Oleh: Sugerman
Angin malam
berhembus sepoi-sepoi. Dinginnya merasuki suluruh sendi tulang. Aliran darah
seperti hendak membeku. Sedang di langit purnama bersinar begitu indah dan megah. Perlahan purnama
itu merayap di antara bintang-bintang yang berkedip
manis. Suasana malam memang cukup sepi, hanya terdengar bunyi jangkrik dan
kodok di sekitar rumah. Namun suara jeritan Bu Warsi sedikit membuat tetangganya
kaget. Maklum, ia hanya wanita yang hidup sendirian setelah ditinggal mati oleh
suaminya sepuluh hari yang lalu. Namanya Pak Sakum.
Pak Sakum
meninggal dalam tragedi kecelakaan. Ketika ia mau membeli susu untuk Bu Warsi
yang sedang hamil 8 bulan, tepat di tikungan Selatan rumahnya kendaraan bravo yang ditumpangi
lompat ke jurang karena mengalami rem blong. Ia meninggal di TKP. Tragis,
sungguh malang nasib Pak Sakum dan keluarga yang ditinggalnya.
Malam terus
berjalan makin jauh. Petang semakin terbentang lebar menyelimuti waktu. Jeritan
Bu Warsi juga semakin menjadi-jadi, semakin nyaring terdengar. Hingga Bu Tina,
tetangganya merasa khawatir.
“ada apa dengan Bu Warsi.” Pikirnya dalam hati.
“aku harus segera kesana untuk melihatnya.” Gerutunya sambil
bergegas menuju pintu rumahnya.
Seusai menutup pintu rumahnya, Bu Tina langsung mengambil langka seribu menuju rumah Bu Warsi.
Terlihat nafasnya keluar masuk begitu cepat. Keringat menghujani seluruh anggota
tubuhnya. Sedang suara jeritan Bu Warsi semakin kencang. Sepertinya ia sedang
menahan rasa sakit yang sangat dalam.
Bu Tina
mencoba perlahan menarik nafas setelah sampai di depan rumah Bu warsi. Raut
mukanya menggambarkan kelelahan dan kekhawatiran yang besar. Keringat di bagian
wajahnya sedkit hilang setelah di bersihkan dengan
tisu. Meski bajunya sudah cukup basah oleh keringatnya yang mengucur deras semenjak berlari tadi.
Dengan nafas yang masih terengah-engah ia membuka pintu rumah itu.
“hah!!! Bu Warsi.” Matanya
terbelalak melihat keadaaan Bu Warsi
Sontak ia langsung berlari menghampiri Bu Warsi yang sedang
menjerit kesakitan karena mau melahirkan. Di rumah yang sederhana Bu Warsi hidup sendiri setelah kematian Pak Sakum.
Harta benda dan seluruh warisannyapun hanya sepetak tanah. Tapi kini,
sepertinya akan ada seorang teman baru dalam hidup Bu Warsi, yaitu anak yang
dikandung dan akan segera dilahirkan.
“tarik nafas Bu, tahan, lepaskan.” Bu Tina mencoba menbantu
persalinan.
“ya... terus bu, terus.” Lanjutnya.
“ahhh... sakit....” Bu Warsi mengerang kesakitan dan tangannya
meremas kasur begitu keras. Dan kata ini terus mengalir
deras dari mulutnya. Ia seperti ada di ujung jalan yang memiliki dua arah.
Entah arah mana yang akan dilewati nantinya, keselamatan jiwanya atau bahkan
kematian. Ketakutan dan kekhawatiran terus mencerca dirinya begitu kejam.
Seperti pisau yang menebas pisang. Sedetik kemudian
anaknya lahir berjenis kelamin laki-laki. Bu Warsi terkulai
lemas. Sejenak ia mencoba menenangkan diri. Sedang
Bu tina membersihkan darah yang ada di tubuh bayi itu. Kini kekhawatirannya sudah tuntas. Ia telah benar-benar berjalan menuju
masa depan. Bukan jalan menuju akhirat menemui tuhan dan Pak sakum. Dirinya dan
anaknya telah benar-benar selamat dari maut. Roman wajahnya terlihat bahagia
sekali.
“Alhamdulillah.” Ucap Bu Warsi dengan nada lirih karena masih merasa lelah dan lemas
seusai melahirkan.
“Anaknya tampan Bu.” Tutur Bu Tina sambil
memakaikan sebuah kain untuk bayi Bu warsi.
Malam yang
tadinya sepi. Kini ramai dengan suara tangis bayi Bu
Warsi. Wajah Hening sudah hilang dari rahim waktu.
Malam memang sudah sangat larut. Purnama di langit terlihat lebih sempurna
ditemani senyam-senyum Bu warsi dan Bu Tina. Mereka terlihat begitu gembira,
terutama Bu Warsi. Ia tidak akan sepi lagi dalam menjalani hidup sehari-hari.
Tangis, canda dan tawa bayi tersebut akan mewarnai hidupnya. Malam ini sungguh
menjadi saat yang sangat menyenangkan baginya. Seperti orang yang sangat ia
rindu telah pulang dari perantaun yang jauh. Sungguh mengesankan. Alunan
irama-irama terus menggiang. Membawa hatinya pada sebuah taman tempat bunga dan
kupu-kupu beterbangan mengusir kepekatan hidup.
***
Suara
adzan baru saja berkumandag bersama gemuruh angin yang berhembus lembut. Kini
fajar mulai menampakkan wajah manisnya dari balik kabut pagi. Sebagai pertanda
purnama akan berganti matahari. Ini akan jadi hari pertama Bu Warsi ditemani
anaknya. Meski belum bisa membantu maeringanknan bebannya,seperti beres-beres
rumah dan nyapu halaman
Fajar
terus beranjak semakin dewasa. Bentuknya sudah kian membundar di langit timur.
Burung-burungpun mulai beterbangan dan bertengger di dahan pohon. Kicauya
melengkapi keindahan dan kesenangan yang bersemayam di hati Bu warsi. Kegembiraan
yang takkan pernah pergi, bahkan akan semakin dalam dan turun mendekati lubuk
hatinya. Tampaknya ia benar-benar menikmati kebersamaan yang beberapa hari
terakhir hilang. Setelah selesai membereskan tempat tidurnya ia menyiapkan air
untuk memandikan anaknya. Peralatan mandinya belum sesekali membeli. Keduanya
dimandikan dengan sabun, sampu, odol seadanya, khusus dewasa bukan khusus bayi
seperti merek cussons baby.
Terlihat sinar matahari yang masuk
di cela-cela kecil jendelah rumah Bu warsi begitu menyegarkan. Cahayanya yang kekuning-kuningan membuat
panorama pagi semakin indah. Di pagi itu, ia pergi ke beranda
rumahnya menyaksikan kupu-kupu yang beterbangan diantara bunga.
Memandangi cakrawala dengan penuh kesenangan. Matanya berbinar, seperti
menyorotkan sebuah sinar yang selama ini tak pernah terlihat. Seperti sebuah
sinar yang timbul dari hatinya. Ya, mungkin itu adalah sinar yang lahir karena
sebuah kebahagian. Mungkin saja, kesendirian dan kematian Pak sakum yang
membuat sinar itu tenggelam. Memang kesetiaan akan terasa bila seseorang yang
disayangi tiada.
Meski merasa berat, Bu Warsi
terus mencoba ikhlas melepas kematian suaminya. Ia selalu menghilangkan
kesedihan dengan membaca al-qur’an dan shalat-shalat sunnah. Namun air matanya
akan menetes apabila ia mengingat mendiang suaminya. Jiwanya akan terseret pada
lembaran masa lalu yang pernah dijalani dengan indah.
“pak,, liat anak kita, tampan bukan…!” pagi itu ia mencoba memberi
tahu Pak Sakum yang sudah merantau jauh ke seberang. Air matanya tiba-tiba
mengalir begitu deras melewati kedua lesung pipinya. Ia perlahan menghapusnya
dengan kedua ibu jari tangannya. Di sampingnya, bayi itu terlihat kaku melihat
sekitar. Mungkin, seandainya bayi tersebut bisa bicara, ia akan bertanya. “ini
apa mak..? dan itu apa…?”
Mata Bu Warsi sedikit memerah. Ia
masih tampak jelas kalau baru saja selesai menangis. Sesegukannya masih saja
tersisa. Bu Warsi tetap berdiri kokoh di samping bayinya. Sorot matanya
memandangi bayi itu sangat tajam. Sama dengan sorot mata ketika melihat wajah
Pak sakum dulu.
“Pak! Wajah mereka hampir mirip ma bapak.” Katanya sambil mengelus-ngelus wajah bayi itu. Wajah oval, hidung
mancunglah yang sangat menampakkan kemiripan.
Matahari diam-diam meningggi.
Sinarnya tak lagi nyaman untuk dinikmati. Akhirnya Bu Warsi membawa anaknya
masuk ke dalam rumah. Lalu menidurkannya di atas kasur. Pagi itu, tak ada
sesuatu yang dirasakan Bu Warsi, kecuali perasaan senang dan sedikit luka
ketika mengingat suaminya. Meski matahari menggantung lurus di atas kepala,
perasaan itu tak akan pergi. Akan terus bersemayam dalam dirinya.
Kumiliki nama itu hari ini
Hari terus berjalan dan berganti seiring berputarnya waktu. Kini pintu
masa lalu telah tertutup rapat. Tinggal bagaimana menjalani masa kini dan masa
datang. Purnama itu telah tertinggal jauh di belakang. Namun masih ada purnama
bulan depan. Tak terasa, anak itu sudah burumur tujuh hari. Teramat singkat. Dan
kini saatnya anak itu diberi nama. Biasanya masyarakat menyebutnya dengan
perayaan molang are. Sekaligus acara
ini sebagai tanda syukur padaNya karena telah melimpahkan rahmat yang
besar,berupa anak kepada Bu Warsi. Karena
hidup memang harus terus disyukuri.
Di beranda rumah Bu Warsi para undangan sudah berdatangan. Satu persatu
dari mereka mengambil tempat duduk masing-masing. Terlihat semuanya memakai baju muslim, sarung
dan kopyah. Merka dudk dengan membentuk lingkaran.
Semua undangan sudah rampung. Seperti
biasa, sebelum pemberian nama,ada pembacaan barzanji bersama. Sebagai tokoh
masyarakat, kiai Maksum memimpin acara ini. Semua serentak membaca.
Sontak,suasana menjadi ramai. Tak ada lafadz yang terdengar kecuali
lafadz-lafadz barzanji.
Sambil lalu barzanji itu dibaca.
Kedua anak itu di bawa keliling di antara para undangan. Di sampingnya diletakan
gunting dan segelas air putih bercampur kembang tujuh rupa. Secara bergantian
para undangan mengusapkan air itu ke ubun-ubun bayi Bu Warsi. Ada pula yang menggungting
rambutnya.
Hari itu tampak begitu meriah.
Meski makanan yang disuguhkan Bu Warsi hanya seadanya. Minumanpun hanya
secangkir kopi ditemani sepotong roti kecil. Kini saatnya anak itu diberi nama.
“Bu.. mau dikasih nama apa anak ini…???” tanya pak kiai sama Bu Warsi. Sedang bu warsi hanya menyambutnya dengan
senyum. Ia juga masih kebingungan tentang pemberian nama pada kedua anaknya.
“gimana kalau omar..??” usulnya.
“hm…” pak kiai mencoba berfikir sejenak.
Telunjuk tangannya mengetuk-ngetuk otaknya dekat kuping yang kanan. Kedua alisnya
terlihat mengerut.
“bagus… saya rasa nama itu baik bu” tegas pak kiai.
Para undangan
memandangi mereka yang sedang memberi nama pada anak itu. Namun ada sebagian
yang asyik meminum kopi dan menikmati sepotong roti kecil yang disuguhkan Bu
Warsi.
“dengan nama omar, saya berharap anak ini bisa tegar menghadapi hidup
dan bias tegas menghadapi masalah.” Nada suara Bu Warsi begitu keras. Ia berharap agar para undangan yang
hadir bisa mendengar apa yang dicita-citakan dengan nama omar.
Acara selesai. Pak kiai membaca
shalawat sebagai penutup dari acara yang ia dan masyarakat nilai mengandung
berkah.
“allahumma shalil ‘ala muhammad.” suaranya agak keras. Hingga seluruh undangan mendengar dan menjawab
bersama-sama.
“allahumma shalli wasallim wabarik alaih.” Jawab serentak para undangan.
Satu persatu para
undangan beranjak dari tempat duduknya untuk kembali ke rumah masing-masing. Bu
Warsi berdiri di depan rumah sambil menggendong anaknya. Ia tersenyum manis
pada setiap undangan yang pamit pulang. Senyum sebagai ucapan terimakasih atas
kesudian mereka hadir dalam acara molang
are anaknya. Semua yang pulang membawa satu tenteng kresek warna putih
berisi nasi.
Ini adalah hari pertama anak itu punya nama, Omar. Wajah Omar sudah
semakin tampak mirip sekali sama Pak Sakum, Almarhum bapaknya. Ia juga sering
tersenyum lucu. Soerti Pak Sakum yang murah senyum kepada siapapun.
Menggapai mimpi
Lima tahun sudah Bu Warsi dan
Omar membingkai sejarah hidup. Menjalani suka dan duka bersama. Karena
kehidupan memang tak pernah lepas dari hal itu. Meski slama ini mereka hanya
berkecukupan,tspi mereka tetap tabah dan tegar. Setabah nabi Muhammad menerima
ejekan dan perlawanan orang kafir,Setegar nabi musa menghadapi fir’aun, sekuat
nabi Ya’qub menerima cobaan tuhan. Meski sesulit apa hidup. Mereka tetap
menjalani dengan syukur dan senyum. Apalagi Bu Warsi, kalimat tahmid tak
henti-henti bermunculan dari mulutnya setiap hari.
Bu Warsi merasakan rindunya
kepada Pak Sakum semakin mendalam. Tapi apa yang harus dilakukan? Tak ada, Pak
Sakum sudah jauh merantau keseberang. ia memang masih cukup cantik dan mudah. Ia
juga wanita yang muslimah. Rambutnya selalu tertutup oleh kerudung, hidungnya
mancung ditambah lagi dengan kulit kkuning dan ukkuran tubuh yang steril. Apalagi
ahlaqul karimah selalu menghiasai
tindkan dan prilakunya setiap hari. Kecantikan sesungguhnya memamng terletak
pada budi pekerti yang baik, tutur sapa yang lembut. Tak heran, selepas iddah
banyak yang melamarnya. Namun ia tak sesekali menerimanya. Padahal umurnya
masih 30-an. Betapa setia Bu Warsi pada Pak Sakum.
Matahari sudah terlelap dalam
dekapan malam. Rembulan mulai menyibak awan diantara bintang-bintang. Waktu
memang masih terlalu muda untuk ditinggalkan. Waktu yang berdentang di dinding
masih menunjuk ke angka delapan. Tapi Bu Warsi mencoba menidurkan Omar dengan
mengelus-ngelus rambutnya yang agak kriting. Bu Warsi mengantar tidurnya
melalui sebuah nyanyian.
“Omar bobok
Yo, Omar bobok
Kalau tidak bobok
Digigit ibuk.”
Mendengar nyanyian itu
beberapa kali,perlahan Omar memejamkan mata. Kapalanya terliahat ada di atas paha Bu Warsi. Setelah itu kemudian,
Bu Warsi memindahnya ke kasur. Ia sepertinya ssemakin nyenyak disana. Meski
kasurnya bukan spring bed.
“bobok dengan nyenyak ya nak! Besok Bangun pagi-pagi untuk sekolah TK.” Ucapnya setelah itu meninggalkan sebuah kecupan di kening Omar. Lalu
membaringkan tubuhnya di samping Omar.
Waktu makin larut. Tapi Bu Warsi
masih belum bias memejamkan matanya seperti Omar. Bayangan Pak Sakum selalu
melilit pikirannya. Menari di antara bola matanya. Baginya, mengingat almarhum
suaminya adalah hal terindah yang pernah membosankan. Angin yang berhembus
membawanya paa lamunan yang makin dalam, kian jauh memasuki masa lalu.
Langitpun juga ikut sedih. Dengan gerimis,langit memberi isyarat atas
kesedihannya.
Malam semakin hening dan
dingin. ia hanya membisu dan menangis
lirih lagi sambil memandangi gelap malam yang makin pekat. Tiba-tiba pandangan
matanya berpindah pada foto yang tergantung indah di dinding. Foto Pak Sakum
satu-satunya. Jiwanya terhenyak dan tangisannya makin parau. Malam itu menjadi
malam yang menguapkan beribu kenangan,yang terhambur bersama bintang-bintang.
Dan di tengah-tengah air matanya meleleh melewati lesung pipinya, ia berdo,a “Ya Allah! Kumpulkan kami di surgamu nanti.” Kata
ini ia ulangi berkali-kali.
Perlahan ia mencoba menidurkn
jiwanya yang terbelenggu rindu. Matanya muai dipejamkan meski berat rasanya. Tiba-tiba
dalam tidurnya ia terhanyut dalam sebuah mimpi. Dalam mimpinya, Pak Sakum
bertutur:
“kutunggu dirimu di pintu syurga membawa cinta dan seberkas kenangan
tentang kita.” Suaranya begitu mengharukan. Di akhir
mimpinya, Pak Sakum melambaikan tangan. Dan lambaian itu terus terjebak dalam
fikirannya sampai ia terbangun dari tidur menyaksikan fajar bangkit dari ufuk
timur.
Ia beranjak dari tempat tidur
menuju jendela rumahnya yang terbuat dari kayu jati. Lalu ia membuka jendelah
itu sebelah. Menikmati cuaca pagi dan lahirnya matahari di sela-sela menunggu
adzan subuh berkumandang. Ia terdiam. Sedang rindu dan isyarat lambaian tadi
malam terus menggemuruh dalam jiwanya. Seperti gemuruh gelombang yang
membawanya pada sebuah pantai tempat membuang segala kepenatan dan kepekatan
hidup.
***
Paginya, Bu Warsi bersiap-siap
mengantar Omar kesekolahnya. Omar sekolah di Taman Kanak-kanak yang berjarak
tak begitu jauh dari rumahnya, Kira-kira 900 meter. Namanya TK Assa’adah.
Disana tingkat pendidkannya sampai Madrasah Aliyah.
Seluruh peralatan sekolah Omar
sudah dimasukkan ke dalam tas. Buku tulis,bolpen,krayon,pensil warna,buku gambar
dll. Seragam sekolahnya yang berwarna biru langit sudah terpakai rapi.
Mereka beranjak melangkahkan kaki keluar dari rumah menuju arah matahari
dilahirkan. Jalan yang ditempuh sedikit terjal,berbatu dan bergelombang. Memang
begitulah jalan pedesaan. Meski berjalan cukup santai nafas mereka terlihat sedikit terengah-engah
setelah melewati beberapa tikungan. Untungnya, pohon yang masih biru dan rimbun
membuat terlindung dari sengat cahaya matahari yang panas. Cuaca teramat
terang. Tak ada awan hitam yang melintas di atas langit desa Klarasan. Musim
kemarau yang cukup lama. Sudah tiga tahun belakangan desa ini tidak dikunjungi
hujan. Sungai-sungai kering tanpa air,sawah dan tanah jadi kerontang dan
kehausan. Padahal seluruh warga telah rindu akan datangnya hujan.
Tujuh menit kemudian. Mereka sampai di TK Assa’adah. Di halaman
sekolahnya banyak anak-anak yang bermain. Ada yang bermain ayunan,ada pula yang
bermain lompat ular. Semuanya terlihat gembira dengan akktifitas masing-masing.
Bel masuk berbunyi. Pertanda semua siswa harus masuk ke dalm kelas untuk
mengikuti materi dari gurunya. Anak-anak serentak masuk kelas masing-masing
disusul oleh gurunya. Di luar terlihat sepi,yang ada hanya pedagang warung dan
petugas kebersihan sekolah tersebut. Suasan jadi lengah. Namun di dalam kelas
semua guru telah sibuk dengan taktik mengajar mereka sendiri. Di kelas Omar,bu
gurunya lagi menggambar gambar binatang dan buah-bauhan. Bu Warda namanya.
Sehabis menggambar ia menyuruh para siswa menirukan gambarnya dan memberi warna
sesuai dengan warna asli binatang dan buah-buahan yang sebenarnya. Terliahat
disana gambabr gajah dan buah jeruk.
“Ayo anak-anak.. gambar dan warnai sesuai warna aslinya.” Suruh Bu Warda sambil spidol bordmarker di goris-goriskan pada gambar
yang ada di papan.
“baik Bu….” Serentak anak-anak TK
itu menjawab. Termasuk juga Omar.
Semau anak menunduk. Dan sesekali
melihat gambar di papan. Omar terlihat begitu antusias sekali menggambar
menggambar. Ia memulai gambar itu dari kepala sang gajah. Kemudian melukis buah
jeruk yang berjumlah tiga buah dan masih ada sehelai daun yang melekat di
atasnya. Gambar itu bukan hanya mengajarkan kekreatifan tapi juga mengajarkan
anak-anak untuk bisa bersabar.
“selesai Bu.” Omar mengacungkan
tangannya.
“coba ibu liat.!” Bu Warda melihat hasil
kerja Omar. Buku Omar telah ada di tangannya.
“ini belum selesai Omar..! kamu
belum mewarnainya.” Bu Warda menggelengkan kepalanya. Sambil
menyerahkan kembali buka itu pada Omar.
“menggambarnya selesai bu.. tinggal mewarnainya.. saya gak bohong khan!”
tegas Omar pada Bu Warda. Kadangkala ia memang sedikit
agak lucu. Selalu membuat sensasi di kelasnya. Tapi ia anaknya pintar dan berani
tampil di depan teman-temannya.
Dari hasil menggambar dan
mewarnai Omar mendapat nilai bintang empat. Nilai terbaik bagi anak-anak di
tingkat TK. Hatinya gembira. Begitupun dengan hati Bu Warsi yang sedang menunggunga
di bagian belakang kelas itu. Hati Bu Warsi seperti di tumbuhi bunga-bunga
hmelihat keberhasilan anaknya. Ia tersenyum sambil memandangi Omar. Dari raut
wajahnya dapat dibaca bahwa ia begitu bangga memilki anak seperti Omar. Matanya
berbinar. Seperti memantulkan sebuah sinar.
Semua anak-anak mengemasi
seluruh alat belajarnya. Mereka bersiap-siap pulang karena jarum jam sudah
mengarah pada angka sepuluh. Cukup siang.
***
Omar berkali-kali menengadah.
Menatap cakwala dan senja yang mulai menguning sore itu. Sebelum ia kembali
melesat paergi ke masjid untuk mengaji Al-qur’an sama kiai Maksum. Ia begitu
menyukai langit pagi dan sore. Suasana yang membuat jiwanya terseret pada
keindahan sementara, kemegahan megah yang memerah. Sungguh hal yang paling ia
sukai adalah menatap senja sambil memegang kitab suci al-qur’an. Sebelum ia
kembali mengaji pada kiai Maksum,ia selalu mengulang hasil kemarin. Hingga yang
telah dipelajari menjadi hafal. Sekarang hafalannya baru nyampek Surat
Al-Baqarah:40. Untuk anak usia sepertinya masih begitu jarang bias ditemui.
Ia masih duduk santai di beranda
rumahnya sambil memandangi langit sore. Menunggu senja itu benar-benar
tenggelam ke dasar paling dalam. Suara lantunan ayat-ayat al-qur’an sudah
menggemma dari masjid kiai Maksum. Pertanda Maghrib sudah hampar tiba. Angin
berhembus perlahan mengantar kepergian terang menuju gelap. Bundaran bulan
sudah mulai tampak di pahatan cakrawala sana.
Tak lama berselang, adzan
maghrib terdengar. Omar memilih berhenti menatap senja hanya untuk menjawab
sang muaddzin. Hasrat dan jiwanya terpanggil. Hingga ia bergegas ke dalam rumah
dan pamit sama Bu Warsi.
“buk…!! Saya berangkat
ngaji dulu ya!” pamitnya sambil mencium tangan Bu Warsi
“hati-hati di jalan
nak!”
“Enggi buk.” Ia menganggukkan kepala di depan Bu Warsi. Lalu melesat menuju pintu
sambil mengucapkan salam. Tangannya mendekap al-qur’an peninggalan Pak Sakum.
Kulitnya sudah lusuh karena memang usianya sudah cukup tua.
Jantung Omar masih berdetak tak
karuan ketika sampai di masjid Kiai Maksum. Nafas yang keluar dari hidungnya
tak beraturan. Keringat dingin mengalir di wajahnya. Lututnya masih terasa keram.
Ia besantai dulu di beranda masjid sebelum masuk ke dalam untuk shalat jamaah
maghrib. Tapi untungnya,sang Kiai Maksum belum datang untuk menjadi imam waktu
itu.
“Omar kok masih
diluar, kok gak ngumpul ma temannya di dalam.”
“ooo… pak Kiai.. masih
melepas lelah.” Sontak, omar yang semula tidur-tiduran
langsung berdiri tegak. Menundukkan kepala.
Semua yang ada di dalam masjid
sudah membentuk shaf. Orang yang usianya lebih tua berada di barisan paling
depan. Sedang yang anak-anak berada di shaf kedua. Di lanjut dengan wanita
menempati shaf ketiga. Pak kiai sudah menempati posisinya.
“Suwwu shufuufakum
fainna taswitasshufufi min tamamisshalati.” Ujar pak kiai sambil memandangi
seluruh shaf makmum di belakangnya. Setelah semua shaf terlihat rapi,pak kiai
memulai shalat jama’ah maghrib.
Suara Kiai Maksum terdengar
begitu merdu membaca ayat-ayat suci Al-qur’an. Jiwa-jiwa seakan di aliri
ayat-ayat yang dibacanya.
***
Asma-asma tuhan terus
terlafadkan dan bergemuruh di dalam masjid itu. Akhirnya do’a dipanjatkan
sebagai penutup wirid shalat maghrib itu. Semua anak-anak berlari ke rak
Al-Qur’an yang terletak di bagian pojok utara masjid tersebut. Kiai Maksum
membalik tubuhnya mengahdap ke sebelah timur. Sedang anak-anak duduk bersilah
dengan membentuk lingkaran di depan beliau.
Al-Qur’an yang mereka
pegang telah terbuka. Huruf-hurufnya yang berlekuk indah tak henti-henti memancarkan
sinar petunjuk bagi pembaca dan pendengarnya.
Kiai Maksum melirik semua santri
yang ada di depannya. Ia meyakinkan diri bahwa mereka telah siap untuk mengaji.
Satu persatu santri itu mendekat sama beliau, termasuk Omar. Kali itu Omar
mendapay glirin nomor tiga setelah Fais dan Akbar. Bermacam-macam raut wajah
yang terlihat. Ada yang kelihatan tegang karena mental mereka yang kurang kuat.
Bahkan ada yang suaranya terdengar gerogi ketika mengaji. Tapi tidak dengan
Omar. Dia cukup berani dan memilki mental batu.