Selasa, 23 Juli 2013

Akhir Memory

Oleh : Sugerman

Tahun demi tahun yang telah berlalu, dunia mulai menginjak tua, landscape tak lagi abaikan warna dalam wujud keindahan, berdebar-debar di bumi perhiasan ini. Hijau daun retak kekeringan, awan tidak mengizinkan hujan turun, karena matahari  kemusiman.
Dikebisuan malam bulan terhiasi pelangi nan jauh di daerah sana, seribu bintang menghiasi mimpi didunia penuh rambu-rambu kesunyian, orang-orang melihatnya dengan saksama sambil menuangkan suara hati yang cemerlang. Siba dan Riqi sedang ngobrol di stand payung yang dibangun di Pantai Lakey,  tanpa kasih tahu sama teman-temannya. Diantara: Ira, Azi, dan juga Rifa, padahal ketiga teman itu adalah teman akrab.
“Bagaimana perasaan kita berdua di stand payung pada awal meeting ini?” tanya Riqi mendahuluinya kepada Siba.
“Perasaanku, pada awal meeting ini. Bahagia, enjoy, dan lagi santai serta tenang” timpal Siba sambil menempelkan telapak tangan didadanya.
“Gimana, kalau kita hem…..mengadakan hari ulang tahun?” tanya Siba kepala bergerak dengan bibir tersenyum manis.
“Terserah kamu!”
“Kalau memang kamu mau. Oke!, lanjutkan. Tapi…..”
“Tapi. Gimana Mas!” Riqi membalas senyum balik seakan-akan ia masih memikirkan jawaban, Siba terdiam panjang mulut menganga menunggu jawaban Mas Riqi.
“Teman-teman harus diundang, biar asyik dan tahu acara kita” sahut Riqi dengan nada suara kekanak-kanakan.
“Terus, dimana tempatnya Mas?”
“Tempatnya disini saja”
“Iya, Mas nggak apa-apa” jawab Siba kepala mengangguk-ngangguk.
Pemandangan terus mencerah sinar mata hari memancar pantulan cahaya mengkilat didekat obrol yang ditempati oleh Siba dan Riqi. Mereka pulang dengan berjalan kaki sambil berbincang-bincang masalah hari ulang tahun, setelah sampai ke rumah Siba. fikiran Riqi terasa tenang seperti ada air embun mengalir dari udara membasah keningnya.
“Mas, istirahat dulu”
“Silahkan duduk” pinta Siba
“Iya. Terima kasih” kata Riqi
Dengan pikiran melayang saat menatap situasi dan kondisi rumah Siba yang terbuat dari lapisan semen dengan warna cat hijau mengumpulkan cahaya nan mencerah. Kemudian Siba memberikan makanan ringan berupa snack plus air mineral.
“Kok. Kamu repot-repot Si.!” kata Riqi dengan tubuh tegak berpaling
“Nggak repot kok, karena sudah kebiasaan di rumah ini” timpal Siba sambil meletakkan snack dan air mineral di atas meja depan Riqi, sementara Riqi meminjam kesempatan Siba untuk duduk menemaninya dan melanjutkan ekspresinya.
“Kita ini harus bikin undangan buat teman-teman untuk hari ulang tahun” Komentar Riqi
“Oh. Iya, mendingan kita buat dimana?”
“Sedangkan kita sama-sama tidak punya komputer”
“Datang aja ke rental”
“Kira-kira kapan Mas?” tanya Siba.
“Insya allah besok pagi mulai jam delapan sampai selesai pembuatan”
Sudah dua jam Riqi istirahat dirumahnya dan pamit untuk undur diri dari kursi duduknya.
“Sampai disini saja ya, aku sekarang mau pulang dulu” pamit Riqi
“Iya Mas nggak apa-apa”
“Terima kasih Mas”
“Sama-sama”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam” jawab Siba diringi dengan senyuman bibirnya mengembang kenangan.
Ditengah hari Riqi mendarat dengan mengendarai sepeda motor merk Mio pulang menuju Karambura termasuk rumah pemukiman sendiri. Jarum jam menunjuk angka 5 ia telah sampai ke rumahnya dalam keadaan tanpa aral marintang sehingga ia sempat memutar rasa syukur kepada Sang Maha Pelindung, kemudian Riqi memijet tombol rumahnya karena pintu terkunci. Ibu membuka pintunya.
“Kok. Sore-sore ini baru datang Nak, kemana aja?”
“Ibu. Sejak tadi harap kamu cepat pulang”
Ibu Sawiyah kaget kepada Riqi karena datang telat yang biasanya jam tiga ada di rumah ternyata jam lima baru datang. Ibu Sawiyah dan Bapak Moh. Syafi’i juga Riqi segera duduk di kursi yang empuk serta membicarakan apa yang dia lakukan?
“Nak, kamu pergi kemana? Kok nggak pamit” Ibu dahului Riqi sebelum ia ngomong.
“Aku tadi pergi ke stand payung di pantai lakey sama temanku Siba” Riqi mangakhiri ucapan ibu dengan kepala menunduk bersikap hormat serta sopan santun.
“Apa yang kamu lakukan?” Ibu kembali bertanya.
“Dengan jujur Bu. Aku sama teman cuma ngobrol, dan temanku berencana mau mengadakan hari ulang tahun”
“Ulang tahun!”
“Betul Bu”
“Terus, emangnya temanmu termasuk pacar kamu?”
“Iya bu. Dia pacarku”
“Namanya?” pertanyaan ibu terus berputar, sedangkan ayahnya diam-diam saja.
“Namanya Siba bu” Riqi mengeluarkan suara dengan lembut dan kalem.
Ayah Riqi menstart nafasnya pertanda akan bicara tentang apa yang dialami Riqi sejak tadi sehingga terlambat datang dari pantai Lakey.
“Ingat ya, kalau mau keluar pamit kepada keluarga kita walaupun bukan sama ayah dan ibu” ayah Riqi mewanti-wanti dan memperingati agar lebih baik untuk ke belakang.
“Sebelumnya, aku minta maaf sama ayah dan ibu atas kesengajaanku bertindak seperti itu”
“Yang terakhir pesan ayah. Janganlah berbuat hal yang mengganggu psikologi kita”
“Insya Allah ayah, semoga jauh dari hal semacam itu dan tidak mengganggu jalan hidup kita”
“Amien.”
Malam menjelang Riqi untuk mendengarkan adzan yang dikumandangkan oleh banyak orang muslim baik di masjid ataupun di musholla. Angin menggulung embun-embun putih suci berjejer di rumput-rumput hijau dibawah sejuknya udara tanpa ada cahaya gemilang.
*              *              *
Pagi-pagi Riqi bersiap-siap pamit kepada orang tuanya untuk pergi ke rental bikin surat uandangan buat teman-temannya. Riqi mengenakan pakaian kemeja lengan pendek plus celana jeans dan siap bergegas.
“Pak. Bu, aku mau pergi ke rental” pamit Riqi kepada orang tuanya sambil menunjukkan etika yang baik.
“Kamu mau apa akan pergi ke sana?”
“Mau bikin undangan buat hari ulang tahun.” Ayah Riqi tersenyum akan bahasa yang disahuti oleh mulut Riqi.
“Iya, tidak apa-apa. Asal jaga keselamatanmu diperjalanan” saran ayah Riqi tangan menuding ke udara kepala mengikuti gerakan tangannya.
Riqi segera bersalaman sama ayah dan ibunya serta mencium tangan suci mereka.
“Assalmu’alaikum.” Ucap Riqi membudayakan salamnya.
“Wa’alaikum salam.” Jawab kedua orang tuanya dengan lantunan suara bareng-bareng.
Jam 07.00 pagi Riqi berangkat ke rental keomputer untuk melanjutkan rencananya, yaitu pembuatan undangan dalam Rangka Hari Ulang Tahun, Riqi hanya sendirian tanpa mengajak Siba sesuai janjinya.
Dengan perjalanan yang tidak begitu lama jam 07.30 Riqi telah tiba ke rental dalam keadaan selamat. Riqi masuk ruangan rental dan pamit kepada pelayannya untuk menggunakan komputernya, kemudian Riqi duduk dideretan pertama dan mengaktraksikan jari-jarinya diatas keyboard sambil menuangkan imajinasi yang cemerlang, dengan ubun-ubun paradigma otak melayang membawa model kreatif.
Jam 09.00 pembuatan surat uandangan telah selesai total dengan printnya serta menguras dana Rp. 25.000. Riqi bergegas pergi ke rumah Siba di desa Mangge Na’e  Riqi mulai memasuki rumah Siba, lebih awal kaki kanan melangkah teras dekat pintu dan mengetuk pintu tiga kali. Mulut sambil melantunkan salam.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam” jawab Siba di dalam kamar tidurnya menurunkan kaki perlahan-lahan dari ranjang spesial. Siba mendekati pintu luar dan membukanya ditarik pelan-pelan.
“Mas Riqi!” suara Siba menggertak kearah Riqi.
“Iya”
“Emangnya Mas sendirian ya?
“Iya. Aku sendirian”
“Ya udah, duduk dulu Mas”
Tangan Siba memegang pundaknya mengajak Mas Riqi duduk di kursi tamu. Mas Riqi meletakkan genggaman di atas meja.
“Apa ini Mas?”
“Ini undangan untuk hari ulang tahun kita”
“Terus ini buat siapa aja?”
“Iya, buat teman-teman kita, Azi, Rifa, dan Ira.”
“Jadi, nanti surat undangan ini kau dan aku bisa edarkan sama mereka-mereka” lanjut Riqi.
“Oh. Iya Mas”
“Kira-kira kapan Mas?” Siba melontarkan senyuman dengan hati berbunga.
“Kalau sekiranya kamu tidak repor, sekarang juga biar cepat selesai.”
Hati Siba gembira dan asyik, tangan menangkap dada mengalisa hati tanpa terasa hampa dari sejarah cinta pelita cahaya, rona-rona asmara melukiskan akan hidup selamanya. Siba dan Riqi menantang pancaran sinar matahari yang mengkilat dan menguap tubuhnya sehingga berkeluh-kesah, puncak kebahagiaan terpendam dalam satu jiwa. Siba membuang nafasnya.
“Iya sekarang juga, mumpung aku nggak repot”
“Terus, agendanya kapan?”
“Agendanya pada hari senin yang akan datang” lirih Riqi
“Iya.”
“Oke Mas, kita langsung saja pergi ke rumah teman-teman. Biar cepat” ajak Siba tangan membalik tubuh Riqi.
“Ayo.” Riqi ajak balik kepada Siba sambil membawa undangan terbugkus plastik transparan yang akan diedarkan sama teman-teman lainnya. Sentuhan angin mengibaskan perjalanan tidak melintang atas kesempatan, Riqi dan Siba tengah melaju jalan dengan mengendarai sepeda motor menuju rumah Rifa, Azi, dan Ira sebagai teman akrab yang berkenan menerima.
Pohon-pohon rindang disisi rumah Azi terlihat menjulang dikeramaian angin beniup dingin, sebelum Riqi sampai ia mencoba nyalakan klaksonnya. Berapa menit kemudian ia telah sampai ke rumah dan klakson dinyalakan lagi, kebetulan Azi, Rifa dan Ira sedang asyik kumpul bersama di teras rumah Azi. Mendengar bunyi klakson yang terlantang nyaring kepala mereka memutar melihat kedatangan Riqi dan Siba serta disambutnya dengan senyum melayang laksana api siap membara apa saja.
“Kamu Riqi dan Siba!” sebut Azi dengan berjabat tangan
“Iya” jawab Riqi
“Aku bangga sekali karena kunjunganmu berdua”
“Benar. Aku juga ikut bangga” sambung Rifa dan Ira suaranya yang kompak.
Setelah jabat tangan Azi melambaikan tangannya ke arah kursi dan mempersilahkan duduk. Riqi segera duduk sambil meletakkan undangan di atas meja.
“Apa ini Riqi?” tanya Rifa jari telunjuknya menuding.
“Ini undangan buat kita”
“Undangan apa?” Ira menyambung tanya sama Riqi.
“Ini undangan hari ulang tahunku sama Siba”
“Ulang tahun!” mulut dan mata Ira terbuka lebar.
“Asyik banget planningnya!” tambah Rifa kedua tangannya mengajukan jempol.
“Tempatnya di mana dan kapan?” Ira tanya lagi sama Riqi
“Ingin tahu, nanti lihat aja dan dibaca teks-teks yang tertera dilembar kertas undangan ini”
“Oh…Iya.”
Perbincangan terus berlanjut Azi bergegas masuk ruangan untuk mengambil kue, teh botol buat Riqi dan Siba yang dia sedang duduk bergandengan di kursi tidak membelah. Azi keluar dari ruangan tangan membawa talam terdapat dua teh botol dan bungkusan kue, dibagikannya kepada Azi dan Siba. Azi mengatakan.
“Silahkan minum tehnya”
“Ayo Rifa, Ira” ajak Riqi tangan memegan teh botolnya.
Sataḇe sataḇe ” balas Rifa dan Ira
“Kuenya dimakan” suruh Azi
“Iya,” timpal Riqi dan Siba
Rifa Azi, lra terus menemani tangan menerima pembagian undangan yang diedarkan oleh Riqi.
*              *              *
Kunjungan Riqi dan Siba semakin lama semakin menyegarkan diiringi kipas angin dinding yang dekat di sebelahnya. Udara membelai tubuh menghela keindahan dan kebahagiaan teman sejati.
Perasaan mengungkap di hati dirinya Riqi mengira sudah cukup lama duduk di kursi teman yang senasib seperjuangan dalam hidup penuh perdamaian dan keharmonisan, diangkatnya teh botol sedotan terselip di bibir Riqi menyedotnya bibir terlihat senyum, akhir kemudian Riqi mengarahkan bahasanya kepada teman yang lain.
“He…! Teman-teman”
“Iya, Riqi”
“Sampai disini saja, aku sama Siba pulang dulu” lirih Riqi
“Iya, nggak apa-apa” jawab Azi
“Teman-teman. Jangan sampai ada yang nggak hadir” Riqi menitip nasihat kepada teman-temannya tanpa terkecuali.
“Ayo”
“Terima kasih Azi”
“Sama-sama…!”
“Assalamu’alikum”
“Wa’alaikum salam” jawab teman-teman lainnya, lambaian tangan menatap wajah Riqi dan Siba menjelang pulang.
Masing-masing undangan sudah tergenggam di tangan Azi, Rifa, dan Ira dengan design gambar “sekuntum bunga mawar dan boneka bentuk hati (cinta)”. Lembaran dibuka membacanya dalam hati dari awal sampai akhir kata, lalu Rifa menoleh menerka wajah Azi dan Ira, kemudian berkata kepadanya :
“Azi, Ira” sela lisan Rifa
“Ini tempatnya di rumah Siba ya!”
“Iya Rifa” sahut Azi suara barengan sama Ira.
“Mendingan kita harus hadir semua ya!” kata Ira
“Tentu kita harus hadir”
“Kalau nggak hadir diantara kita, kapan lagi?” Azi berkata serta memberi kesempatan efektif.
Tiga teman sudah tahu dimana tempat agendanya. Kapan? Dan dimana? Juga jam berapa?. Setelah mereka tahu Rifa dan Ira segera pulang ke rumahnya masing-masing. Berapa hari kemudian Siba dan Riqi mulai menyusun design tempat acara di rumah Siba. Dinding teras terhiasi beribu bunga, boneka, lampu kelap-kelip berjejer didinding seperti bintang bertebaran di langit, meja kue dilapisi taplak berlukis ornamen dan oretan Selamat Hari Ulang Tahun.
Pada esok harinya semua sajian hari ulang tahun tersedia komplit mulai dari makanan, snack sampai munuman. Detik-detik jarum berbunyi menyongsong hari jadi ulang tahun, ruangan mengibaskan harumnya bunga yang memamer di dinding bahkan di pot bunga lainnya yang sejaga ia letakkan pada posisi meja perhiasan.
Azi, Rifa dan Ira mereka telah menghampiri rumah Siba dengan mengenakan pakaian ala remaja indonesia, langkah demi langakah Azi dengan tangan berpadu pandang sama Siba dan Riqi serta mengatakan :
“Selamat pagi” secara bergantian tangan mereka-mereaka bersalaman.
“Pagi juga” Riqi dan Siba menyambut dengan hiasan senyuman bibir tawanya.
“Apa kabar?” tanya Azi
“Alhamdulillah baik-baik saja dan sehat”
“Gimana. Sudah siap apa nggak?”
“Iya, tentu pasti siap” timpal Siba.
Siba dan Riqi mengajaknya masuk ke stand hari ulang tahun, tangan memegang bahunya mereka-mereka. Satu langkah dari pintu Azi, Rifa juga Ira terharu akan hiasan-hiasan teras yang dipasangi sekian banyak bunga, gantungan lampu-lampu beragam sehingga membuat mereka tercicip aroma bahagia.
Terlebih dahulu mereka duduk di bangku menghirup udara mengharum bunga semerbak taman, hiasan-hiasan disisinya indah dan asri. Pengucapan hari ulang tahun akan segera dimulai:
“Ayo, mulai agenda kita” ajak Riqi
Sataḇe” kata teman yang lain.
Kue tersedia tancapan lilin berwarna melingkar diatasnya, lampu hias menyala sinarnya kedap-kedip berpelangi memperingati hari ulang tahun. Sumbu lilin mulai dinyalakan bersaksi diringi nada nyanyian hari ulang tahun, orang tua Siba, Sudaniyah dan Daifi ikut meraykannya.
Nada-nada telapak tangan dengan kompak terdengar alunan irama nada “Selamat Hari Ulang Tahun” Riqi dan Siba mendekat lampu lilin yang berdansa tanpa asap warna yang menghiasi ruang-ruang bercahaya terang. Ditiupnya seluruh lampu lilin yang melingkar hingga mati tanpa menyepi, tanpa cemas plus meriah dengan senyuman-senyuman di bibir melimpah bahagia.
Usai tiupan lilin, irisan kue dibagikannya kepada teman-temannya. Riqi mengambil sesendok kue diberikan kepada Siba diterima tanpa tangan tapi dengan mulutnya, bibir sambil tersenyum mesra begitu juga Siba sebaliknya.
Sehabis pemberian kue Riqi memberikan “sekuntum bunga” kepada Siba. Siba tidak kalah dia juga memberikan kenangan kepadanya yang dapat membuat Riqi terbayang selamanya; yaitu. “Boneka cinta”
*              *              *
Setelah berapa bulan hati Riqi mengungkap diri dari ruang sunyi hanya karena kenangan manis teringat wajah Siba tersimpan diotaknya. Pada saat tidur dia bermimpi berpisah dalam pandangan sucinya. Tatkala bangun dadanya menggertak dan lelah sepertinya ada lemparan sesuatu dari tangan orang.
Menjelang esok hari Azi dan Ira pergi ke rumah Riqi untuk bercerita tentang keadaan Siba sekarang, dengan hati lega, lapang mereka berspontan kepada Riqi seenak harumnya bunga melati. Azi membuka kabarnya dikatakan  kepada Riqi.
“Apakah kamu tahu kabar Siba?” 
“Aku tidak tahu kabarnya” jawab Riqi.
“Siba itu minggu depan mau kawin” Azi menyampaikan kabar kepadanya.
“Apa! Mau kawin?” Riqi menjawab mulut terbuka lebar dan mata membelalak.
“Iya, betul Riqi” Ira menjawab begitu serius.
“Dengan siapa Siba akan kawin?”
“Kenapa Siba tidak cerita padaku?” tanya Riqi hatinya bergelimang gundah
“Dia mau kawin dengan Fendy”
“Kakaknya sendiri yang membuat dia menjadi miliknya, sehingga Siba mau tidak mau harus menerima” Ira membuahkan cerita soal perjodohan Siba dengan Fendy.
Dengan sadar Riqi lagi menghayal pada masanya saat hari ulang tahun memberi sesendok kue dan saling tukar menukar kenangan, namun sekarang dirinya kini kehilangan penghias wajah dalam hidup selamanya. Jiwa raga tidak sanggup menjemput sang bunga yang telah luluh dimusim kemarau. Riqi hanya sanggup menitip ungkapan isi hati dituangkannya atas oretan pena, selember kertas diberikan kepada Azi buatnya sebagai akhir persembahan tuk mengingat kenangan. Azi mengambil lembaran itu dari tangan Riqi lalu pamit kepadanya untuk segera pulang, dipegangnya lembaran tersebut tanpa membuka atau membacanya.
Sesampinya di rumah Siba, Azi dan Ira langsung menemani serta meberikan lembaran kepadanya dan berkata :
“Ini lembaran dari Riqi”
“Dari Riqi!” kata Siba
“Kapan kamu berdua bertemu dengannya?”
“Aku tadi berdua pergi ke rumahnya” jawab Siba.
“Lalu, apa tujuannya?” Siba bertanya lagi.
“Sebelumnnya aku dan Ira minta maaf”
“Aku pergi ke rumahnya hanya bercerita, bahwa kamu sebentar lagi mau menikah”
“Iya, tidak apa-apa”
“Padahal mauku juga begitu, tapi aku malu”
“Ternyata kamu yang kasih tahu” kata Siba dengan panjang bahasa sambil membuka amplop berisi selembar kertas yang sengaja kasih gambar “sekuntum bunga” oleh Riqi sendiri dengan sengaja melukis sedikit kreatifnya.
“Coba dibaca dengan suaramu yang nyaring” pinta Azi kepada Siba.
“Iya, aku akan baca oretan ini”
“Ini bukan surat”
“Bukan surat!” timpal Azi dan Ira.
“Iya, tapi sebuah parade puisi.” Azi dan Ira tercengang ketika mendengar lembaran itu berisi parade puisi. Dibacanya puisi itu oleh Siba sendiri dengan judul :

“Kini Diakhir Kenangan”
Tatkala ku menatap bayangan wajahmu
Pasca kau menutup kisah cintaku
Nan tak lagi terpadu di hening hatimu

Aku terbelenggu
Aku termangu
Aku terarus
Aku terbuai asmara

Kerdipan matamu menjinjing gelap diujung awan
Nan memanjang dari istana tidurku
Bayanganmu selalu berpaling dan menawan
Tatkala mengibaskan pikiran dalam hasil mimpiku

Disaat mengekspresikan puisi tersebut bibir Siba menggetar air mata menetes lembaran meleleh tiada henti pipinya pucat penuh linangan air mata membuatnya cemas. Tanpa terasa lembaran yang tergenggam jatuh berterbangan kesisi Ira, begitu lembaran jatuh Siba memegang keningnya mata memejam Ira langsung memeluk sambil menyentuh pipi Siba memucat. Azi mengajak untuk dibawa ke kamarnya, karena ia dikira mengalami gangguan dibenak pikirannya. Lama kelamaan Rifa datang dan bertanya :
“Apa yang terjadi?”
“Tubuhnya dingin sekali”
“Mulai kapan?” Rifa bertanya lagi.
“Baru-baru ini, ketika Siba membaca puisinya Riqi” jelas Azi kepada Rifa.
Kenangan manis begitu indah dimusim persahabatan yang tidak akan pernah lepas dari pandangan wajah berseri-seri, dan selalu ada dalam ingatan, terang benderang laksana sinar rembulan pada malam hari terlihat berpaling.[]

Sekian………….!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar