Jumat, 26 Juli 2013

LIHAT AKU DI SEPANJANG JALAN

Oleh: Sugerman

                Angin malam berhembus sepoi-sepoi. Dinginnya merasuki suluruh sendi tulang. Aliran darah seperti  hendak membeku. Sedang di langit purnama bersinar begitu indah dan megah. Perlahan purnama itu merayap di antara bintang-bintang yang berkedip manis. Suasana malam memang cukup sepi, hanya terdengar bunyi jangkrik dan kodok di sekitar rumah. Namun suara jeritan Bu Warsi sedikit membuat tetangganya kaget. Maklum, ia hanya wanita yang hidup sendirian setelah ditinggal mati oleh suaminya sepuluh hari yang lalu. Namanya Pak Sakum.

                Pak Sakum meninggal dalam tragedi kecelakaan. Ketika ia mau membeli susu untuk Bu Warsi yang sedang hamil 8 bulan, tepat di tikungan Selatan rumahnya kendaraan bravo yang ditumpangi  lompat ke jurang karena mengalami rem blong. Ia meninggal di TKP. Tragis, sungguh malang nasib Pak Sakum dan keluarga yang ditinggalnya.

                Malam terus berjalan makin jauh. Petang semakin terbentang lebar menyelimuti waktu. Jeritan Bu Warsi juga semakin menjadi-jadi, semakin nyaring terdengar. Hingga Bu Tina, tetangganya merasa khawatir.
“ada apa dengan Bu Warsi.” Pikirnya dalam hati.
“aku harus segera kesana untuk melihatnya.” Gerutunya sambil bergegas menuju pintu rumahnya.
Seusai menutup pintu rumahnya, Bu Tina langsung mengambil langka seribu menuju rumah Bu Warsi. Terlihat nafasnya keluar masuk begitu cepat. Keringat menghujani seluruh anggota tubuhnya. Sedang suara jeritan Bu Warsi semakin kencang. Sepertinya ia sedang menahan rasa sakit yang sangat dalam.

                Bu Tina mencoba perlahan menarik nafas setelah sampai di depan rumah Bu warsi. Raut mukanya menggambarkan kelelahan dan kekhawatiran yang besar. Keringat di bagian wajahnya sedkit hilang setelah di bersihkan dengan tisu. Meski bajunya sudah cukup basah oleh keringatnya yang mengucur deras semenjak berlari tadi. Dengan nafas yang masih terengah-engah ia membuka pintu rumah itu.
“hah!!! Bu Warsi.” Matanya terbelalak melihat keadaaan Bu Warsi
Sontak ia langsung berlari menghampiri Bu Warsi yang sedang menjerit kesakitan karena mau melahirkan. Di rumah yang sederhana Bu Warsi hidup sendiri setelah kematian Pak Sakum. Harta benda dan seluruh warisannyapun hanya sepetak tanah. Tapi kini, sepertinya akan ada seorang teman baru dalam hidup Bu Warsi, yaitu anak yang dikandung dan akan segera dilahirkan.
tarik nafas Bu, tahan, lepaskan.” Bu Tina mencoba menbantu persalinan.
“ya... terus bu, terus.” Lanjutnya.
“ahhh... sakit....” Bu Warsi mengerang kesakitan dan tangannya meremas kasur begitu keras. Dan kata ini terus mengalir deras dari mulutnya. Ia seperti ada di ujung jalan yang memiliki dua arah. Entah arah mana yang akan dilewati nantinya, keselamatan jiwanya atau bahkan kematian. Ketakutan dan kekhawatiran terus mencerca dirinya begitu kejam. Seperti pisau yang menebas pisang. Sedetik kemudian anaknya lahir berjenis kelamin laki-laki. Bu Warsi terkulai lemas. Sejenak ia mencoba menenangkan diri. Sedang Bu tina membersihkan darah yang ada di tubuh bayi itu. Kini kekhawatirannya sudah tuntas. Ia telah benar-benar berjalan menuju masa depan. Bukan jalan menuju akhirat menemui tuhan dan Pak sakum. Dirinya dan anaknya telah benar-benar selamat dari maut. Roman wajahnya terlihat bahagia sekali.
“Alhamdulillah.” Ucap Bu Warsi dengan nada lirih karena masih merasa lelah dan lemas seusai melahirkan.
“Anaknya tampan Bu.” Tutur Bu Tina sambil memakaikan sebuah kain untuk bayi Bu warsi.

                Malam yang tadinya sepi. Kini ramai dengan suara tangis bayi Bu Warsi. Wajah Hening sudah hilang dari rahim waktu. Malam memang sudah sangat larut. Purnama di langit terlihat lebih sempurna ditemani senyam-senyum Bu warsi dan Bu Tina. Mereka terlihat begitu gembira, terutama Bu Warsi. Ia tidak akan sepi lagi dalam menjalani hidup sehari-hari. Tangis, canda dan tawa bayi tersebut akan mewarnai hidupnya. Malam ini sungguh menjadi saat yang sangat menyenangkan baginya. Seperti orang yang sangat ia rindu telah pulang dari perantaun yang jauh. Sungguh mengesankan. Alunan irama-irama terus menggiang. Membawa hatinya pada sebuah taman tempat bunga dan kupu-kupu beterbangan mengusir kepekatan hidup.

***

                Suara adzan baru saja berkumandag bersama gemuruh angin yang berhembus lembut. Kini fajar mulai menampakkan wajah manisnya dari balik kabut pagi. Sebagai pertanda purnama akan berganti matahari. Ini akan jadi hari pertama Bu Warsi ditemani anaknya. Meski belum bisa membantu maeringanknan bebannya,seperti beres-beres rumah dan nyapu halaman
                Fajar terus beranjak semakin dewasa. Bentuknya sudah kian membundar di langit timur. Burung-burungpun mulai beterbangan dan bertengger di dahan pohon. Kicauya melengkapi keindahan dan kesenangan yang bersemayam di hati Bu warsi. Kegembiraan yang takkan pernah pergi, bahkan akan semakin dalam dan turun mendekati lubuk hatinya. Tampaknya ia benar-benar menikmati kebersamaan yang beberapa hari terakhir hilang. Setelah selesai membereskan tempat tidurnya ia menyiapkan air untuk memandikan anaknya. Peralatan mandinya belum sesekali membeli. Keduanya dimandikan dengan sabun, sampu, odol seadanya, khusus dewasa bukan khusus bayi seperti merek cussons baby.
                Terlihat sinar matahari yang masuk di cela-cela kecil jendelah rumah Bu warsi begitu menyegarkan.  Cahayanya yang kekuning-kuningan membuat panorama pagi semakin indah. Di pagi itu, ia pergi ke beranda rumahnya menyaksikan kupu-kupu yang beterbangan diantara bunga. Memandangi cakrawala dengan penuh kesenangan. Matanya berbinar, seperti menyorotkan sebuah sinar yang selama ini tak pernah terlihat. Seperti sebuah sinar yang timbul dari hatinya. Ya, mungkin itu adalah sinar yang lahir karena sebuah kebahagian. Mungkin saja, kesendirian dan kematian Pak sakum yang membuat sinar itu tenggelam. Memang kesetiaan akan terasa bila seseorang yang disayangi tiada.

                Meski merasa berat, Bu Warsi terus mencoba ikhlas melepas kematian suaminya. Ia selalu menghilangkan kesedihan dengan membaca al-qur’an dan shalat-shalat sunnah. Namun air matanya akan menetes apabila ia mengingat mendiang suaminya. Jiwanya akan terseret pada lembaran masa lalu yang pernah dijalani dengan indah.

                “pak,, liat anak kita, tampan bukan…!” pagi itu ia mencoba memberi tahu Pak Sakum yang sudah merantau jauh ke seberang. Air matanya tiba-tiba mengalir begitu deras melewati kedua lesung pipinya. Ia perlahan menghapusnya dengan kedua ibu jari tangannya. Di sampingnya, bayi itu terlihat kaku melihat sekitar. Mungkin, seandainya bayi tersebut bisa bicara, ia akan bertanya. “ini apa mak..? dan itu apa…?”

                Mata Bu Warsi sedikit memerah. Ia masih tampak jelas kalau baru saja selesai menangis. Sesegukannya masih saja tersisa. Bu Warsi tetap berdiri kokoh di samping bayinya. Sorot matanya memandangi bayi itu sangat tajam. Sama dengan sorot mata ketika melihat wajah Pak sakum dulu.
“Pak! Wajah mereka hampir mirip ma bapak.” Katanya sambil mengelus-ngelus wajah bayi itu. Wajah oval, hidung mancunglah yang sangat menampakkan  kemiripan.

                Matahari diam-diam meningggi. Sinarnya tak lagi nyaman untuk dinikmati. Akhirnya Bu Warsi membawa anaknya masuk ke dalam rumah. Lalu menidurkannya di atas kasur. Pagi itu, tak ada sesuatu yang dirasakan Bu Warsi, kecuali perasaan senang dan sedikit luka ketika mengingat suaminya. Meski matahari menggantung lurus di atas kepala, perasaan itu tak akan pergi. Akan terus bersemayam dalam dirinya.

Kumiliki nama itu hari ini

                Hari terus berjalan dan berganti seiring berputarnya waktu. Kini pintu masa lalu telah tertutup rapat. Tinggal bagaimana menjalani masa kini dan masa datang. Purnama itu telah tertinggal jauh di belakang. Namun masih ada purnama bulan depan. Tak terasa, anak itu sudah burumur tujuh hari. Teramat singkat. Dan kini saatnya anak itu diberi nama. Biasanya masyarakat menyebutnya dengan perayaan molang are. Sekaligus acara ini sebagai tanda syukur padaNya karena telah melimpahkan rahmat yang besar,berupa anak kepada Bu Warsi. Karena hidup memang harus terus disyukuri.

Di beranda rumah Bu Warsi para undangan sudah berdatangan. Satu persatu dari mereka mengambil tempat duduk masing-masing.  Terlihat semuanya memakai baju muslim, sarung dan kopyah. Merka dudk dengan membentuk lingkaran.

                Semua undangan sudah rampung. Seperti biasa, sebelum pemberian nama,ada pembacaan barzanji bersama. Sebagai tokoh masyarakat, kiai Maksum memimpin acara ini. Semua serentak membaca. Sontak,suasana menjadi ramai. Tak ada lafadz yang terdengar kecuali lafadz-lafadz barzanji.

                Sambil lalu barzanji itu dibaca. Kedua anak itu di bawa keliling di antara para undangan. Di sampingnya diletakan gunting dan segelas air putih bercampur kembang tujuh rupa. Secara bergantian para undangan mengusapkan air itu ke ubun-ubun bayi Bu Warsi. Ada pula yang menggungting rambutnya.

                Hari itu tampak begitu meriah. Meski makanan yang disuguhkan Bu Warsi hanya seadanya. Minumanpun hanya secangkir kopi ditemani sepotong roti kecil. Kini saatnya anak itu diberi nama.
“Bu.. mau dikasih nama apa anak ini…???” tanya pak kiai sama Bu Warsi. Sedang bu warsi hanya menyambutnya dengan senyum. Ia juga masih kebingungan tentang pemberian nama pada kedua anaknya.
“gimana kalau omar..??” usulnya.
“hm…” pak kiai mencoba berfikir sejenak. Telunjuk tangannya mengetuk-ngetuk otaknya dekat kuping yang kanan. Kedua alisnya terlihat mengerut.
“bagus… saya rasa nama itu baik bu” tegas pak kiai.
Para undangan memandangi mereka yang sedang memberi nama pada anak itu. Namun ada sebagian yang asyik meminum kopi dan menikmati sepotong roti kecil yang disuguhkan Bu Warsi.
“dengan nama omar, saya berharap anak ini bisa tegar menghadapi hidup dan bias tegas menghadapi masalah.” Nada suara Bu Warsi begitu keras. Ia berharap agar para undangan yang hadir bisa mendengar apa yang dicita-citakan dengan nama omar.

                Acara selesai. Pak kiai membaca shalawat sebagai penutup dari acara yang ia dan masyarakat nilai mengandung berkah.
“allahumma shalil ‘ala muhammad.” suaranya agak keras. Hingga seluruh undangan mendengar dan menjawab bersama-sama.
“allahumma shalli wasallim wabarik alaih.” Jawab serentak para undangan.
Satu persatu para undangan beranjak dari tempat duduknya untuk kembali ke rumah masing-masing. Bu Warsi berdiri di depan rumah sambil menggendong anaknya. Ia tersenyum manis pada setiap undangan yang pamit pulang. Senyum sebagai ucapan terimakasih atas kesudian mereka hadir dalam acara molang are anaknya. Semua yang pulang membawa satu tenteng kresek warna putih berisi nasi.

Ini adalah hari pertama anak itu punya nama, Omar. Wajah Omar sudah semakin tampak mirip sekali sama Pak Sakum, Almarhum bapaknya. Ia juga sering tersenyum lucu. Soerti Pak Sakum yang murah senyum kepada siapapun.


Menggapai mimpi

                Lima tahun sudah Bu Warsi dan Omar membingkai sejarah hidup. Menjalani suka dan duka bersama. Karena kehidupan memang tak pernah lepas dari hal itu. Meski slama ini mereka hanya berkecukupan,tspi mereka tetap tabah dan tegar. Setabah nabi Muhammad menerima ejekan dan perlawanan orang kafir,Setegar nabi musa menghadapi fir’aun, sekuat nabi Ya’qub menerima cobaan tuhan. Meski sesulit apa hidup. Mereka tetap menjalani dengan syukur dan senyum. Apalagi Bu Warsi, kalimat tahmid tak henti-henti bermunculan dari mulutnya setiap hari.

                Bu Warsi merasakan rindunya kepada Pak Sakum semakin mendalam. Tapi apa yang harus dilakukan? Tak ada, Pak Sakum sudah jauh merantau keseberang. ia memang masih cukup cantik dan mudah. Ia juga wanita yang muslimah. Rambutnya selalu tertutup oleh kerudung, hidungnya mancung ditambah lagi dengan kulit kkuning dan ukkuran tubuh yang steril. Apalagi ahlaqul karimah selalu menghiasai tindkan dan prilakunya setiap hari. Kecantikan sesungguhnya memamng terletak pada budi pekerti yang baik, tutur sapa yang lembut. Tak heran, selepas iddah banyak yang melamarnya. Namun ia tak sesekali menerimanya. Padahal umurnya masih 30-an. Betapa setia Bu Warsi pada Pak Sakum.

                Matahari sudah terlelap dalam dekapan malam. Rembulan mulai menyibak awan diantara bintang-bintang. Waktu memang masih terlalu muda untuk ditinggalkan. Waktu yang berdentang di dinding masih menunjuk ke angka delapan. Tapi Bu Warsi mencoba menidurkan Omar dengan mengelus-ngelus rambutnya yang agak kriting. Bu Warsi mengantar tidurnya melalui sebuah nyanyian.
“Omar bobok
Yo, Omar bobok
Kalau tidak bobok
Digigit ibuk.
Mendengar nyanyian itu beberapa kali,perlahan Omar memejamkan mata. Kapalanya terliahat ada  di atas paha Bu Warsi. Setelah itu kemudian, Bu Warsi memindahnya ke kasur. Ia sepertinya ssemakin nyenyak disana. Meski kasurnya bukan spring bed.
“bobok dengan nyenyak ya nak! Besok Bangun pagi-pagi untuk sekolah TK.” Ucapnya setelah itu meninggalkan sebuah kecupan di kening Omar. Lalu membaringkan tubuhnya di samping Omar.

                Waktu makin larut. Tapi Bu Warsi masih belum bias memejamkan matanya seperti Omar. Bayangan Pak Sakum selalu melilit pikirannya. Menari di antara bola matanya. Baginya, mengingat almarhum suaminya adalah hal terindah yang pernah membosankan. Angin yang berhembus membawanya paa lamunan yang makin dalam, kian jauh memasuki masa lalu. Langitpun juga ikut sedih. Dengan gerimis,langit memberi isyarat atas kesedihannya.

                Malam semakin hening dan dingin.  ia hanya membisu dan menangis lirih lagi sambil memandangi gelap malam yang makin pekat. Tiba-tiba pandangan matanya berpindah pada foto yang tergantung indah di dinding. Foto Pak Sakum satu-satunya. Jiwanya terhenyak dan tangisannya makin parau. Malam itu menjadi malam yang menguapkan beribu kenangan,yang terhambur bersama bintang-bintang. Dan di tengah-tengah air matanya meleleh melewati lesung pipinya, ia berdo,a “Ya Allah! Kumpulkan kami di surgamu nanti.” Kata ini ia ulangi berkali-kali.

                Perlahan ia mencoba menidurkn jiwanya yang terbelenggu rindu. Matanya muai dipejamkan meski berat rasanya. Tiba-tiba dalam tidurnya ia terhanyut dalam sebuah mimpi. Dalam mimpinya, Pak Sakum bertutur:
“kutunggu dirimu di pintu syurga membawa cinta dan seberkas kenangan tentang kita.” Suaranya begitu mengharukan. Di akhir mimpinya, Pak Sakum melambaikan tangan. Dan lambaian itu terus terjebak dalam fikirannya sampai ia terbangun dari tidur menyaksikan fajar bangkit dari ufuk timur.

                Ia beranjak dari tempat tidur menuju jendela rumahnya yang terbuat dari kayu jati. Lalu ia membuka jendelah itu sebelah. Menikmati cuaca pagi dan lahirnya matahari di sela-sela menunggu adzan subuh berkumandang. Ia terdiam. Sedang rindu dan isyarat lambaian tadi malam terus menggemuruh dalam jiwanya. Seperti gemuruh gelombang yang membawanya pada sebuah pantai tempat membuang segala kepenatan dan kepekatan hidup.

***
                Paginya, Bu Warsi bersiap-siap mengantar Omar kesekolahnya. Omar sekolah di Taman Kanak-kanak yang berjarak tak begitu jauh dari rumahnya, Kira-kira 900 meter. Namanya TK Assa’adah. Disana tingkat pendidkannya sampai Madrasah Aliyah.

                Seluruh peralatan sekolah Omar sudah dimasukkan ke dalam tas. Buku tulis,bolpen,krayon,pensil warna,buku gambar dll. Seragam sekolahnya yang berwarna biru langit sudah terpakai rapi.

Mereka beranjak melangkahkan kaki keluar dari rumah menuju arah matahari dilahirkan. Jalan yang ditempuh sedikit terjal,berbatu dan bergelombang. Memang begitulah jalan pedesaan. Meski berjalan cukup santai  nafas mereka terlihat sedikit terengah-engah setelah melewati beberapa tikungan. Untungnya, pohon yang masih biru dan rimbun membuat terlindung dari sengat cahaya matahari yang panas. Cuaca teramat terang. Tak ada awan hitam yang melintas di atas langit desa Klarasan. Musim kemarau yang cukup lama. Sudah tiga tahun belakangan desa ini tidak dikunjungi hujan. Sungai-sungai kering tanpa air,sawah dan tanah jadi kerontang dan kehausan. Padahal seluruh warga telah rindu akan datangnya hujan.

Tujuh menit kemudian. Mereka sampai di TK Assa’adah. Di halaman sekolahnya banyak anak-anak yang bermain. Ada yang bermain ayunan,ada pula yang bermain lompat ular. Semuanya terlihat gembira dengan akktifitas masing-masing.

Bel masuk berbunyi. Pertanda semua siswa harus masuk ke dalm kelas untuk mengikuti materi dari gurunya. Anak-anak serentak masuk kelas masing-masing disusul oleh gurunya. Di luar terlihat sepi,yang ada hanya pedagang warung dan petugas kebersihan sekolah tersebut. Suasan jadi lengah. Namun di dalam kelas semua guru telah sibuk dengan taktik mengajar mereka sendiri. Di kelas Omar,bu gurunya lagi menggambar gambar binatang dan buah-bauhan. Bu Warda namanya. Sehabis menggambar ia menyuruh para siswa menirukan gambarnya dan memberi warna sesuai dengan warna asli binatang dan buah-buahan yang sebenarnya. Terliahat disana gambabr gajah dan buah jeruk.
“Ayo anak-anak.. gambar dan warnai sesuai warna aslinya.” Suruh Bu Warda sambil spidol bordmarker di goris-goriskan pada gambar yang ada di papan.
“baik Bu….” Serentak anak-anak TK itu menjawab. Termasuk juga Omar.

                Semau anak menunduk. Dan sesekali melihat gambar di papan. Omar terlihat begitu antusias sekali menggambar menggambar. Ia memulai gambar itu dari kepala sang gajah. Kemudian melukis buah jeruk yang berjumlah tiga buah dan masih ada sehelai daun yang melekat di atasnya. Gambar itu bukan hanya mengajarkan kekreatifan tapi juga mengajarkan anak-anak untuk bisa bersabar.
“selesai Bu.” Omar mengacungkan tangannya.
“coba ibu liat.!” Bu Warda melihat hasil kerja Omar. Buku Omar telah ada di tangannya.
“ini belum selesai Omar..!  kamu belum mewarnainya.”  Bu Warda menggelengkan kepalanya. Sambil menyerahkan kembali buka itu pada Omar.
“menggambarnya selesai bu.. tinggal mewarnainya.. saya gak bohong khan!” tegas Omar pada Bu Warda. Kadangkala ia memang sedikit agak lucu. Selalu membuat sensasi di kelasnya. Tapi ia anaknya pintar dan berani tampil di depan teman-temannya.

                Dari hasil menggambar dan mewarnai Omar mendapat nilai bintang empat. Nilai terbaik bagi anak-anak di tingkat TK. Hatinya gembira. Begitupun dengan hati Bu Warsi yang sedang menunggunga di bagian belakang kelas itu. Hati Bu Warsi seperti di tumbuhi bunga-bunga hmelihat keberhasilan anaknya. Ia tersenyum sambil memandangi Omar. Dari raut wajahnya dapat dibaca bahwa ia begitu bangga memilki anak seperti Omar. Matanya berbinar. Seperti memantulkan sebuah sinar.
                Semua anak-anak mengemasi seluruh alat belajarnya. Mereka bersiap-siap pulang karena jarum jam sudah mengarah pada angka sepuluh. Cukup siang.
***
                Omar berkali-kali menengadah. Menatap cakwala dan senja yang mulai menguning sore itu. Sebelum ia kembali melesat paergi ke masjid untuk mengaji Al-qur’an sama kiai Maksum. Ia begitu menyukai langit pagi dan sore. Suasana yang membuat jiwanya terseret pada keindahan sementara, kemegahan megah yang memerah. Sungguh hal yang paling ia sukai adalah menatap senja sambil memegang kitab suci al-qur’an. Sebelum ia kembali mengaji pada kiai Maksum,ia selalu mengulang hasil kemarin. Hingga yang telah dipelajari menjadi hafal. Sekarang hafalannya baru nyampek Surat Al-Baqarah:40. Untuk anak usia sepertinya masih begitu jarang bias ditemui.

                Ia masih duduk santai di beranda rumahnya sambil memandangi langit sore. Menunggu senja itu benar-benar tenggelam ke dasar paling dalam. Suara lantunan ayat-ayat al-qur’an sudah menggemma dari masjid kiai Maksum. Pertanda Maghrib sudah hampar tiba. Angin berhembus perlahan mengantar kepergian terang menuju gelap. Bundaran bulan sudah mulai tampak di pahatan cakrawala sana.

                Tak lama berselang, adzan maghrib terdengar. Omar memilih berhenti menatap senja hanya untuk menjawab sang muaddzin. Hasrat dan jiwanya terpanggil. Hingga ia bergegas ke dalam rumah dan pamit sama Bu Warsi.
“buk…!! Saya berangkat ngaji dulu ya!” pamitnya sambil mencium tangan Bu Warsi
“hati-hati di jalan nak!”
“Enggi buk.” Ia menganggukkan kepala di depan Bu Warsi. Lalu melesat menuju pintu sambil mengucapkan salam. Tangannya mendekap al-qur’an peninggalan Pak Sakum. Kulitnya sudah lusuh karena memang usianya sudah cukup tua.


                Jantung Omar masih berdetak tak karuan ketika sampai di masjid Kiai Maksum. Nafas yang keluar dari hidungnya tak beraturan. Keringat dingin mengalir di wajahnya. Lututnya masih terasa keram. Ia besantai dulu di beranda masjid sebelum masuk ke dalam untuk shalat jamaah maghrib. Tapi untungnya,sang Kiai Maksum belum datang untuk menjadi imam waktu itu.
“Omar kok masih diluar, kok gak ngumpul ma temannya di dalam.”
“ooo… pak Kiai.. masih melepas lelah.” Sontak, omar yang semula tidur-tiduran langsung berdiri tegak. Menundukkan kepala.

                Semua yang ada di dalam masjid sudah membentuk shaf. Orang yang usianya lebih tua berada di barisan paling depan. Sedang yang anak-anak berada di shaf kedua. Di lanjut dengan wanita menempati shaf ketiga. Pak kiai sudah menempati posisinya.
“Suwwu shufuufakum fainna taswitasshufufi min tamamisshalati.”  Ujar pak kiai sambil memandangi seluruh shaf makmum di belakangnya. Setelah semua shaf terlihat rapi,pak kiai memulai shalat jama’ah maghrib.

                Suara Kiai Maksum terdengar begitu merdu membaca ayat-ayat suci Al-qur’an. Jiwa-jiwa seakan di aliri ayat-ayat yang dibacanya.

***
                Asma-asma tuhan terus terlafadkan dan bergemuruh di dalam masjid itu. Akhirnya do’a dipanjatkan sebagai penutup wirid shalat maghrib itu. Semua anak-anak berlari ke rak Al-Qur’an yang terletak di bagian pojok utara masjid tersebut. Kiai Maksum membalik tubuhnya mengahdap ke sebelah timur. Sedang anak-anak duduk bersilah dengan membentuk lingkaran di depan beliau.
Al-Qur’an yang mereka pegang telah terbuka. Huruf-hurufnya yang berlekuk indah tak henti-henti memancarkan sinar petunjuk bagi pembaca dan pendengarnya.

                Kiai Maksum melirik semua santri yang ada di depannya. Ia meyakinkan diri bahwa mereka telah siap untuk mengaji. Satu persatu santri itu mendekat sama beliau, termasuk Omar. Kali itu Omar mendapay glirin nomor tiga setelah Fais dan Akbar. Bermacam-macam raut wajah yang terlihat. Ada yang kelihatan tegang karena mental mereka yang kurang kuat. Bahkan ada yang suaranya terdengar gerogi ketika mengaji. Tapi tidak dengan Omar. Dia cukup berani dan memilki mental batu. 

Air Mata Ibu

oleh: Sugerman


Ibu menangis. Air mata mengucur di pipinya yang cekung. Ketika itu aku
baru selesai berdzikir setelah mengimaminya. Tasbih ditangannya terus
berputar, bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk
dalam isak dan deraian air mata.  "Kenapa Ibu menangis?" pertanyaan itu terpaksa kusimpan. Aku tidak akan mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai kemungkinan penyebab menangisnya Ibu. Mungkinkah kematian Bapak? Tapi,  bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah lima tahun. Atau karena tanah kuburan Bapak yang tidak mendapat izin untuk dibeton dan hanya boleh didirikan batu nisan. Hal itu tidak akan membuat Ibu menangis. Aku sangat  mengenal Ibu. Ibu paling tidak menyukai hal-hal yang berbau kemewahan. Ibu  selalu ingin menginginkan kesederhanaan.
Kenapa Ibu menangis? Sayang aku sangat jarang pulang dan tidak bertemu Ibu
setiap hari. Hingga aku kurang mengetahui keadaan Ibu belakangan ini.
Mungkin ada suatu persoalan yang membebaninya....


Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya
musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu
lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar
dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu.  Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga selesai berdzikir. Aku sudah selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdoa, mohonkan ampun atas dosa Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga usai.  Aku berdiri dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang shalat dengan tetap
menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di
ruang makan.  Bukankah Ibu selalu khusyuk dalam shalat? Kembali aku dibayang
berbagai kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat,
mengaji dan  berdzikir? Bukankah Ibu paling senang mendengarkan ceramah di
masjid?  Bukankah Ibu juga tidak melewatkan acara wirid? Bukankah Ibu
sudah cukup punya bekal untuk menghadapi segala cobaan...

Tapi kenapa Ibu sampai menangis?  Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami Ibu. Sudah berulang kali.  Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat  shalat maghrib dan isya. Ibu sudah berumur tujuhpuluh tahun lebih. Tujuh orang anak
merupakan  berkah yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah
besar. Aku yang  bungsu sudah duduk di perguruan tinggi. Aneh rasanya kalau Ibu masih  bersedih hati diusianya yang senja ini. Seharusnya Ibu banyak
tertawa dan  bercanda bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalalu
bersamanya  setiap hari?  "Sudah makan Yung?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum  mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus.
"Belum Bu, Ayung menunggu Ibu."
"Ibu sudah makan."
"Kapan? Bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun? Ayolah
Bu, Ayung  sudah rindu ingin makan bersama Ibu."
"Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai
menyenduk nasi  dan mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja
tidak makan  nasi. Ia hanya mengambil panganan dan memakannya."Bagaimana
kuliahmu?"
"Alhamdulillah Bu, berkat doa Ibu."
"Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah
 kuinginkan ini selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan  dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan
bekerja keras  untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Uang kost, transport
dan kebutuhan  kuliah. Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat, kadang
tidak.  Ketika dapat alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan
lain.  Jika tidak, maka mau tidak mau aku aku harus puasa. Hal ini
yang sering  aku alami. Tapi persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepada
siapapun,  termasuk Ibu dan saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak
mengeluh.

"Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan rejeki Bu," selalu kujawab begitu.  Biasanya Ibu tidak akan bertanya lagi setelah itu.  "Bu!" sapaku ketika Ibu terdiam.  "Mmm," jawab Ibu.  "Kenapa seusai shalat tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam mendengar  pertanyaanku.  "Ayung cemas melihat Ibu menangis. Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu membasuh tangan  dan melapnya dengan serbet.  Ibu masih diam, tapi di matanya kulihat airmata mulai berlinang.  Setelah itu berceritalah Ibu. Seminggu yang lalu di surau Balenggek tempat Ibu selalu sembahyang berjama'ah, ada ceramah agama mingguan. Ketika itu penceramahnya datang dari luar daerah. Ibu mengikuti ceramah tentang anak yang berbakti kepada  orang tua dan anak yang shalih..

"Anak-anak yang shalihlah yang menyelamatkan orang tuanya dari api
neraka,  karena doa anak yang shalih sangat didengar oleh Allah swt," kata
ustad. "  Tapi sebaliknya orang tua tidak selamat dari api neraka jika
anak yang  dididiknya tidak mampu menjalankan ibadah dan tidak pandai
membaca  Alquran.

"Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu waktu
itu.  "Ya, apa artinya kita taat tapi tidak membuat anak taat kepada
Tuhannya.  Apalagi sampai tidak bisa sembahyang dan mengaji, anak yang
jauh dari  perintah Allah dan mendekati laranganNya. Maka orang tuanya di
akhirat  akan ditanya tentang anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan
orang tua jika  di akhirat nanti anak mengakui dirinya tidak dididik oleh
orang tuanya  untuk taat beribadah. Tidak pernah menegur, memukul bahkan
menamparnya,  jika lalai menjalankan perintah agama."  Ketika itu Ibu menyadari apa yang sudah dilakukannya selama
ini. Ibu ingat  Jai, Jou, Han dan Fai. Saat itulah Ibu merasa hidup dan
ketaatannya selama  ini tak berarti sama sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan melamun.  Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Alquran di
rumah dan  jarang sembahyang, bahkan tidak pernah sama sekali. Ibu merasa
bersalah  setelah mendengar ceramah itu. Ibu menyadari bahwa ia tidak
mendidik  anak-anaknya sesuai ajaran agama. Ibu selalu tidak tega
memarahi anaknya,  dan melihat anaknya menangis, apalagi kalau ada yang murung dan kesal.


Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat
membaca  Alquran Ibu tidak pernah tega memaksa mereka untuk belajar
Ibupun tidak  marah. Bukankah ini berarti Ibu tidak sanggup mendidik anak.
Bukankah Ibu  gagal menjadi orang tua?  "Tapi Bu, bukankah Ayung selalu taat sembahyang dan membaca Alquran? Dan  Ayung selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya usaha Ayung selama ini Bu?" kataku kepada Ibu.
"Terima kasih Yung, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu
mampu  menjadi imam untuk Ibu. Ibu pun selalu berdoa untukmu. Yang Ibu
pikirkan  adalah kakak-kakakmu yang tidak mampu membaca Alquran dan
tidak  menjalankan shalat."

Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat berjama'ah, walaupun sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di ruamh. Mereka lebih
suka duduk di lapau dan sepertinya tidak menghiraukan panggilan
azan yang  berkumandang dari masjid. Dan Ibu tidak pernah menegur hal
itu. Aku pun  tidak pernah mempersoalkan mereka. Sementara aku merasa takut,
selain  karena lebih kecil juga karena aku takut menca  mpuri urusan mereka.


"Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu yang
taat,  yang mengimami Ibu, walaupun kamu yang terkecil. Entahlah.. Ibu
sudah  semakin tua, ajal sudah di ambang pintu. Ternyata Ibu masih
meninggalkan  banyak pekerjaan yang tidak selesai, ternyata Ibu tidak mampu
mendidik  kalian dan kalian ternyata tidak bisa mendidik diri sendiri,"
kata Ibu  terisak.

Air mataku mengalir tanpa terasa.  "Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu Yung! Kamu tidak  henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu bahwa membuat orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Han kakakku yang nomor  tiga datang dan memarahiku.  "Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu, itu cengeng  namanya. Lihat tuh di lepau orang-orang ramai. Duduklah di sana biar orang  tahu bahwa kita bermasyarakat. Bukan dalam rumah,"  katanya lagi sambil menekan kepalaku.
"Jangan kasar begitu pada adikmu Han. Ia kan baru sele...,"
"Kalau tidak seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu,
yang  duduknya cuma di dapur."  "Tapi ia kan masih kuliah."  "Aah. Ibu selalu membelanya, mentang-mentang ia kuliah. Walaupun
Han tidak  pernah kuliah, Han ini anak Ibu. Sekurang ajar apapun aku yang
melahirkan  Han adalah Ibu. Tapi kenapa dia, Ibu perlakukan berbeda dengan
Han?" Han  menunjuk-nunjuk diriku.  Mendapat serangan kata-kata seperti itu, Ibu menangis lagi. Aku hanya  terdiam terpana ketika Han kemudian berlalu dan tidak menghiraukan tangis  Ibu.  Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku menghapusnya, tapi bagamana dengan kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma, kamarabbayana  saghiraa. Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan.*





Pergi Jauh Sampai Menatap Buah Hati

Oleh: Sugerman

Gerimis hujan malam menyelimuti tubuhku basah kuyub. Ku langkahkan kaki dibawah pepohonan, aku berdiam tiada merangkai kata dalam lisan, dan hanya merenung sebatas angan membisu. Waktu mengizinkan menghela nafas, tubuh gemetar sangat dingin.
Aku berdiri tegak tengah termangu di bawah pohon, ku tatap langit tak berbintang, gelap malam, kepala berputar-putar tak menentu. Tak terasa kuraih tetesan air dari dedaunan hingga membasah wajahku, dingin mulai menyerang. Kedua tangan bersedekap erat-erat. Pikiran mulai melayang seumpama gerimis hujan reda, ku bersemi ditempat yang kering.
Sungguh malam ini bola mata tidak bisa memejamkan, tat kala aku tidak menghindar dari gerimis hujan terus bicara. Apakah aku harus mengupasnya dengan melindungi diri sendiri?.
Bapak Salman dengan sendirinya, dia berjalan kaki dari Singusari menembus Dinoyo. Tas yang digendongnya nyaris putus tali tas itu. Karena selalu ditarik ketika tas tersebut meleleh dari punggungnya, dan tidak membiarkan jatuh.
Setelah lima jam dari perjalannya sudah sampai di Dinoyo serta langsung mendatangi Pondok Pesantren Ainul Yaqin tepat pada jam 08:00 malam, dia pun dihambur-hambur oleh hujan.
“Mas. Kalau dari sini ke Trenggalek arahnya ke mana?” Tanya pak Salman wajah kelihatan pucat.
“Maaf pak, saya tidak tahu. Soalnya saya tidak pernah pergi ke sana” jawabnya dengan jujur.
Harus bagaimana lagi. Pikir pak salman semakin membengkak pusing dan tak bergairah.
“Kalau begitu, terima kasih mas. Saya mau tanyak sama orang lain, mungkin ada  yang tahu. Ayo mas!”
“Tunggu dulu pak! Aku ambilkan payung biar bapak terlindungi dari hujan”
“Ia mas”
Angin menghembus, hujan membanjiri segala hamparan. Aku mulai bertasbih dan memohon kepada tuhan di tengah-tengah kedinginan, agar tercapai akan tujuan yang selalu aku kejar.
“Ini pak payungnya ”
“Kenapa bikin repot-repot!”
“Tidak repot kok”
“Oh ia! Nama mas siapa?”
“Nama saya pak, Erman
Erman!” sebut bapak
“Betul pak” celoteh Erman kepala mengangguk
“Terima kasih mas, aku pergi dulu”
“Sama-sama pak, hati-hati di jalan”
“Baik mas”
Tubuh pak Salman sengaja balik kiri, dan berjalan terus mencari tahu arah yang dituju. Payung diangkatnya ke atas kepala tanpa meghindari hujan yang disertai kilatan petir menyambar pohon, kilatan lebih cepat dari pada kedipan mata, sehingga model jalan pun harus ke kanan kiri.
Dari Pondok Pesantren Ainul Yaqin, dia melaju ke arah timur lewat depan kampus hijau Universitas Islam Malang yang bersebelahan dengan pondok tersebut. Dia sambil menyapa dirinya dalam mengutamakan selamat di tengah-tengah jalan yang selalu penuh kendaraan berlalu lalang, mondar-mandir, pak Salman sampai dipertigaan lampu merah jl. Gajayana malang berusaha berteduh di depan toko, diletakkannya payung yang dibawa pak Salman.
Kemudian dia numpang tanya kepada pemilik toko itu dan seluruh anggota tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki menggetar. Karena diserang dingin.
“Bu!” panggil pak Salman
“Ia pak, ada apa?” sahut ibu pemilik toko sambil meletakkan genggamannya di atas rak barang-barangnya.
“Mungkin ibu tahu daerah Trenggalek” cetus pak Salman
“Ia pak, aku tahu. Kenapa ya pak!” nada ibu berwajah serius.
“Kalau boleh tahu, ke mana arahnya dari sini?” Tanya pak Salman nyaris sama dengan pertanyaan yang ditanyakan kepada mas Erman.
“Ya, dari sini ke barat pak” ungkap ibu, tangan diluruskan ke arah tujuan.
“Owww…” Bapak Salman membalasnya dengan dua bibir memoncung.
“Terima kasih ya bu!” pinta Bapak Salman
“Ia pak, sama-sama” sela ibu dengan arti bahasa yang sama
Hujan menjelang reda, turun gemercik membuat pening dan panik dalam heningku, bibir sudah tidak berarti menuansakan hidup untuk menempuh sebuah deretan kalbu. Betapa malam ini menyicitkan batinku tanpa terasa hampa kendatipun harus turun bersayap.
Aku meraba-raba gelapnya langit tiada berbintang dengan mata berbinar, menatapnya menembus gemercik air hujan sangat dingin. Jejak kakiku kembali menapak jalur yang sama sampai mendekati seorang mahasisiwa yang punya nama Lukman Hakim.
“Mas, mas, mas!” panggil Bapak Salman jalannya makin cepat
“Ya, ada pak!” jawab Lukman Hakim menggertak, tangan meraba dadanya deg-degan
“Mas, kamu asalnya dari mana?”
“Saya berasal dari Dompu pak”
Dompu…!” mulut bapak terbelalak tanpa mangatup
“Bapak sendiri dari mana?” cetus Lukman
“Aku juga dari Bima
Bima!” sebut Lukman, matanya berbinar
 “Iyeh mas!”1 timpal Bapak Salman
Betapa aku kasihan melihat bapak pergi sendirian pada malam ini, raganya diserang cahaya dingin, membelenggu di seluruh jantungnya dengan membawa aura tidak memesona, akan tetapi menyandang derita yang mambuatnya fana.
“Bapak sebenarnya mau ke mana?”2 Tanya Lukman Hakim
saya mau ke Trenggalek mas” sahut Bapak Salman tangan tanpa melepas payung yang digenggamnya.
“Kenapa bapak tidak naik kendaraan?” Lukman Hakim bertanya lagi matanya sambil melirik kebanyak kendaraan.
“Tadi mas, saya dari Dompu naik bus, setelah sampai di Singosari, kondektor mulai meminta karcis kepada seluruh penumpang, kebutulan ketika saya mau ambil dompet di saku (kantong) celana ternyata kosong alias hilang, entah di mana hilangnya dompet itu mas” cerita Bapak Salman dengan singkat.
“Jadi bapak dari sana ke sini pergi jalan kaki!” sela Lukman Hakim dengan nada terkejut.
“Betul mas” singkat bapak
“Subhanallah” ungkap Lukman Hakim
“Ini pak uangku ambil Rp.10,000 buat kebutuhan Bapak
terima kasih mas”
“Sama-sama pak”6
Aku rasa, sekiranya aku berjalan kaki sejauh perjalanan Bapak Salman yang menapaki jalan trotoar itu, kemungkinan besar tidak akan mampu menempuhnya, apalagi sekarang zaman anak manja dan dimanjakan.
Malam semakin larut, petang menyelimuti perut bumi serta langit pun tiada berbintang seiring hembusan angin mendarat dari gunung-gunung yang menumpahkan udara sejuk dan segar.
Kaki mulai beranjak pada jalan trotoar menuju tujuan yang menjadi sasaran utama akan suatu harapan, setelah tiga hari kemudian, Bapak Salman telah sampai ke Pondok Pesantren Al-Amin Trenggalek. Namun selama tiga hari di tengah perjalanan yang sangat menyedihkan dia makan nasi hanya tiga kali, tidak tidur dan hanya menyempatkan diri istirahat saat mau makan di warung, ketika di Trenggalek dia mulai mengetuk pintu kamar buah hatinya.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
“Maulana malik ada ya!”
“Ia, ada Pak”
“Silakan masuk Pak”
Bapak Salman langsung meraih hening anaknya bernama Maulana Malik yang sedang sakit sambil meneteskan air mata yang membawa keromantisan terhadap Maulana Malik. Karena Bapak Salman bisa bertemu dengannya walau diderita oleh nasib yang tidak bisa disangka.[1]