Oleh: Sugerman
Abstrak: Keunikan bahasa
Bima; (1) proses morfofonemik berupa
penghilangan fonem pada konsonan akhir, (2)
setiap nama panggilan kepada yang lebih tua, terjadi proses
perubahan fonem, (3) terdapat konsonan laminobilabial dan laminobilabial
implosif yang
berbeda dengan /b dan d/, keduanya dilambangkan /b/ dan /d/, serta (4) terdapat kluster (konsonan rangkap) pada awal kata. Upaya mempertahankan
keunikan tersebut dapat dilakukan dengan; pemeliharaan
identitas etnis, adaptasi sosial, pemerolehan bahasa, kebiasaan berbahasa,
peningkatan kepekaan linguistis, rasa aman bagi anak, loyalitas berbahasa,
peraturan daerah, kurikulum, dan media massa.
Kata kunci :
keunikan, upaya, peran, dan kebijakan
pemerintah
Sejak
zaman dahulu, bahkan mungkin semenjak zaman manusia diciptakan, bahasa
merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kehidupan umat
manusia. Oleh Karena itu, bahasa sampai saat ini merupakan salah satu persoalan
yang sering dimunculkan dan dicari jawabannya. Mulai dari pertanyaan “Apa itu
bahasa?” sampai dengan “Dari mana asal bahasa itu?”
Banyak
jawaban dari teori yang telah diungkapkan. Akan tetapi, semuanya belum
memuaskan. Mengapa demikian? Karena bahasa senantiasa hadir dan dihadirkan. Ia
berada dalam diri manusia, dalam alam, dalam sejarah, dalam wahyu Tuhan. Ia
hadir karena karunia Tuhan sang pencipta alam raya. Tuhan itu sendiri menampakkan
diri pada manusia bukan melalui Zat-Nya, akan tetapi lewat bahasa-Nya, yaitu
bahasa alam dan kitab suci (Hidayat, 2009: 21).
Bahasa
merupakan karunia Tuhan untuk manusia, maka upaya mengetahuinya merupakan suatu
kewajiban dan sekaligus merupakan amal saleh. Jika seseorang mampu mengetahui
berbagai bahasa, maka ia sudah pasti termasuk orang yang banyak pengetahuannya.
Jika dia banyak pengetahuannya, maka dia termasuk orang yang beriman. Dialah
yang derajatnya diangkat oleh Tuhannya, “Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu” Dengan demikian,
mempelajari bahasa adalah bentuk ibadah yang harus kita lakukan (Hidayat, 2009:
22).
Bahasa
Indonesia adalah bahasa yang terpenting di kawasan republik. Pentingnya peranan
bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang
berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” pernyataan tekad kebahasaan bahwa
kita bangsa Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia dan
bukan pengakuan berbahasa satu.
Bahasa
Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya,
mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tidak terelakkan karena
kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan
perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam
bahasa Indonesia. Pertama-tama kita kenali ragam menurut golongan penutur
bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Kita akan melihat bahwa
ragam-ragam itu bertautan. Ragam yang ditinjau dari sudut pandang penutur dapat
diperinci menurut patokan kedaerahan, pendidikan dan sikap penutur.
Ragam
daerah dalam hal ini bahasa daerah (bahasa Ibu) sejak lama dikenal dengan nama
logat atau dialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat.
Masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya,
sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang daerahnya berdampingan. Bahwa
bahasa Indonesia merupakan yang terpenting diantara beratus-ratus bahasa daerah
(bahasa jawa, sunda, betawi, sasak, mbojo (Bima), samawa, dan lain-lain).
Bahasa
daerah merupakan sebuah identitas dan kekayaan suatu kelompok masyarakat yang
dijadikan sebagai alat tutur dalam berkomunikasi dengan sekelompok masyarakat
bahasa. Ada ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa.” Ungkapan ini berarti tutur
kata seseorang akan menunjukkan bagaimana sifat dan watak orang itu (Sumarsono,
2007: 68). Ketika suatu kelompok masyarakat bahasa sasak bertemu dengan
kelompok sasak, maka bahasa tutur yang digunakan adalah bahasa sasak dan
sebaliknya ketika masyarakat bahasa Bima bertemu dengan masyarakat Bima, maka
bahasa yang digunakan adalah bahasa Bima yang dikenal dengan bahasa Mbojo. Hal yang mendasar dari sekelompok
bahasa suatu masyarakat pasti memiliki keunikan masing-masing. Sebagai sampel,
misalnya bahasa Bima memiliki beberapa keunikan yang sangat berbeda dengan
bahasa lain.
Berdasarkan
dasar pemikiran di atas, maka dalam
penulisan ini penulis akan mendeskripsikan tentang
keunikan-keunikan bahasa Bima (Mbojo), dampak dari keunikan bahasa Bima, upaya pelestarian
bahasa Bima, kondisi geografis daerah Bima, fungsi dan peran bahasa daerah Bima,
bahasa dan budaya, dan kebijakan pemerintah terhadap bahasa daerah di Indonesia.
Keunikan-Keunikan Bahasa Daerah Bima
Hakikat Bahasa
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, memberikan pengertian “bahasa” ke dalam tiga
batasan, yaitu (1) sistem lambang bunyi yang berartikulasi (yang dihasilkan
alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi
untuk melahirkan perasaan dan pikiran, (2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh
suatu bangsa (suku, daerah, negara), dan (3) percakapan (perkataan) yang baik:
sopan santun, tingkah laku yang baik.
Kemudian
menurut pendapat Bloch
dan Trager (dalam
Hidayat, 2009: 22) yang berbunyi “Language
is a system of arbitray vocal symbols by means of which a social group
cooperates” (Bahasa sebagai sebuah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang
arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial untuk berkomunikasi). Oleh karena itu,
menurut hemat penulis bahwa sesungguhnya bahasa merupakan sebuah sistem dan
sebuah kaidah yang berstruktur dan simbol-simbol yang arbitrer dan unik yang
dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul (communication) antara yang satu dengan
yang lainnya.
Definisi
bahasa dari beberapa pakar lain, kalau dibutiri akan didapatkan beberapa ciri
atau sifat yang hakiki dari bahasa, (Chaer, Agustina,
2010: 12-14).
Bahasa
itu bersistem, kata sistem sudah biasa
digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan makna “cara” atau ”aturan”,
seperti dalam kalimat (kalau tahu sistemnya, tentu mudah mengerjakan). Akan
tetapi, dalam kaitan dengan keilmuan, sistem berarti susunan yang teratur
berpola membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi.
Sistem
ketatabahasaan pun begitu juga. Bahasa terdiri dari komponen-komponen yang
secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu kesatuan yang
kohesi dan koherensi. Kalau kita perhatikan sederatan kata-kata berikut.
1)
Amir pergi ke Toko buku
2)
Buku, Amir pergi ke Toko
3)
(Bahasa Bima) Mu lao ta be ku? (mau ke mana)?
4)
(Bahasa
Bima) Ku, lao be ta mu?(tidak bisa
diartikan)
Secara intuisi, sebagai penutur
bahasa Indonesia dan bahasa Bima, akan tahu bahwa kalimat pada deretan (1) dan
(3) adalah sebuah kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Bima karena tersusun
dengan benar menurut pola aturan kaidah bahasa Indonesia dan bahasa Bima.
Sebaliknya pada deretan (2) dan (4), tidak berterima dan bukan kalimat bahasa
Indonesia dan bahasa Bima karena tidak menurut pola aturan atau sistem bahasa
Indonesia dan juga dalam bahasa tidak bisa diartikan ke dalam bahasa ke dua
karena strukturnya tidak sesuai dengan sistem atau kaidah bahasa Bima.
Bahasa itu unik artinya mempunyai ciri
khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ciri khas ini bisa bisa
menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat,
atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikan bahasa Bima adalah penghilangan
konsonan akhir pada setiap nama, kata benda, dan bahkan kata serapan.
Bahasa adalah bunyi. Maka,
seluruhnya dapat dikatakan, bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi. Setiap lambang
bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Misalnya lambang
bahasa yang berbunyi [kuda] melambangkan makna ‘sejenis binatang berkaki empat
yang biasa dikendarai’; dan lambang bahasa yang berbunyi [spidol] melambangkan
konsep atau makna ‘sejenis alat tulis bertinta’.
Bahasa bersifat arbitrer artinya
hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak bersifat wajib, bisa
berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengkonsepi makna tertentu.
Secara konkret, mengapa lambang bunyi [kuda] digunakan untuk menyatakan
‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’ adalah tidak dapat
dijelaskan. Andaikan hubungan itu bersifat wajib, tentu untuk menyatakan
binatang yang dalam bahasa Indonesia itu disebut [kuda] tidak ada yang
menyebutnya <jaran>, <horse>, <paard>, atau dalam bahasa Bima <jara>.
Meskipun lambang-lambang bahasa itu
bersifat arbitrer, tetapi juga bersifat konvensional. Artinya, setiap penutur
suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya.
Misalnya dalam bahasa Bima, lambang oha
‘nasi’ hanya digunakan untuk menyatakan ‘sejenis makanan pokok bagi orang Bima’
dan tidak melambangkan konsep lain, sebab jika dilakukan berarti dia telah
melanggar konvensi itu. Sebagai akibatnya, tentu komunikasi akan terhambat
karena semua orang Indonesia tidak mengenal lambang oha, kecuali orang Bima.
Bahasa itu beragam, artinya,
meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun
karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar
belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam,
baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis, maupun leksikon. Bahasa
Bima yang digunakan oleh masyarakat suku Donggo tidak persis sama dengan bahasa
yang digunakan oleh masyarakat disekitar
gunung Tambora, dialek Kuta di sebelah selatan, dialek Kolo dan dialek
Manggarai di Flores Barat dan seterusnya.
Karakteristik
bahasa seperti yang dibicarakan di atas, yang menjadi indikator akan hakikat
bahasa adalah menurut pandangan linguistik umum (general linguistics) yang melihat bahasa sebagai bahasa. Menurut
pandangan sosiolinguistik bahasa itu juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi
sosial dan sebagai alat mengidentifikasikan diri.
Keunikan Bahasa Bima
Bahasa
Bima memiliki keunikan-keunikan yang fantastis, identitasnya sejalan dengan keunikan
bahasa di dunia, ada beberapa
hal yang penulis deskripsikan tentang bahasa Bima yaitu, mengapa bahasa Bima itu unik?, bagaimana alur berpikir dikatakan bahasa
Bima itu unik?. Dari pertanyaan sederhana ini, penulis akan mendeskripsikan
keunikan-keunikan bahasa bima yang penulis akronimkan sebagai BB.
Di
bawah ini penulis mendeskripsikan
tentang keunikan-keunikan bahasa Bima
yang penulis akronimkan dengan istilah (BB) yaitu sebagai berikut.
1.
Setiap
konsonan akhir pada sebuah kata pasti dihilangkan
Umumnya bahasa Bima
(tidak berakhir dengan konsonan pada kata) kecuali pada para penutur yang
berpendidikan akibat pengaruh bahasa lain. Penghilangan konsonan akhir ini terjadi pada nama
seseorang yang memiliki konsonan pada akhir kata dan juga terdapat pada
kata-kata serapan dari bahasa kedua atau bahasa lain.
Dalam bahasa Bima untuk setiap nama yang diakhiri oleh
konsonan, akan terjadi penghilangan fonem. Akan tetapi, apabila sebuah nama
diakhiri oleh vokal maka, tidak ada penghilangan
fonem akhir, misalnya nama Fahruroji akan tetap dilafalkan Fahruroji, Amri akan tetap dilafalkan
Amri, dan seterusnya.
Perhatikan contoh di bawah ini.
a
Firdaus akan
menjadi Firdau, konsonan (s) dihilangkan
b
Ahmad akan
menjadi Ahma, konsonan (d) dihilangkan
c
Bakar akan
menjadi baka, konsonan (r) dihilangkan
d
Hasan akan
menjadi hasa, konsonan (n) dihilangkan
e
Ismail akan
menjadi Ismai, konsonan (l) dihilangkan
f
Mesin akan
menjadi mesi, konsonan (n) dihilangkan
g
Astronot akan
menjadi astrono, konsonan (t) dihilangkan
Proses morfofonemik berupa penghilangan fonem atau segmen dalam bahasa Bima terjadi karena kosakata daerah yang selalu diujar
dengan huruf mati. Kemudian hal lain dari penghilangan fonem akhir pada setiap
kata yang diakhiri oleh konsonan. Kasus ini disebut reduksi artinya peristiwa
pengurangan fonem dalam suatu kata. Gejala reduksi dibedakan menjadi tiga yaitu
aferesis,
sinkop, dan apokop (Muslich, 2010: 106). Akan tetapi, yang berkaitan dengan
bahasa Bima yaitu penghilangan fonem pada akhir kata, yang disebut apokop.
2.
Setiap nama panggilan,
kepada yang lebih tua (di lia kai atau panggilan penghormatan kepada yang lebih tua) akan terjadi perubahan fonem.
Perhatikan contoh di bawah ini
a
Ismail
dipanggil Mo’i,
b
Bakar dipanggil
Beko,
c
Hasan dipanggil Heso,
d
Dan seterusnya.
Pembahasan.
a. Nama
Ismail dipanggil Mo‘i, nama
(Ismail) memiliki 6 fonem
(/i/,/s/,/m/,/a/,/i/,/l/) untuk di
lia kai (panggilan
kehormatan kepada yang lebih tua) maka akan dipanggil mo’i. Hal ini terjadi karena dalam fonem /m/, /a/, /i/, melalui
proses perubahan fonem, maka fonem /a/ menjadi fonem /o/, sehingga Ma’i
dipanggil Mo’i.
b. Nama
Bakar dipanggil Beko, nama (Bakar) memiliki 5 fonem (/b/, /a/, /k/,
/a/, /r/), untuk di lia kai (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua)
maka akan dipanggil Beko. Hal ini
terjadi karena dalam fonem (/b/,/a/, /k/, /a/), melalui proses perubahan fonem,
maka fonem /a/ menjadi /e/ dan fonem /a/
menjadi /o/, sehingga Baka dipanggil Beko.
c. Nama
Hasan dipanggil Heso, nama (Hasan)
memiliki 5 fonem (/h/, /a/, /s/, /a/, /n/), untuk
di
lia kai (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua) maka akan
dipanggil heso. Hal ini terjadi karena dalam fonem (/h/, /a/, /s/,
/a/), melalui proses perubahan fonem, maka fonem /a/ menjadi /e/ dan fonem /a/
menjadi /o/, sehingga Hasa dipanggil Heso.
Berdasarkan beberapa contoh
perubahan fonem di atas, menurut hemat
penulis disebabkan oleh 3 (tiga) faktor sebagai berikut.
1.
Adanya perubahan
fonem yang disebut sebagai modifikasi vokal yang fonemis artinya modifikasi yang
menyebabkan fonem vokal tertentu berubah menjadi fonem vokal yang lain
(Verhaar, 2010: 81). Berdasarkan pendapat tersebut menurut
hemat penulis, dapat disimpulkan
sebagai berikut; Ismail (Ma’i) dilafalkan Mo’i, di mana bunyi /a/ dilafalkan menjadi bunyi /o/ sehingga
menyebabkan vokal /a/ menjadi bunyi vokal /o/.
kata Bakar (Baka) dilafalkan Beko dan Hasan (Hasa) dilafalkan Heso, di mana bunyi vokal /a/ dilafalkan menjadi bunyi /e/ sehingga
menyebabkan bunyi vokal /a/ menjadi bunyi vokal /e/ dan bunyi vokal /a/
dilafalkan menjadi bunyi /o/ sehingga menyebabkan bunyi vokal /a/ menjadi bunyi
vokal /o/.
2.
Adanya perubahan
bentuk kata yang disebut sebagai analogi yaitu suatu bentukan bahasa dengan
meniru contoh sudah ada. Dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang,
pembentukan kata-kata baru sangat penting sebab bentukan kata baru akan
memperkaya perbendaharaan bahasa (Muslich, 2010: 101). Misalnya dalam bahasa
Indonesia kita mengenal kata putra
dan putri. Kedua bentuk kata ini
terdapat perbedaan fonem yaitu fonem /a/ dan /i/. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai
fungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kemudian,
dalam bahasa Bima tidak membedakan jenis kelamin, akan tetapi hanya sebagai
panggilan kehormatan kepada yang lebih tua yang tidak membedakan fungsi. Namun,
membentuk kata baru yang menyebabkan terjadinya perubahan fonem seperti contoh
yang diuraikan di atas.
3.
Perubahan bentuk
kata, dari nama (1) Ismail menjadi Mo’i, (2) Abakar menjadi Beko, dan
(3) Hasan menjadi Heso, dalam hal ini perubahan fonemnya
(1) /a/ menjadi /o/, (2) /a/ menjadi /e/ dan /a/ menjadi /o/, dan (3) /a/
menjadi /e/ dan /a/ menjadi /o/, dapat membedakan fungsi yaitu dapat menjaga
etika berbahasa dan bertutur kepada yang lebih tua.
3. Terdapat dua buah konsonan
laminobilabial dan laminobilabial
implosif yang
berbeda dengan /b dan d/. Keduanya dilambangkan dengan /b dan d/.
Konsonan laminobilabial merupakan
konsonan yang terjadi atas penggabungan dari lamino dan bilabial yang
pada proses artikulasinya, lamino
yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini daun lidah
menempel pada gusi seperti bunyi /t/ dan/d/, sedangkan bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir bawah,
bibir bawah merapat pada bibir atas, yang termasuk bunyi bilabial ini adalah bunyi /b/, /p/,
dan /m/. Sedangkan laminobilabial implosif merupakan
penggabungan dari dua konsonan; lamino
yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini daun lidah
menempel pada gusi seperti bunyi /t/ dan/d/, sedangkan bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir bawah,
bibir bawah merapat pada bibir atas, yang termasuk bunyi bilabial ini adalah
bunyi /b/, /p/, dan /m/. Jadi, konsonan laminobilabial implosif artinya bunyi
hambat yang terjadi dengan aliran udara yang diisap, seperti bunyi /b/ dan /d/.
Sebagai pembanding, perhatikan huruf dalam bahasa Arab, misalnya dalam
huruf-huruf suara (vokal) pengganti fathah,
kasrah, dan dammah, dipergunakan
a, i, u seperti biasa. Kecuali bunyi panjang atau maddah masing-masing diberi tanda sempang di atasnya yaitu a, i,
dan u. Akan tetapi, dalam bahasa Bima pemberian tanda sempang di atas konsonan
/b/ dan /d/ tidak bermakna sebagai bunyi panjang seperti dalam bahasa Arab,
tetapi memiliki makna sebagai bunyi hambat yang terjadi dengan aliran udara
yang diisap.
Perhatikan contoh di bawah ini.
a. Kata /baba/ ‘orang Cina peria; /baba/ ‘kakak atau abang’,
sedangkan
/baba/ ‘mengikat seluruh tubuh’.
b. Kata /didi/ ‘memesan’; sedangkan /didi/
‘menekan, membenam, dan lusa (kemarin)’.
Dari
beberapa contoh di atas, kalau dilihat dari kajian semantik yang berkaitan
dengan jenis makna, maka penulis berkesimpulan bahwa kata (baba) dengan (baba) dan
kata (didi) dengan kata (didi) merupakan homografi yang mengacu
pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan
maknanya tidak sama. Dasar pemikiran penulis menyimpulkan di atas karena
menurut analisis penulis tentang bahasa Bima pada fonem /b/ terdiri dari dua
alofon [b] dan [b] sedangkan fonem /d/ memiliki dua
alofon [d] dan [d].
4. Terdapat kluster
(konsonan rangkap) pada awal kata.
Kluster adalah dua konsonan yang dibaca satu bunyi. Oleh
karena itu, dalam bahasa Bima kluster ini biasanya selalu muncul pada awal kata
yang berbeda dengan bahasa lain yang kadang muncul di awal kata, di tengah
kata, maupun di akhir kata.
Perhatikan contoh di bawah ini.
a.
mb
seperti pada mbai, artinya ‘busuk’
b.
nc
seperti pada ncai artinya ‘jalan’
c.
nd
seperti pada ndore artinya
‘berbaring’
d.
ngg
seperti pada nggala artinya ‘bajak’
e.
nt
seperti pada ntau artinya ‘kepunyaan’
f.
ng
seperti pada kata ngolu artinya ‘menang’
Bahasa Bima Sekilas Pintas
Bahasa ini dikenal di daerah dari
kalangan penuturnya dengan sebutan “Nggahi
Mbojo”. Nggahi ‘bahasa’ atau ‘bicara’ atau ‘ucapan’ dan Mbojo
diterjemahkan dari
kata ‘Bima’. Bahasa ini
terdapat dan dipakai oleh masyarakat di Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten
Dompu yang berada di Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB) dan di pesisir
pantai Flores Barat (Manggarai/Ruteng) Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan penutur
sekitar 500.000 jiwa. Terdapat empat buah
dialek yang mencolok
pada bahasa Bima yaitu
dialek Donggo di sekitar gunung Tambora, dialek Kuta di sebelah selatan, dialek
Kolo dan dialek Manggarai di Flores Barat.
Upaya Mempertahankan Bahasa Bima
Bahasa
adalah penciri utama suatu budaya yang membedakan budaya itu dengan budaya
lainnya. Tradisi yang diekspresikan dengan tindakan nyata antara bangsa yang
satu dengan bangsa yang lain boleh saja sama, tetapi ketika kita mendengar
“bahasa” yang terucap, akan segera tampak perbedaannya. “Bahasa Menunjukan
Bangsa” demikian kata sebuah pepatah.
Menghidupkan bahasa daerah tidak berarti etnosentris. Sebagai Warga Negara
Indonesia, kita diharapkan untuk dapat memakai Bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Namun, bukan berarti kita melupakan bahasa daerah. Pemilihan pemakaian
antara pemakaian bahasa Indonesia dengan pemakaian bahasa daerah dapat
disesuaikan dengan konteks yang ada. Dengan demikian, bahasa daerah dapat tetap
sejalan dengan bahasa Indonesia serta dapat menjaga kelangsungan bahasa daerah
dari kepunahan. Untuk mempertahankan keberlangsungan bahasa daerah
tidaklah mudah, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Diperlukan kemauan
dari pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk mempertahankan bahasa yang
terancam punah.
Usaha yang dapat diupayakan untuk mencegah kepunahan
bahasa antara lain dengan mengolah bahasa daerah yang terancam punah menjadi
buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal sehingga
dikenal generasi muda. Selain itu, bahasa daerah juga dapat dipakai dalam
percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama kompleks
perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama lembaga
pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah nama dalam
bahasa Indonesia. Menghidupkan bahasa daerah tentu saja tidak hanya sekedar
membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama
jalan raya, tetapi dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan
menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.
Pemerintah sendiri telah menunjukan keberpihakannya
dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. Selain
itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan membuat
bidang khusus untuk perlindungan bahasa Indonesia dan daerah. Perlindungan itu
akan lebih mengarah kepada bahasa daerah dan sastra lisan yang hampir punah.
Ada dua langkah yang akan diterapkan Pusat Bahasa untuk perlindungan, yaitu
dokumentasi dan revitalisasi. dokumentasi berbentuk pengumpulan kosa
kata dan merekamnya, kemudian revitalisasi untuk menghidupkan kembali dengan
cara mengadakan berbagai pagelaran festival seni.
Bahasa daerah khusus bahasa Bima adalah
salah satu warisan budaya non-benda bangsa Indonesia
yang mengandung peristiwa historis dan kultural dibalik makna-maknanya.
Menurut Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata. Junus Satrio Atmojo (9/1/2010), sudah sekitar 15 bahasa
daerah yang sudah punah. Dan menurut Multamia RMT Lauder dari Departemen
Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (13/6/2010),
ada sekitar 169 bahasa daerah yang kini terancam punah.
Indonesia sekarang terdiri dari 33
provinsi, mempunyai 17.504 buah Pulau dan 7.870 diantaranya telah
mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Terdapat 1.128 suku
bangsa dan 750 bahasa daerah. Alangkah indahnya keberagaman seni dan
tradisi Indonesia. Ribuan sumber mata air tradisi telah mengilhami
nasionalisme keindonesiaan founding
fathers negeri ini. Di Indonesia yang kaya akan
keragaman budaya, terdapat 742 bahasa daerah. Namun, hanya 13 bahasa yang
memiliki penutur di atas satu juta. Tiga belas bahasa itu adalah bahasa Jawa,
Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar,
Banjar, Bima, dan Sasak (Kompas, 14 November 2007). Semakin banyak
jumlah penutur dan semakin sering penutur menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah,
semakin kuat ketahanan bahasa itu. Dengan demikian, semakin jauh bahasa
tersebut dari kepunahan. Dan sebuah peringatan besar telah
ditabuh ketika UNESCO melalui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaannya
mengeluarkan penelitiannya. Mereka menyebut sekitar 700 bahasa daerah di
Indonesia terancam punah pada akhir abad 21. Kepunahan ini terjadi karena
berbagai faktor, antara lain perkawinan campur dengan suku lain, urbanisasi,
dan bencana alam.
Tentu kita tidak ingin kehilangan
begitu banyak kekayaan budaya bangsa. Bahasa daerah harus tetap kita
lestarikan, menjadi bahasa yang dikuasai selain bahasa Indonesia dan bahasa
asing lainnya. Oleh karena itu, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari
pemerintah. Terpinggirnya bahasa daerah juga disebabkan karena terjadinya
pertarungan budaya sebagai dampak dari perkembangan budaya yang tumbuh
sedemikian cepat.
Salah satu cara melestarikan bahasa
daerah adalah dengan cara memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum
pendidikan. Tidak hanya ditingkat pendidikan sekolah dasar, namun juga tingkat
pendidikan di atasnya. Guru yang mengampu mata pelajaran ini, juga harus
benar-benar kompeten di bidangnya. Bukan merupakan guru ‘comot’ dari mata
pelajaran lainnya.
Akhirnya, untuk melestarikan bahasa
daerah Bima bukan hanya tugas yang diletakkan di bahu negara, namun merupakan
tanggung jawab kita bersama. Buang jauh-jauh pikiran ‘kampungan’ atau ‘katrok’
ketika berbicara dalam bahasa daerah. Buang persepsi dalam diri, merasa modern
dan hebat ketika mengaku tidak lagi bisa berbahasa daerah. Tegaskan dalam diri,
menguasai bahasa daerah berarti cinta budaya bangsa, mencintai
budaya sendiri adalah langkah awal mengenal jati diri. bangga menjadi bangsa Indonesia
yang sangat beragam.
Pihak yang melakukan upaya dapat dibedakan menjadi
dua, yakni internal maupun eksternal. Yang dimaksud dengan pihak internal
adalah orang atau lembaga yang berupaya mempertahankan penggunaan suatu bahasa
yang berasal dari komunitas tutur. Sementara pihak eksternal adalah orang atau
lembaga yang berada di luar masyarakat tutur. Bentuk upaya pemertahanan dalam artikel ini dimaknai sebagai usaha, yang bersifat nyata atau
abstrak, yang dilakukan sehingga penggunaan bahasa tertentu dapat lebih eksis
daripada bahasa lain. Menurut (Maman, 2009), upaya yang dapat
dilakukan untuk mempertahankan bahasa daerah Bima adalah sebagai berikut
1) Pemeliharaan
identitas etnis
Pemeliharaan identitas etnis adalah upaya yang
dilakukan oleh masyarakat tertentu untuk mempertahankan adat budaya yang mereka
miliki. Pemeliharaan identitas etnis dapat diwujudkan dengan dua model; yakni (1) hanya melaksanakan adat budaya milik
sendiri dan mengabaikan adat budaya masyarakat lama, dan (2) melaksanakan adat budaya milik komunitas
sendiri, tetapi juga ikut serta dalam pelaksanaan adat budaya masyarakat
setempat.
Model pertama, masyarakat pendatang menjaga jarak
dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini dapat saja menimbulkan konflik
dengan masyarakat lama, tetapi dapat juga tidak. Hal tersebut sangat
dipengaruhi atau ditentukan oleh karakter masyarakat
setempat. Contoh pemeliharaan identitas etnis ini adalah penggunaan bahasa
daerah tertentu (Bima) ketika
berada di kalangan pengguna bahasa yang lain. Sebaliknya model kedua, meminta masyarakat pendatang
untuk lebih menunjukkan toleransinya. Hal ini mengakibatkan bertambahnya
kegiatan yang harus dilakukan oleh masyarakat pendatang, ketika terjadi
interaksi budaya dengan budaya masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah
masyarakat Hindu di Bima dan Dompu yang ikut
melakukan “sedekah” menjelang Idul Fitri.
2) Adaptasi
sosial
Upaya ini dilakukan oleh masyarakat pendatang sebagai
wujud toleransi terhadap budaya masyarakat setempat. Adaptasi dimaknai sebagai
terjadinya penggabungan budaya dari masyarakat pendatang dan masyarakat
setempat. Adaptasi tersebut dapat bersifat parsial maupun mutlak. Adapatasi
yang bersifat parsial berbentuk penambahan kegiatan adat budaya pada masyarakat
pendatang. Penambahan itu dilakukan dengan mengambil sebagian adat dari masyarakat
lama. Contohnya, mengawinkan
dengan budaya masyarakat lama. Penggabungan
tersebut dapat mengakibatkan munculnya wujud budaya yang baru. Wujud budaya
merupakan bentukan baru yang berbeda dengan adat setempat maupun adat dari kaum
pendatang. Biasanya penggabungan ini dilakukan atas inisiatif masyarakat
pendatang. Bagi masyarakat yang lama hal ini dianggap sebagai pergeseran budaya
akibat pertemuan dua budaya, dan bentuk toleransi terhadap warga baru.
3) Pemerolehan
bahasa
Salah satu upaya pemertahanan yang bersifat linguistik
adalah pemerolehan bahasa. Orang tua menggunakan bahasa daerah etnis orang tua
sebagai “bahasa ibu” pada anak-anak mereka. Berbagai faktor yang
melatarbelakangi keadaan tersebut. Dengan
menggunakan bahasa daerah menyebabkan anak-anak harus menguasai lebih dari satu
bahasa, ketika nantinya mereka berinteraksi dengan masyarakat pengguna bahasa
yang lain. Namun, seringkali
itu tidak menjadi hambatan yang terlalu penting daripada untuk menjaga
persatuan dan keutuhan komunitas.
4) Kebiasaan
berbahasa
Jika pada pemerolehan bahasa, upaya tersebut bersifat
genetis, artinya, terjadi pada generasi yang berbeda; maka pada bagian ini
dapat dilakukan pada generasi yang sama. Kebiasaan berbahasa ini lebih
menekankan pada aspek untuk kemudahan memproduksi dan memahami unsur bahasa.
Selain itu juga, ada
anggapan bahwa nilai rasa penggunaan bahasa tertentu lebih sesuai dengan
keinginan pengguna daripada jika harus menggunakan bahasa yang dirasanya kurang
familier. Dengan kata lain, kebiasaan ini dilakukan untuk mengakrabkan para
partisipan tuturnya
5) Peningkatan
kepekaan linguistis
Yang dimaksud dengan peningkatan kepekaan linguistis
adalah upaya yang dengan sengaja dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas rasa
linguistis. Hal ini mudah ditemui pada kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
tutur bahasa Indoensia ketika berada di luar negeri. Selain mereka bermaksud
untuk menimbulkan rasa sebangsa, mereka juga memberikan pembelajaran pada
anak-anak mereka yang lahir atau tinggal di luar negeri sejak kecil. Penggunaan
bahasa Indonesia diharapkan dapat membuat anak-anak mereka mengenal dan
meningkatkan kemahiran berbahasa Indonesia.
6) Rasa aman
bagi anak
Upaya lain dilakukan dengan maksud untuk memberikan
rasa aman bagi anak-anak dari masyarakat tutur tertentu ketika berada di
komunitas tutur bahasa lain.
Sebagai contoh, anak-anak yang belum mampu menguasai bahasa kedua akan
ketakutan atau menarik diri ketika diajak menggunakan bahasa lain. Sementara
jika orang tua atau guru menggunakan bahasa daerah yang
dikuasainya, maka anak akan mempunyai pemahaman yang selanjutnya merasa aman
karena merasa tidak berada dalam lingkungan yang asing.
7) Loyalitas
berbahasa
Upaya ini biasanya bersifat internal dari dalam diri penutur.
Kebanggaan sebagai bagian dari etnis tertentu menyebabkan penggunaan bahasa
yang berbeda dengan bahasa dalam komunitas setempat. Sebagai contoh adalah
bahasa Indonesia yang digunakan oleh seseorang yang berbicara di depan forum
internasional, walaupun sebenarnya dia mampu menggunakan bahasa Inggris.
8) Peraturan Daerah
Dalam upaya pelestarian budaya, beberapa daerah
di Indonesia mengeluarkan peraturan daerah untuk menggunakan bahasa daerah
dalam wacana-wacana tertentu. Hal ini tentu saja dapat meningkatkan peran
bahasa daerah dalam penggunaannya. Sebagai contoh, penggunaan bahasa Jawa, bahasa Sunda, ataupun
bahasa Bima yang diatur oleh peraturan daerahnya.
9) Kurikulum
Memasukkan pembelajaran bahasa tertentu ke dalam
kurikulum sekolah merupakan cara yang cukup efektif untuk mempertahankan bahasa
tertentu. Selain subjek didik yang mempelajari sejak usia muda, tetapi juga mendorong orang tua untuk membantu dan
membimbing anak-anak untuk menguasainya. Dengan demikian, bahasa tersebut dapat
lebih bertahan daripada bahasa yang lain.
Hanya saja perlu diwaspadai tentang materi yang
diberikan. Banyak pembelajaran bahasa tertentu (daerah) yang hanya bersifat
untuk memenuhi syarat pembelajaran bahasa tetapi tidak memberikan keterampilan
berbahasa yang sebenarnya. Materi yang diberikan bersifat pengetahuan bahasa,
buka ketererampilan berbahasa. Jika hal ini dilakukan terus menerus dan tidak
diperbaiki maka bahasa daerah tersebut juga hanya menjadi pelajaran yang
bersifat hafalan saja tetapi tidak pernah diterapkan.
10) Media massa
Upaya yang cukup efektif dan efisien juga dapat
dilakukan dengan menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik. Upaya
ini telah dilakukan untuk pemertahanan bahasa Bima. Program-program
radio di Bima, banyak menggunakan bahasa Bima. Hal ini tentu membuat pengguna lebih akrab dan
merasa familiar dengan penggunaan bahasa Bima.
Kondisi Geografis Daerah Bima
Sejarah Singkat Daerah Bima
Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli
1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang
menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian
ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah
kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a (batu pahat), Wadu
Nocu (batu tumbuk), Wadu Tunti (batu
bertulis) di desa Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah
lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas
bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan
penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou
Mbojo (orang Bima), Dou Donggo (orang Donggo) yang mendiami kawasan
pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang
berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur
dan Maluku.
Kondisi geografis daerah Bima
a.
Letak
Kabupaten Bima merupakan salah
satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur
dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari Kota Bima).
Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi 117°40”-119°10” Bujur Timur
dan 70°30” Lintang Selatan.
b.
Topografi
Secara topografis wilayah
Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi bertekstur
pegunungan sementara sisanya (30%) adalah dataran. Sekitar 14% dari proporsi
dataran rendah tersebut merupakan areal persawahan dan lebih dari separuh
merupakan lahan kering. Oleh karena keterbatasan lahan pertanian seperti itu
dan dikaitkan pertumbuhan penduduk kedepan, akan menyebabkan daya dukung lahan
semakin sempit. Konsekuensinya diperlukan transformasi dan reorientasi basis
ekonomi dari pertanian tradisional ke pertanian wirausaha dan sektor industri
kecil dan perdagangan. Dilihat dari ketinggian dari permukaà n laut, Kecamatan
Donggo merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut,
sedangkan daerah yang terendah adalah Kecamatan Sape dan Sanggar yang mencapai
ketinggian hanya 5 m dari permukaan laut. Di
Kabupaten Bima terdapat lima buah gunung, yakni:
1. Gunung Tambora di Kecamatan Tambora
2. Gunung Sangiang di Kecamatan Wera
3. Gunung Maria di Kecarnatan Wawo
4. Gunung Lambitu di Kecamatan Lambitu
5. Gunung Soromandi di Kecamatan Donggo, merupakan gunung
tertinggi di wilayah ini dengan ketinggian 4.775 m.
c.
Batas
wilayah
Kabupaten Bima terletak di
bagian timur Pulau Sumbawa dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Fungsi dan Peran Bahasa Daerah Bima
Fungsi Bahasa Daerah Bima
Salah
satu aspek penting dari bahasa ialah aspek
fungsi bahasa. Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi,
bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama dari bahasa. Secara tradisional
kalau ditanyakan apakah bahasa itu, akan dijawab bahwa bahasa adalah alat untuk
berinteraksi, dalam arti untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
perasaan.
Menurut Kinneavy (dalam Chaer, dkk, 2010:
15) fungsi bahasa memiliki lima fungsi dasar yakni expression, information, exploration, persuassion, dan entertainment. Kemudian Fishman (dalam Chaer dkk, 2010: 15)
menyatakan bagi konsep sosiolinguistik bahwa memiliki fungsi “who speak what language to whom, when and to
what end”, fungsi-fungsi bahasa itu antara lain, dapat dilihat dari sudut
penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.
Bangsa
Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnis di tanah air. Setiap kelompok etnis
mempunyai bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam komunikasi antar etnis
atau sesama suku. Perencanaan bahasa nasional tidak bisa dipisahkan dari
pengolahan bahasa daerah, demikian pula sebaliknya. Itulah sebabnya, di samping mengolah
bahasa nasional, politik bahasa Nasional pun berfungsi sebagai sumber dasar dan
pengarah bagi pengolahan bahasa daerah yang jumlahnya ratusan dan tersebar di
seluruh pelosok nusantara. Hal itu sejalan dengan UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 di
dalam penjelasannya, dikatakan: “Bahasa daerah itu adalah merupakan bagian dari
kebudayaan Indonesia yang hidup; bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan
nasional yang dilindungi oleh negara”, yang fungsinya sebagaimana disimpulkan
oleh peserta Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975 di Jakarta, yakni: “Di
dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa,
Bali, Madura, Bugis, Makassar, Bima dan Batak berfungsi sebagai:
1. Lambang
kebanggaan daerah,
2. Lambang
identitas daerah, dan
3. Alat
perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
Berdasarkan
beberapa konsep yang diungkapkan oleh ahli linguistik tentang fungsi bahasa,
maka penulis simpulkan bahwa fungsi utama dari semua bahasa, khususnya bahasa
Bima yakni digunakan sebagai alat komunikasi baik lisan maupun tulisan. Dalam UUD 1945
dinyatakan juga bahwa bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan
yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai oleh Negara karena ia
merupakan bagian daripada kebudayaan bangsa yang hidup, Badudu (dalam Sumarsono, 2000: 175).
Bahasa
daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui
oleh Negara. UUD 1945 pasal
32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres
Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung
bahasa nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa
daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan kosakata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia
mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa
Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya.
Peran Bahasa Daerah Bima
Persatuan
bangsa Indonesia terbentuk bukan dari keseragaman, tetapi terbentuk dari
keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika selalu melekat di hati setiap
warga negara Indonesia, karena dengan kebhinekaan inilah bangsa Indonesia ada.
Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menyangkut suku-suku, ras-ras, dan agama-agama
saja, tetapi juga mencakup bahasa, karena pada hakikatnya bahasa melekat pada
diri manusia. Sementara manusia itu sendiri merupakan pelaku kebudayaan.
Apa
jadinya apabila bangsa Indonesia ini terbentuk dari keseragaman budaya,
adat-istiadat, agama, bahasa, dan keseragaman yang lain. Ada pendapat menarik
dari Cuellar (dalam Hidayat, 2009: 40), yaitu setiap
usaha yang memaksakan keseragaman atas kebhinekaan ini merupakan tanda-tanda
awal kematian. Pernyataan ini memang terdengar ekstrim, tetapi bukannya tanpa
alasan, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda satu sama
lain. Maka, apa jadinya ketika dunia ini semuanya sama, tidak ada perbedaan dan
tentunya tidak ada warna warni kehidupan. Lebih lanjut dikatakan bahwa khusus dalam
hubungannya dengan keberagaman bahasa dikatakan bahwa kebhinekaan bahasa (linguistic
diversity) merupakan aset kemanusiaan yang tidak ternilai harganya, dan
hilangnya sebuah bahasa merupakan pemiskinan (impoverishment) akan
sumber pengetahuan dan pikiran masyarakatnya.
Bahasa dan Budaya
Hubungan Bahasa dan Budaya
Ada berbagai teori mengenai hubungan
bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi ada pula yang menyatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai
hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Chaer, dkk, 2010: 165) bahasa bagian dari
kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang
subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan. Namun,
pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya
sama tinggi.
Masinambouw (dalam Chaer,
dkk, 2010: 165) menyatakan bahwa bahasa
(istilah beliau kebahasaan) dan
kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu
adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka
kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya
interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan
kebudayaan seperti anak kembar siam, dua jenis fenomena sangat erat sekali
bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi
yang lain sebagai sistem kebudayaan.
Sebagai contoh dalam
bahasa Bima yang membuktikan bahwa bahasa memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan. untuk di lia kai (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua),
seperti contoh yang penulis deskripsikan sebelumnya, selain karena persoalan fonologi dan morfologi
bahasa, itu juga disebabkan karena budaya Bima yang dikenal dengan tingkat
kesopanan yang tinggi sehingga istilah di lia kai merupakan bagian dari kebudayaan Bima yang
masih melekat sampai saat ini.
Fenomena antara Bahasa dan Budaya
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang
dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar
persona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya
terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat
absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada
tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Oleh karena itu,
bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu
dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik (Chaer, 2010:
286) menyatakan bahwa bahasa itu bersifat unik
dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya,
maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat
digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Misalnya kata ikan dalam bahasa
Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan
sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam
bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging
yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti
tahu dan tempe sering juga disebut iwak.
Begitu juga dalam bahasa Bima, misalnya Uta (Ikan) bukan hanya binatang yang
hidup dalam air. Akan tetapi, Uta tersebut bukan hanya ikan laut
melainkan juga daging yang digunakan juga sebagai lauk. Ada juga istilah atay frase Uta mbeca (Sayur mayur) yang menambah makna dari istilah uta tadi.
Mengapa hal ini bisa terjadi? semua ini
karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan
dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yang
tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu,
kata rice pada konteks tertentu
berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti
beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka
dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyarakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata
yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris
pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan
jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia
membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda
disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti
kakak dan bisa juga berarti adik.
Kebijakan Pemerintah terhadap Bahasa Daerah di Indonesia
Dalam UUD
1945 Bab XV Pasal 36 Bahasa Daerah yangg masih dipakai sebagai alat hubungan
yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan
dipelihara oleh Negara. Kemudian pasal
37 ayat 1 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa
bahan kajian bahasa
mencakup bahasa Ibu, bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan pertimbangan.
Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya
diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara
menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” dan
juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan,
bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional merupakan sumber
pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia,
antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosa kata.
Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah.
Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling
melengkapi dalam perkembangannya.
Bahasa
daerah dan Bahasa Indonesia yang digunakan secara bergantian menjadikan
masyarakat Indonesia menjadi dwibahasawan. Menurut Mackey dan Fishman (Chaer,
2010: 84) kedwibahasaan diartikan sebagai “...penggunaan dua bahasa oleh
penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian”.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka
isi artikel nonpenelitian ini dapat penulis simpulkan, bahwa Bahasa Bima
memiliki keunikan-keunikan yang fantastis yang identitasnya sejalan dengan
keunikan-keunikan bahasa di dunia. Keunikan sebuah bahasa akan menggambarkan
ciri khas dan karakteristik sebuah daerah. Keunikan bahasa Bima yaitu adanya
proses morfofonemik berupa penghilangan fonem atau segmen pada konsonan akhir baik nomina, pronomina maupun numeralia yang terjadi dalam bahasa Bima karena kosakata daerah yang selalu diujar
dengan huruf mati dan disebut juga gejala reduksi yang namanya apokop.
Kemudian Setiap nama panggilan, kepada yang lebih tua (di lia kai/ panggilan penghormatan kepada yang lebih tua)
akan terjadi perubahan fonem. Perubahan fonem ini dapat dikatakan sebagai modifikasi vokal.
Dalam UUD
1945 Bab XV Pasal 36 Bahasa Daerah yangg masih dipakai sebagai alat hubungan
yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan
dipelihara oleh Negara. Kemudian pasal
37 ayat 1 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa
bahan kajian bahasa
mencakup bahasa Ibu, bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan pertimbangan.
Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya
diakui oleh Negara.
Tentu kita tidak ingin kehilangan begitu
banyak kekayaan budaya bangsa. Bahasa daerah harus tetap kita lestarikan,
menjadi bahasa yang dikuasai selain bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya.
Oleh karena itu, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah.
Terpinggirnya bahasa daerah juga disebabkan karena terjadinya pertarungan
budaya sebagai dampak dari perkembangan budaya yang tumbuh sedemikian cepat. Salah satu cara melestarikan bahasa
daerah adalah dengan cara memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum
pendidikan. Tidak hanya ditingkat pendidikan sekolah dasar, namun juga tingkat
pendidikan di atasnya. Guru yang mengampu mata pelajaran ini, juga harus
benar-benar kompeten di bidangnya. Bukan merupakan guru ‘comot’ dari mata
pelajaran lainnya.
Oleh
karena itu, diperlukan usaha yang keras dari semua pihak dalam memvitalisasikan kembali peran dari bahasa daerah sebagai bahasa asli
daerah setempat. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan begitu saja
kepada pemerintah lewat dewan bahasa atau apapun. Akan tetapi, semua pihak
mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan daerah setempat untuk
bisa mempertahankan kearifan lokal berupa bahasa daerah tersebut.
Daftar Rujukan
Anonim. 2008. 169 Bahasa Daerah Terancam Punah.
Kompas, 12 Agustus 2008.
Anonim. 2012. http://www.mediaindonesia.com/read/2012/04/28/316182/293/14/Cuma-13-Bahasa-Daerah-yang-Punya-Aksara.
Diakses
28 November 2012.
Ajisapto, Dwi. 2008. Peranan bahasa daerah dalam
persatuan bangsa. Wordpress.com, (online),(http://asefamani.wordpress.com/2008/09/08/peranan-bahasa-Daerah-dalam-persatuan-bangsa/html.
Diakses 28 November 2012). 2011. pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing.
Blogspot.com,(online),(http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/02/26/pengaruh-bahasa-daerah-Dan-bahasa-asing/html.
Diakses 28 November 2012)
Chaer. 2010. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Agustina.
2010. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Hidayat.
2009. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat
Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Maman, Gunawan (Ed) 2009. Pemertahanan
Bahasa Bima di NTB. Bima: Bima
Press.
Muslich, Masnur. 2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia, Kajian Ke arah Tatabahasa Deskriptif.
Jakarta: Bumi Aksara.
Rifaid. 2010.
Kamus Bahasa Inggris, Indonesia, Bima
(Mbojo). Kota Bima: Yayasan Pendidikan Islam (As Saba).
Sugerman. 2011. Gejala-Gejala Bahasa Bima dalam Kajian Fonologi dan
Morfologi. Lombok Post, hlm. 10.
Sugono, Dendy, dkk. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik.Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Thalib, Ariyanti. 2012. kedudukan dan fungsi bahasa daerah. Blogspot.com
(online),(http://pendidikanmatematika2011.blogspot.com/2012/04/khusnul-khatimah.html.
diakses 28 November 2012).
permisi. bisakah saya tahu dari mana makalah in anda dapatkan? apakah ada format pdf atau semacamnya? terimakasih.
BalasHapusmakasih mas sangat membantu guna memperluas wawasan, khusus anak2 bima.
BalasHapus