Perilaku Stake-Holder Pasca
Orde Baru terhadap Asas Negara
Oleh: Sugerman
Pancasila itu sakti, pancasila itu sakral,
pancasila itu harga mati, pancasila itu asas;
asas dari segala asas.
Karena sakral,
pancasila tidak boleh direndahkan. Ada kesan, di negeri ini orang boleh saja
melecehkan Islam, mencampakkan Al-Qur’an, termasuk menghina Rasulullah sang
uswatun hasanah, manusia ulul azmi. Sebagian menganggap hal itu sebagai bagian
dari ekspresi kebebasan yang dijamin oleh demokrasi. Namun, logika sebaliknya
tidak dengan pancasila. Menghina dan merendahkan pancasila adalah kejahatan
tidak berperi dan sejatinya anti-demokrasi atau yang lebih spektakuler lagi
adalah anti-NKRI.
Karena suci,
pancasila tidak boleh diusik dan dikritis. Ada kesan, di negeri ini yang
berkiblat pada demokrasi, islam boleh saja diusik; Al-Quran dan Assunnah boleh
saja dikritisi. Namun, tidak dengan pancasila. Sebab, bagi sebagian orang, pancasila
setara dengan Al-Quran dan Assunnah, bahkan yang lebih ekstrim lagi bahwa
pancasila lebih tinggi derajatnya daripada Al-Quran maupun Assunnah. Pancasila
digali dari nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. Adapun sebaliknya,
Al-Quran dan Assunnah hanyalah bersumber dari perkataan Tuhannya orang umat
Islam semata. Karena itu, semua peraturan perundang-undangan yang ada dinegeri
ini boleh tidak merujuk dan berbijak bahkan bertentangan dengan Al-Quran dan
Assunnah. Akan tetapi, haram hukumnya berseberangan dan berlawanan dengan
pancasila.
Karena harga
mati, pancasila tidak boleh ditawar-tawar. Menawar-nawar tentang eksistensi
pancasila adalah tindakan amoral, bahkan kriminal. Lain hal, misalnya dengan
penawaran syariah Islam untuk diterapkan. Di negeri demokrasi ini, hukum islam
hanyalah pilihan; boleh diambil atau dicampakkan. Sebaliknya sebagai asas,
pancasila tidak boleh sekadar jadi pilihan. Asas negara boleh saja tidak
berdasarkan Al-Quran dan Assunnah, tetapi haram hukumnya jika tidak berdasarkan
pancasila. Maka dari itu, menurut pancasilais sejati, jika negara saja harus
berasaskan pancasila, maka partai politik dan ormas yang merupakan orang yang
lebih kecil dibandingkan negara, tentu lebih wajib berasakan pancasila.
Sehingga, akhir-akhir ini satuan legislatif bersama eksekutif mencoba merancang
RUU ormas yang mewajibkan legitimasi organisasi harus menjadikan pancasila
sebagai asas tunggal. Oleh karena itu, apabila RUU tentang ormas sudah
disahkan, maka sejatinya itu adalah pintu pertama lahir kembalinya rezim
represif.
Pancasila
adalah “saudara sepersusuan atau saudara kandung” UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Keempatnya adalah pilar kebangsaan yang tidak boleh dipilah-pilah
maupun dipilih-pilih. Pancasilais sejati, adalah pemangku UUD ’45, penjaga NKRI
sekaligus pemelihara Bhineka Tunggal Ika. Namun, secara faktualnya semua itu
ternyata bergantung pada tafsiran sang penguasa. Ada kesan, di negeri ini boleh
tidak melaksanakan pancasila dan UUD ’45. Misalnya: boleh menyerahkan kekayaan
alam negeri ini kepada pihak asing, meski hal tersebut bertentangan dengan
prinsip keadilan dalam Pancasila dan berseberangan dengan amanat UUD ’45.
Penguasa boleh membuat UU Migas, UU Listrik, UU Penanaman modal, dll yang
memungkinkan pihak asing menjajah dan menjarah sumber-sumber kekayaan alam
(SDA) milik rakyat negeri ini. Tidak masalah jika semua UU itu merugikan
rakyat. Asal tidak merugikan pihak asing, hal itu tidak bisa dianggap
bertentangan dengan amanat dalam pembukaan UU ’45 yang mengandung spirit
“segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan”.
Penguasa boleh
saja melepaskan Timur-Timur atas rekayasa dan tekanan penjajah meski itu
bertentangan dengan prinsip menjaga kesatuan NKRI. Penguasa pun tidak perlu
merasa berdosa saat membiarkan Organisasi Papua Merdeka (OPM), atau Republik
Maluku Selatan (RMS) yang tetap leluasa melakukan gerakan-gerakan makar dan
tindakan separatif yang mengancam kesatuan NKRI. Karena didukung oleh pihak
asing, semua itu, tidak bisa disebut sebagai anti-NKRI.
Penguasa juga
tidak perlu merasa bersalah saat jutaan anak tidak bersekolah, anak-anak yatim
terlantar dijalanan dan banyak orang miskin mati kelaparan. Tidak perlu
penguasa berkecil hati ketika kemiskinan membelenggu puluhan juta rakyat negeri
ini dan pengangguran melanda jutaan angkatan kerja di berbagai lini. Tidak
perlu pula penguasa merasa tak tega saat harus menaikkan BBM, gas dan listrik
yang membuat rakyat tambah melarat, bahkan sekarat. Ada kesan, asal bisa
memuaskan kaum-kaum kapitalis di dalam negeri maupun luar negeri atau kapitalis
asing. Kebijakan anti subsidi itu tidak bisa dianggap sebagai hal yang
bertentangan dengan semangat yang ada dalam pasal-pasal UUD ’45. Tidak bisa pula
kebijakan itu disebut tidak adil dan anti-pancasila. Ada kesan, yang disebut
tidak adil itu, jika rakyat menikmati subsidi, sementara pihak asing tidak
leluasa menikmati keuntungan tinggi.
Ada pula
kesan, yang disebut anti-pancasila dan UUD ’45 itu adalah pihak-pihak yang
beruasaha menerapkan syariah islam secara formal dalam negara meski dengan niat
untuk menyelamatkan negeri yang terpuruk ini. Yang dinamakan anti-NKRI adalah
saat ada orang atau sekelompok orang yang memperjuangkan yang haq (kebenaran)
meski untuk mempersatukan negeri sekaligus membebaskannya dari segala bentuk
penjajahan di negeri ini.
Jika demikian
kenyataannya, jangan disalahkan jika ada yang beranggapan bahwa pancasila
hanyalah cap atau label. Mereka yang korupsi, melakukan praktik suap menyuap
atau biasa menerima gratifikasi termasuk gratifikasi seks, tidak pernah
dijustifikasi menyeleweng dari nilai-nilai luhur pancasila. Mereka yang
menggadaikan kekayaan negeri milik rakyat serta menjual negara dan harga diri
bangsa kepada pihak asing, tidak pernah dilabeli berseberangan dengan
pancasila. Mereka yang terus mempraktikan serta mempropagandakan sekularisme,
pluralisme, dan liberalisme, meski semua itu telah nyata membahayakan negeri
ini. Kenyataan ini tidak pernah diklaim sebagai kelompok yang anti-pancasila. Sebaliknya,
Anda yang tidak pernah korupsi, menolak segala bentuk gratifikasi, enggan
melakukan praktik suap-menyuap dan anti terhadap tindakan amoral lainnya tidak
berarti anda bisa aman dari labelisasi. Bersiaplah anda untuk dilabeli sebagai
orang yang anti-pancasila, dilabeli anti-NKRI, dilabeli anti-kebinekaan.
Namun demikian,
kita tidak perlu berkecil hati. Pasalnya, di negeri ini sepertinya tidak ada
yang namanya pancasilais sejati, dan malah banyak ditemukan adalah mereka yang
sengaja memperalat dan menjadikan pancasila sebagai gerbang utama untuk meraih
kepentingan pribadi, partai politik, bahkan pihak asing yang justru telah
banyak merusak negeri ini, mulai dari penjajahan secara fisik sampai dengan
penjajahan secara politik, budaya, agama, pendidikan dan sebagainya. Oleh
karena itu, tetaplah istiqamah dalam memperjuangkan yang haq (kebenaran) demi
tercipta tatanan kehidupan yang aman, sejahtera, religius, dan
berperikemanusiaan. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar