sekolah, sebab merekalah
yang menentukan indikator dan memilih proses serta materi melalui program
belajar di kelas. Karena itu, UN merupakan keputusan yang kontraproduktif bagi
peningkatan kualitas pembelajaran. Dampak negatif UN lainnya adalah, UN akan
membuat tiap sekolah lebih konsentrasi memperdalam mata pelajaran yang
di-UN-kan daripada membuat anak didik cerdas dan mampu berpikir kreatif
berhadapan dengan materi pembelajaran yang diterimanya. Dengan begitu, bisa
disimpulkan, UN 2007, 2008, 2010, 2011, 2012 dan seterusnya, tidak akan mampu
menaikkan kualitas pendidikan nasional. UN tidak lebih sebagai proyek yang
kental muatan politisnya daripada edukatifnya. Dan sekaligus itu sangat
memboroskan anggaran negara.
Kita
berharap, siapapun yang memerintah negeri ini, siapa pun Kepala Negaranya,
mau menyadari bahwa, memajukan pendidikan bukanlah masalah politik dan
kekuasaan, tetapi sepenuhnya murni masalah melaksanakan amanat Konstitusi
dan membangun bangsa ini ke depan dengan penuh keikhlasan hati.
Para
penanggungjawab pendidikan mestinya mendengarkan keluhan para guru yang
berdedikasi tinggi bagi pendidikan negeri ini. Ironisnya, pemerintah tidak ada
kehendak politik untuk memperbaiki dunia pendidikan, para guru pun dianggap
angin lalu. Keluhan dan jeritan hati para guru adalah keluhan dan jeritan hati
bangsa. Mestinya para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan mendengarkan
para guru. Pembaruan pendidikan mensyaratkan dialog yang dewasa dan adil di
antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti guru, sekolah, dan pemerintah.
Pemaksaan
yang terjadi dalam dunia pendidikan, apalagi bila disertai ancaman (dalam
segala bentuknya, baik secara jelas, ataupun terselubung), tidak akan memajukan
pendidikan. Yang terjadi justru sebaliknya, alias kontraproduktif.
Dan,
KTSP ini akan jadi lambang ketidakberdayaan guru yang selama ini diperlakukan
tidak adil dan menjadi obyek kekuasaan. Jika pemerintah tidak mau mendengarkan
mereka dan ngotot dengan agendanya sendiri, pemerintah sendiri yang akan
menanggung resiko atas kredibilitas kinerja politiknya. Rakyat sendiri yang
akan menilainya. Padahal, guru hanya meminta agar kinerjanya sebagai pendidik
bangsa dihargai, bukan dijadikan proyek politik.
Pendidikan
adalah lokomotif yang akan membawa bangsa ini dalam perjalanan menuju yang
lebih baik. Janji-janji yang pernah disampaikan oleh para anggota legislatif
dan pejabat ekskutifnya untuk selalu mengedepankan pendidikan, dan berjanji
akan membuat pendidikan jadi murah dan berkualitas, perlu diikuti komitmen dan
kejujuran untuk berpikir dan bertindak di atas kepentingan sendiri dan
golongan, agar bangsa ini bisa lebih cerdas di kemudian hari. Jangan
sekali-kali menjadikan pendidikan murah sekedar sebagai komoditas politik.
Perbuatan seperti itu sesungguhnyalah sebuah kejahatan dan terang-terangan
sangat menipu bangsa ini. Sementara, masyarakat pun wajib dan harus aktif
menggunakan hak mereka untuk terus mengontrol pemenuhan janji-janji itu.
Meski untuk itu masih tanda tanya besar.
Pemerintah
juga harus menjaga, janganlah sampai masyarakat keburu apatis dan
tidak percaya lagi pada pemerintahnya, yang punya tugas utama membeayai
pendidikan bagi seluruh warganya itu.
Jangan
salahkan masyarakat bila mereka mengomentari dengan sinis pendidikan
kita sebagai : nggedabrus
alias bohong besar!!! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar