Oleh : Sugerman
Tahun
demi tahun yang telah berlalu, dunia mulai menginjak tua, landscape tak lagi
abaikan warna dalam wujud keindahan, berdebar-debar di bumi perhiasan ini.
Hijau daun retak kekeringan, awan tidak mengizinkan hujan turun, karena matahari kemusiman.
Dikebisuan
malam bulan terhiasi pelangi nan jauh di daerah sana, seribu bintang menghiasi
mimpi didunia penuh rambu-rambu kesunyian, orang-orang melihatnya dengan
saksama sambil menuangkan suara hati yang cemerlang. Siba dan Riqi sedang
ngobrol di stand payung yang dibangun di Pantai Lakey, tanpa kasih tahu sama
teman-temannya. Diantara: Ira, Azi, dan juga Rifa, padahal ketiga teman itu
adalah teman akrab.
“Bagaimana
perasaan kita berdua di stand payung pada awal meeting ini?” tanya Riqi
mendahuluinya kepada Siba.
“Perasaanku,
pada awal meeting ini. Bahagia, enjoy, dan lagi santai serta tenang” timpal
Siba sambil menempelkan telapak tangan didadanya.
“Gimana,
kalau kita hem…..mengadakan hari ulang tahun?” tanya Siba kepala bergerak
dengan bibir tersenyum manis.
“Terserah
kamu!”
“Kalau
memang kamu mau. Oke!, lanjutkan. Tapi…..”
“Tapi.
Gimana Mas!” Riqi membalas senyum balik seakan-akan ia masih memikirkan
jawaban, Siba terdiam panjang mulut menganga menunggu jawaban Mas Riqi.
“Teman-teman
harus diundang, biar asyik dan tahu acara kita” sahut Riqi dengan nada suara
kekanak-kanakan.
“Terus,
dimana tempatnya Mas?”
“Tempatnya
disini saja”
“Iya,
Mas nggak apa-apa” jawab Siba kepala mengangguk-ngangguk.
Pemandangan
terus mencerah sinar mata hari memancar pantulan cahaya mengkilat didekat obrol
yang ditempati oleh Siba dan Riqi. Mereka pulang dengan berjalan kaki sambil
berbincang-bincang masalah hari ulang tahun, setelah sampai ke rumah Siba. fikiran
Riqi terasa tenang seperti ada air embun mengalir dari udara membasah
keningnya.
“Mas,
istirahat dulu”
“Silahkan
duduk” pinta Siba
“Iya.
Terima kasih” kata Riqi
Dengan
pikiran
melayang saat menatap situasi dan kondisi rumah Siba yang terbuat dari lapisan
semen dengan warna cat hijau mengumpulkan cahaya nan mencerah. Kemudian Siba
memberikan makanan ringan berupa snack plus air mineral.
“Kok.
Kamu repot-repot Si.!” kata Riqi dengan tubuh tegak berpaling
“Nggak
repot kok, karena sudah kebiasaan di rumah ini” timpal Siba sambil meletakkan
snack dan air mineral di atas meja depan Riqi, sementara Riqi meminjam
kesempatan Siba untuk duduk menemaninya dan melanjutkan ekspresinya.
“Kita
ini harus bikin undangan buat teman-teman untuk hari ulang tahun” Komentar Riqi
“Oh.
Iya, mendingan kita buat dimana?”
“Sedangkan
kita sama-sama tidak punya komputer”
“Datang
aja ke rental”
“Kira-kira
kapan Mas?” tanya Siba.
“Insya
allah besok pagi mulai jam delapan sampai selesai pembuatan”
Sudah
dua jam Riqi istirahat dirumahnya dan pamit untuk undur diri dari kursi
duduknya.
“Sampai
disini saja ya, aku sekarang mau pulang dulu” pamit Riqi
“Iya
Mas nggak apa-apa”
“Terima
kasih Mas”
“Sama-sama”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum
salam” jawab Siba diringi dengan senyuman bibirnya mengembang kenangan.
Ditengah
hari Riqi mendarat dengan mengendarai sepeda motor merk Mio pulang menuju Karambura termasuk rumah
pemukiman sendiri. Jarum jam menunjuk angka 5 ia telah sampai ke rumahnya dalam
keadaan tanpa aral marintang sehingga ia sempat memutar rasa syukur kepada Sang
Maha Pelindung, kemudian Riqi memijet tombol rumahnya karena pintu terkunci.
Ibu membuka pintunya.
“Kok.
Sore-sore ini baru datang Nak, kemana aja?”
“Ibu.
Sejak tadi harap kamu cepat pulang”
Ibu
Sawiyah kaget kepada Riqi karena datang telat yang biasanya jam tiga ada di
rumah ternyata jam lima baru datang. Ibu Sawiyah dan Bapak Moh. Syafi’i juga
Riqi segera duduk di kursi yang empuk serta membicarakan apa yang dia lakukan?
“Nak,
kamu pergi kemana? Kok nggak pamit” Ibu dahului Riqi sebelum ia ngomong.
“Aku
tadi pergi ke stand payung di pantai lakey sama temanku Siba” Riqi mangakhiri
ucapan ibu dengan kepala menunduk bersikap hormat serta sopan santun.
“Apa
yang kamu lakukan?” Ibu kembali bertanya.
“Dengan
jujur Bu. Aku sama teman cuma ngobrol, dan temanku berencana mau mengadakan
hari ulang tahun”
“Ulang
tahun!”
“Betul
Bu”
“Terus,
emangnya temanmu termasuk pacar kamu?”
“Iya
bu. Dia pacarku”
“Namanya?”
pertanyaan ibu terus berputar, sedangkan ayahnya diam-diam saja.
“Namanya
Siba bu” Riqi mengeluarkan suara dengan lembut dan kalem.
Ayah
Riqi menstart nafasnya pertanda akan bicara tentang apa yang dialami Riqi sejak
tadi sehingga terlambat datang dari pantai Lakey.
“Ingat
ya, kalau mau keluar pamit kepada keluarga kita walaupun bukan sama ayah dan
ibu” ayah Riqi mewanti-wanti dan memperingati agar lebih baik untuk ke belakang.
“Sebelumnya,
aku minta maaf sama ayah dan ibu atas kesengajaanku bertindak seperti itu”
“Yang
terakhir pesan ayah. Janganlah berbuat hal yang mengganggu psikologi kita”
“Insya
Allah ayah, semoga jauh dari hal semacam itu dan tidak mengganggu jalan hidup
kita”
“Amien.”
Malam
menjelang Riqi untuk mendengarkan adzan yang dikumandangkan oleh banyak orang
muslim baik di masjid ataupun di musholla. Angin menggulung embun-embun putih
suci berjejer di rumput-rumput hijau dibawah sejuknya udara tanpa ada cahaya
gemilang.
* * *
Pagi-pagi
Riqi bersiap-siap pamit kepada orang tuanya untuk pergi ke rental
bikin surat uandangan buat teman-temannya. Riqi mengenakan pakaian kemeja
lengan pendek plus celana jeans dan siap bergegas.
“Pak.
Bu, aku mau pergi ke rental” pamit Riqi kepada orang tuanya sambil menunjukkan etika yang
baik.
“Kamu
mau apa akan pergi ke sana?”
“Mau
bikin undangan buat hari ulang tahun.” Ayah Riqi tersenyum akan bahasa
yang disahuti oleh mulut Riqi.
“Iya,
tidak apa-apa. Asal jaga keselamatanmu diperjalanan” saran ayah Riqi tangan menuding
ke udara
kepala mengikuti gerakan tangannya.
Riqi
segera bersalaman sama ayah dan ibunya serta mencium tangan suci mereka.
“Assalmu’alaikum.”
Ucap Riqi membudayakan salamnya.
“Wa’alaikum
salam.” Jawab kedua orang tuanya dengan lantunan suara bareng-bareng.
Jam
07.00 pagi Riqi berangkat ke rental keomputer untuk melanjutkan rencananya,
yaitu pembuatan undangan dalam Rangka Hari Ulang Tahun, Riqi hanya sendirian tanpa mengajak Siba sesuai janjinya.
Dengan
perjalanan yang tidak begitu lama jam 07.30 Riqi telah tiba ke rental
dalam keadaan selamat. Riqi masuk ruangan rental dan pamit kepada pelayannya
untuk menggunakan komputernya, kemudian Riqi duduk dideretan pertama dan
mengaktraksikan jari-jarinya diatas keyboard sambil menuangkan imajinasi yang
cemerlang, dengan ubun-ubun paradigma otak melayang membawa model kreatif.
Jam
09.00 pembuatan surat uandangan telah selesai total dengan printnya serta
menguras dana Rp. 25.000. Riqi bergegas pergi ke rumah Siba di desa Mangge Na’e Riqi mulai memasuki rumah
Siba, lebih awal kaki kanan melangkah teras dekat pintu dan mengetuk pintu tiga
kali. Mulut sambil melantunkan salam.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum
salam” jawab Siba di dalam kamar tidurnya menurunkan kaki perlahan-lahan dari ranjang
spesial. Siba mendekati pintu luar dan membukanya ditarik pelan-pelan.
“Mas
Riqi!” suara Siba menggertak kearah Riqi.
“Iya”
“Emangnya
Mas sendirian ya?”
“Iya.
Aku sendirian”
“Ya
udah, duduk dulu Mas”
Tangan
Siba memegang pundaknya mengajak Mas Riqi duduk di kursi tamu. Mas
Riqi meletakkan genggaman di atas meja.
“Apa
ini Mas?”
“Ini
undangan untuk hari ulang tahun kita”
“Terus
ini buat siapa aja?”
“Iya,
buat teman-teman kita, Azi, Rifa, dan Ira.”
“Jadi,
nanti surat undangan ini kau dan aku bisa edarkan sama mereka-mereka” lanjut
Riqi.
“Oh.
Iya Mas”
“Kira-kira
kapan Mas?” Siba melontarkan senyuman dengan hati berbunga.
“Kalau
sekiranya kamu tidak repor, sekarang juga biar cepat selesai.”
Hati
Siba gembira dan asyik, tangan menangkap dada mengalisa hati tanpa terasa hampa dari
sejarah cinta pelita cahaya, rona-rona asmara melukiskan akan hidup selamanya. Siba dan
Riqi menantang pancaran sinar matahari yang mengkilat dan menguap tubuhnya
sehingga berkeluh-kesah, puncak kebahagiaan terpendam dalam satu jiwa. Siba
membuang nafasnya.
“Iya
sekarang juga, mumpung aku nggak repot”
“Terus,
agendanya kapan?”
“Agendanya
pada hari senin yang akan datang” lirih Riqi
“Iya.”
“Oke
Mas, kita langsung saja pergi ke rumah teman-teman. Biar cepat” ajak Siba
tangan membalik tubuh Riqi.
“Ayo.”
Riqi ajak balik kepada Siba sambil membawa undangan terbugkus plastik transparan
yang akan diedarkan sama teman-teman lainnya. Sentuhan angin mengibaskan
perjalanan tidak melintang atas kesempatan, Riqi dan Siba tengah melaju jalan
dengan mengendarai sepeda motor menuju rumah Rifa, Azi, dan Ira sebagai teman
akrab yang berkenan menerima.
Pohon-pohon
rindang disisi rumah Azi terlihat menjulang dikeramaian angin beniup dingin,
sebelum Riqi sampai ia mencoba nyalakan klaksonnya. Berapa menit kemudian ia
telah sampai ke rumah dan klakson dinyalakan lagi, kebetulan Azi, Rifa dan Ira
sedang asyik kumpul bersama di teras rumah Azi. Mendengar bunyi klakson yang terlantang nyaring kepala
mereka memutar melihat kedatangan Riqi dan Siba serta disambutnya dengan senyum
melayang laksana api siap membara apa saja.
“Kamu
Riqi dan Siba!” sebut Azi dengan berjabat tangan
“Iya”
jawab Riqi
“Aku
bangga sekali karena kunjunganmu berdua”
“Benar.
Aku juga ikut bangga” sambung Rifa dan Ira suaranya yang kompak.
Setelah
jabat tangan Azi melambaikan tangannya ke arah kursi dan
mempersilahkan duduk. Riqi segera duduk sambil meletakkan undangan di atas meja.
“Apa
ini Riqi?” tanya Rifa jari telunjuknya menuding.
“Ini
undangan buat kita”
“Undangan
apa?” Ira menyambung tanya sama Riqi.
“Ini
undangan hari ulang tahunku sama Siba”
“Ulang
tahun!” mulut dan mata Ira terbuka lebar.
“Asyik
banget planningnya!”
tambah Rifa kedua tangannya mengajukan jempol.
“Tempatnya
di mana
dan kapan?” Ira tanya lagi sama Riqi
“Ingin
tahu, nanti lihat aja dan dibaca teks-teks yang tertera dilembar kertas
undangan ini”
“Oh…Iya.”
Perbincangan
terus berlanjut Azi bergegas masuk ruangan untuk mengambil kue, teh botol buat
Riqi dan Siba yang dia sedang duduk bergandengan di kursi tidak
membelah. Azi keluar dari ruangan tangan membawa talam terdapat dua teh botol
dan bungkusan kue, dibagikannya kepada Azi dan Siba. Azi mengatakan.
“Silahkan
minum tehnya”
“Ayo
Rifa, Ira” ajak Riqi tangan memegan teh botolnya.
“Sataḇe sataḇe ” balas
Rifa dan Ira
“Kuenya
dimakan” suruh Azi
“Iya,”
timpal Riqi dan Siba
Rifa
Azi, lra terus menemani tangan menerima pembagian undangan yang diedarkan oleh
Riqi.
* * *
Kunjungan
Riqi dan Siba semakin lama semakin menyegarkan diiringi kipas angin dinding
yang dekat di sebelahnya. Udara membelai tubuh menghela keindahan dan
kebahagiaan teman sejati.
Perasaan
mengungkap di hati dirinya Riqi mengira sudah cukup lama duduk di kursi teman
yang senasib seperjuangan dalam hidup penuh perdamaian dan keharmonisan,
diangkatnya teh botol sedotan terselip di bibir Riqi menyedotnya bibir terlihat
senyum, akhir kemudian Riqi mengarahkan bahasanya kepada teman yang lain.
“He…!
Teman-teman”
“Iya,
Riqi”
“Sampai
disini saja, aku sama Siba pulang dulu” lirih Riqi
“Iya,
nggak apa-apa” jawab Azi
“Teman-teman.
Jangan sampai ada yang nggak hadir” Riqi menitip nasihat kepada
teman-temannya tanpa terkecuali.
“Ayo”
“Terima
kasih Azi”
“Sama-sama…!”
“Assalamu’alikum”
“Wa’alaikum
salam” jawab teman-teman lainnya, lambaian tangan menatap wajah Riqi dan Siba menjelang
pulang.
Masing-masing
undangan sudah tergenggam di tangan Azi, Rifa, dan Ira dengan design gambar “sekuntum
bunga mawar dan boneka bentuk hati (cinta)”. Lembaran dibuka membacanya
dalam hati dari awal sampai akhir kata, lalu Rifa menoleh menerka wajah Azi dan
Ira, kemudian berkata kepadanya :
“Azi,
Ira” sela lisan Rifa
“Ini
tempatnya di rumah Siba ya!”
“Iya
Rifa” sahut Azi suara barengan sama Ira.
“Mendingan
kita harus hadir semua ya!” kata Ira
“Tentu
kita harus hadir”
“Kalau
nggak hadir diantara kita, kapan lagi?” Azi berkata serta memberi kesempatan
efektif.
Tiga
teman sudah tahu dimana tempat agendanya. Kapan? Dan dimana? Juga jam berapa?.
Setelah mereka tahu Rifa dan Ira segera pulang ke rumahnya masing-masing.
Berapa hari kemudian Siba dan Riqi mulai menyusun design tempat acara di rumah
Siba. Dinding teras terhiasi beribu bunga, boneka, lampu kelap-kelip berjejer didinding
seperti bintang bertebaran di langit, meja kue dilapisi taplak berlukis ornamen
dan oretan Selamat Hari Ulang Tahun.
Pada
esok harinya semua sajian hari ulang tahun tersedia komplit mulai dari makanan,
snack sampai munuman. Detik-detik jarum berbunyi menyongsong hari jadi ulang
tahun, ruangan mengibaskan harumnya bunga yang memamer di dinding bahkan di pot
bunga lainnya yang sejaga ia letakkan pada posisi meja perhiasan.
Azi,
Rifa dan Ira mereka telah menghampiri rumah Siba dengan mengenakan pakaian ala
remaja indonesia, langkah demi langakah Azi dengan tangan berpadu pandang sama
Siba dan Riqi serta mengatakan :
“Selamat
pagi” secara bergantian tangan mereka-mereaka bersalaman.
“Pagi
juga” Riqi dan Siba menyambut dengan hiasan senyuman bibir tawanya.
“Apa
kabar?” tanya Azi
“Alhamdulillah
baik-baik saja dan sehat”
“Gimana.
Sudah siap apa nggak?”
“Iya,
tentu pasti siap” timpal Siba.
Siba
dan Riqi mengajaknya masuk ke stand hari ulang tahun, tangan memegang
bahunya mereka-mereka. Satu langkah dari pintu Azi, Rifa juga Ira terharu akan
hiasan-hiasan teras yang dipasangi sekian banyak bunga, gantungan lampu-lampu beragam
sehingga membuat mereka tercicip aroma bahagia.
Terlebih
dahulu mereka duduk di bangku menghirup udara mengharum bunga semerbak taman,
hiasan-hiasan disisinya indah dan asri. Pengucapan hari ulang tahun akan segera
dimulai:
“Ayo,
mulai agenda kita” ajak Riqi
“Sataḇe” kata teman yang lain.
Kue
tersedia tancapan lilin berwarna melingkar diatasnya, lampu hias menyala
sinarnya kedap-kedip berpelangi memperingati hari ulang tahun. Sumbu lilin mulai dinyalakan
bersaksi diringi nada nyanyian hari ulang tahun, orang tua Siba, Sudaniyah dan
Daifi ikut meraykannya.
Nada-nada
telapak tangan dengan kompak terdengar alunan irama nada “Selamat Hari Ulang
Tahun” Riqi dan Siba mendekat lampu lilin yang berdansa tanpa asap warna
yang menghiasi ruang-ruang bercahaya terang. Ditiupnya seluruh lampu lilin yang
melingkar hingga mati tanpa menyepi, tanpa cemas plus meriah dengan
senyuman-senyuman
di bibir
melimpah bahagia.
Usai
tiupan lilin, irisan kue dibagikannya kepada teman-temannya. Riqi mengambil
sesendok kue diberikan kepada Siba diterima tanpa tangan tapi dengan mulutnya,
bibir sambil tersenyum mesra begitu juga Siba sebaliknya.
Sehabis
pemberian kue Riqi memberikan “sekuntum bunga” kepada Siba. Siba tidak
kalah dia juga memberikan kenangan kepadanya yang dapat membuat Riqi terbayang
selamanya; yaitu. “Boneka cinta”
* * *
Setelah
berapa bulan hati Riqi mengungkap diri dari ruang sunyi hanya karena kenangan
manis teringat wajah Siba tersimpan diotaknya. Pada saat tidur dia bermimpi
berpisah dalam pandangan sucinya. Tatkala bangun dadanya menggertak dan lelah
sepertinya ada lemparan sesuatu dari tangan orang.
Menjelang
esok hari Azi dan Ira pergi ke rumah Riqi untuk bercerita tentang keadaan Siba
sekarang, dengan hati lega, lapang mereka berspontan kepada Riqi seenak
harumnya bunga melati. Azi membuka kabarnya dikatakan kepada Riqi.
“Apakah
kamu tahu kabar Siba?”
“Aku
tidak tahu kabarnya” jawab Riqi.
“Siba
itu minggu depan mau kawin” Azi menyampaikan kabar kepadanya.
“Apa!
Mau kawin?” Riqi menjawab mulut terbuka lebar dan mata membelalak.
“Iya,
betul Riqi” Ira menjawab begitu serius.
“Dengan
siapa Siba akan kawin?”
“Kenapa
Siba tidak cerita padaku?” tanya Riqi hatinya bergelimang gundah
“Dia
mau kawin dengan Fendy”
“Kakaknya
sendiri yang membuat dia menjadi miliknya, sehingga Siba mau tidak mau harus
menerima” Ira membuahkan cerita soal perjodohan Siba dengan Fendy.
Dengan
sadar Riqi lagi menghayal pada masanya saat hari ulang tahun memberi sesendok
kue dan saling tukar menukar kenangan, namun sekarang dirinya kini kehilangan
penghias wajah dalam hidup selamanya. Jiwa raga tidak sanggup menjemput sang
bunga yang telah luluh dimusim kemarau. Riqi hanya sanggup menitip ungkapan isi
hati dituangkannya atas oretan pena, selember kertas diberikan kepada Azi
buatnya sebagai akhir persembahan tuk mengingat kenangan. Azi mengambil lembaran itu dari
tangan Riqi lalu pamit kepadanya untuk segera pulang, dipegangnya
lembaran tersebut tanpa membuka atau membacanya.
Sesampinya
di rumah Siba, Azi dan Ira langsung menemani serta meberikan lembaran kepadanya
dan berkata :
“Ini
lembaran dari Riqi”
“Dari
Riqi!” kata Siba
“Kapan
kamu berdua bertemu dengannya?”
“Aku
tadi berdua pergi ke rumahnya” jawab Siba.
“Lalu,
apa tujuannya?” Siba bertanya lagi.
“Sebelumnnya
aku dan Ira minta maaf”
“Aku
pergi ke rumahnya hanya bercerita, bahwa kamu sebentar lagi mau menikah”
“Iya,
tidak apa-apa”
“Padahal
mauku juga begitu, tapi aku malu”
“Ternyata
kamu yang kasih tahu” kata Siba dengan panjang bahasa sambil membuka amplop
berisi selembar kertas yang sengaja kasih gambar “sekuntum bunga” oleh Riqi
sendiri dengan sengaja melukis sedikit kreatifnya.
“Coba
dibaca dengan suaramu yang nyaring” pinta Azi kepada Siba.
“Iya,
aku akan baca oretan ini”
“Ini
bukan surat”
“Bukan
surat!” timpal Azi dan Ira.
“Iya,
tapi sebuah parade puisi.” Azi dan Ira tercengang ketika mendengar lembaran itu
berisi parade puisi. Dibacanya puisi itu oleh Siba sendiri dengan judul :
“Kini Diakhir
Kenangan”
Tatkala
ku menatap bayangan wajahmu
Pasca
kau menutup kisah cintaku
Nan
tak lagi terpadu di hening hatimu
Aku
terbelenggu
Aku
termangu
Aku
terarus
Aku
terbuai asmara
Kerdipan
matamu menjinjing gelap diujung awan
Nan
memanjang dari istana tidurku
Bayanganmu
selalu berpaling dan menawan
Tatkala
mengibaskan pikiran dalam hasil mimpiku
Disaat
mengekspresikan puisi tersebut bibir Siba menggetar air mata menetes lembaran
meleleh tiada henti pipinya pucat penuh linangan air mata membuatnya cemas.
Tanpa terasa lembaran yang tergenggam jatuh berterbangan kesisi Ira, begitu
lembaran jatuh Siba memegang keningnya mata memejam Ira langsung memeluk sambil
menyentuh pipi Siba memucat. Azi mengajak untuk dibawa ke kamarnya, karena ia
dikira mengalami gangguan dibenak pikirannya. Lama kelamaan Rifa datang dan
bertanya :
“Apa
yang terjadi?”
“Tubuhnya
dingin sekali”
“Mulai
kapan?” Rifa bertanya lagi.
“Baru-baru
ini, ketika Siba membaca puisinya Riqi” jelas Azi kepada Rifa.
Kenangan
manis begitu indah dimusim persahabatan yang tidak akan pernah lepas dari
pandangan wajah berseri-seri, dan selalu ada dalam ingatan, terang benderang laksana
sinar rembulan pada malam hari terlihat berpaling.[]
Sekian………….!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar