Jumat, 19 Juli 2013

Perilaku Stake-Holder Pasca Orde Baru terhadap Asas Negara

Perilaku Stake-Holder Pasca Orde Baru terhadap Asas Negara
Oleh: Sugerman
Pancasila itu sakti, pancasila itu sakral, pancasila itu harga mati, pancasila itu asas;
asas dari segala asas.

Karena sakral, pancasila tidak boleh direndahkan. Ada kesan, di negeri ini orang boleh saja melecehkan Islam, mencampakkan Al-Qur’an, termasuk menghina Rasulullah sang uswatun hasanah, manusia ulul azmi. Sebagian menganggap hal itu sebagai bagian dari ekspresi kebebasan yang dijamin oleh demokrasi. Namun, logika sebaliknya tidak dengan pancasila. Menghina dan merendahkan pancasila adalah kejahatan tidak berperi dan sejatinya anti-demokrasi atau yang lebih spektakuler lagi adalah anti-NKRI.
Karena suci, pancasila tidak boleh diusik dan dikritis. Ada kesan, di negeri ini yang berkiblat pada demokrasi, islam boleh saja diusik; Al-Quran dan Assunnah boleh saja dikritisi. Namun, tidak dengan pancasila. Sebab, bagi sebagian orang, pancasila setara dengan Al-Quran dan Assunnah, bahkan yang lebih ekstrim lagi bahwa pancasila lebih tinggi derajatnya daripada Al-Quran maupun Assunnah. Pancasila digali dari nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. Adapun sebaliknya, Al-Quran dan Assunnah hanyalah bersumber dari perkataan Tuhannya orang umat Islam semata. Karena itu, semua peraturan perundang-undangan yang ada dinegeri ini boleh tidak merujuk dan berbijak bahkan bertentangan dengan Al-Quran dan Assunnah. Akan tetapi, haram hukumnya berseberangan dan berlawanan dengan pancasila.
Karena harga mati, pancasila tidak boleh ditawar-tawar. Menawar-nawar tentang eksistensi pancasila adalah tindakan amoral, bahkan kriminal. Lain hal, misalnya dengan penawaran syariah Islam untuk diterapkan. Di negeri demokrasi ini, hukum islam hanyalah pilihan; boleh diambil atau dicampakkan. Sebaliknya sebagai asas, pancasila tidak boleh sekadar jadi pilihan. Asas negara boleh saja tidak berdasarkan Al-Quran dan Assunnah, tetapi haram hukumnya jika tidak berdasarkan pancasila. Maka dari itu, menurut pancasilais sejati, jika negara saja harus berasaskan pancasila, maka partai politik dan ormas yang merupakan orang yang lebih kecil dibandingkan negara, tentu lebih wajib berasakan pancasila. Sehingga, akhir-akhir ini satuan legislatif bersama eksekutif mencoba merancang RUU ormas yang mewajibkan legitimasi organisasi harus menjadikan pancasila sebagai asas tunggal. Oleh karena itu, apabila RUU tentang ormas sudah disahkan, maka sejatinya itu adalah pintu pertama lahir kembalinya rezim represif.
Pancasila adalah “saudara sepersusuan atau saudara kandung” UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Keempatnya adalah pilar kebangsaan yang tidak boleh dipilah-pilah maupun dipilih-pilih. Pancasilais sejati, adalah pemangku UUD ’45, penjaga NKRI sekaligus pemelihara Bhineka Tunggal Ika. Namun, secara faktualnya semua itu ternyata bergantung pada tafsiran sang penguasa. Ada kesan, di negeri ini boleh tidak melaksanakan pancasila dan UUD ’45. Misalnya: boleh menyerahkan kekayaan alam negeri ini kepada pihak asing, meski hal tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Pancasila dan berseberangan dengan amanat UUD ’45. Penguasa boleh membuat UU Migas, UU Listrik, UU Penanaman modal, dll yang memungkinkan pihak asing menjajah dan menjarah sumber-sumber kekayaan alam (SDA) milik rakyat negeri ini. Tidak masalah jika semua UU itu merugikan rakyat. Asal tidak merugikan pihak asing, hal itu tidak bisa dianggap bertentangan dengan amanat dalam pembukaan UU ’45 yang mengandung spirit “segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan”.
Penguasa boleh saja melepaskan Timur-Timur atas rekayasa dan tekanan penjajah meski itu bertentangan dengan prinsip menjaga kesatuan NKRI. Penguasa pun tidak perlu merasa berdosa saat membiarkan Organisasi Papua Merdeka (OPM), atau Republik Maluku Selatan (RMS) yang tetap leluasa melakukan gerakan-gerakan makar dan tindakan separatif yang mengancam kesatuan NKRI. Karena didukung oleh pihak asing, semua itu, tidak bisa disebut sebagai anti-NKRI.
Penguasa juga tidak perlu merasa bersalah saat jutaan anak tidak bersekolah, anak-anak yatim terlantar dijalanan dan banyak orang miskin mati kelaparan. Tidak perlu penguasa berkecil hati ketika kemiskinan membelenggu puluhan juta rakyat negeri ini dan pengangguran melanda jutaan angkatan kerja di berbagai lini. Tidak perlu pula penguasa merasa tak tega saat harus menaikkan BBM, gas dan listrik yang membuat rakyat tambah melarat, bahkan sekarat. Ada kesan, asal bisa memuaskan kaum-kaum kapitalis di dalam negeri maupun luar negeri atau kapitalis asing. Kebijakan anti subsidi itu tidak bisa dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan semangat yang ada dalam pasal-pasal UUD ’45. Tidak bisa pula kebijakan itu disebut tidak adil dan anti-pancasila. Ada kesan, yang disebut tidak adil itu, jika rakyat menikmati subsidi, sementara pihak asing tidak leluasa menikmati keuntungan tinggi.
Ada pula kesan, yang disebut anti-pancasila dan UUD ’45 itu adalah pihak-pihak yang beruasaha menerapkan syariah islam secara formal dalam negara meski dengan niat untuk menyelamatkan negeri yang terpuruk ini. Yang dinamakan anti-NKRI adalah saat ada orang atau sekelompok orang yang memperjuangkan yang haq (kebenaran) meski untuk mempersatukan negeri sekaligus membebaskannya dari segala bentuk penjajahan di negeri ini. 
Jika demikian kenyataannya, jangan disalahkan jika ada yang beranggapan bahwa pancasila hanyalah cap atau label. Mereka yang korupsi, melakukan praktik suap menyuap atau biasa menerima gratifikasi termasuk gratifikasi seks, tidak pernah dijustifikasi menyeleweng dari nilai-nilai luhur pancasila. Mereka yang menggadaikan kekayaan negeri milik rakyat serta menjual negara dan harga diri bangsa kepada pihak asing, tidak pernah dilabeli berseberangan dengan pancasila. Mereka yang terus mempraktikan serta mempropagandakan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, meski semua itu telah nyata membahayakan negeri ini. Kenyataan ini tidak pernah diklaim sebagai kelompok yang anti-pancasila. Sebaliknya, Anda yang tidak pernah korupsi, menolak segala bentuk gratifikasi, enggan melakukan praktik suap-menyuap dan anti terhadap tindakan amoral lainnya tidak berarti anda bisa aman dari labelisasi. Bersiaplah anda untuk dilabeli sebagai orang yang anti-pancasila, dilabeli anti-NKRI, dilabeli anti-kebinekaan.

Namun demikian, kita tidak perlu berkecil hati. Pasalnya, di negeri ini sepertinya tidak ada yang namanya pancasilais sejati, dan malah banyak ditemukan adalah mereka yang sengaja memperalat dan menjadikan pancasila sebagai gerbang utama untuk meraih kepentingan pribadi, partai politik, bahkan pihak asing yang justru telah banyak merusak negeri ini, mulai dari penjajahan secara fisik sampai dengan penjajahan secara politik, budaya, agama, pendidikan dan sebagainya. Oleh karena itu, tetaplah istiqamah dalam memperjuangkan yang haq (kebenaran) demi tercipta tatanan kehidupan yang aman, sejahtera, religius, dan berperikemanusiaan. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar