Minggu, 31 Maret 2013

ETIKA PENEGAK HUKUM DIERA DEMOKRASI




Penulis: Sugerman
(Mahasiswa Pascasarjana di Malang, pemerhati Dompu)
 


Ketika semangat cinta bangsa, cinta tanah air, cinta bahasa luntur, ketika keserakahan dan egoisme tumbuh subur, ketika keadilan terkubur, ketika para penegak hukuml berubah menjadi predator, ketika penghormatan terhadap jasa para pahlawan telah lebur, maka sudah sepantasnya jika bangsa itu hancur.

Masa lalu adalah kenangan kolektif dari sebagai besar orang Indonesia bukan hanya merupakan reservoir dari bahan mentah bagi praktik dan pengalaman politik yang bisa diteorisasikan secara berjarak, namun lebih merupakan akan dari penemuan diri secara historis sebagai sumber utama untuk pembentukan identitas-identitas kelompok. Maka, mengingat kembali kenangan merupakan sebuah penghubung yang niscaya, tetapi sekaligus berbahaya, antara pengalaman masa lalu dan persoalan identitas cultural.

Ketika Orde Baru tumbang, semua orang berharap kepenatan sistem politik, mekanisme kepemimpinan aktor yang berkuasa dapat direformasi secara menyeluruh. Sekalipun semuanya tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dari struktur kekuasaan. Namun, paling tidak menjadi antek Orde Baru tidak berkuasa lagi, atau meninggalkan panggung kekuasaan baik dengan sukarela atau secara paksa. Fakta di lapangan membuktikan bahwa harapan-harapan tersebut hanya sekedar mimpi-mimpi belaka. Kenyataannya bahwa, mereka yang berkuasa pada masa Orde Baru justru meleburkan diri menjadi kekuatan politik pasca Soeharto. Perubahan slogan, ide-ide, bahkan sebagian institusi-institusi demokrasi memanipulasi penampilan para eks penguasa tersebut dan membantu mereka melebur kedalam sistem baru. Meskipun perubahan tersebut di atas menghasilkan sesuatu yang baru, namun pada prinsipnya tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam perilaku politik mereka. Dengan runtuhnya Dinasti Soeharto maka runtuhlah hegemoni militeristik atas simbol-simbol kebesaran dan kejayaan masa-masa silam dan menjadi kelam bagi teman-teman Reformis masa orde baru yang telah tertindas oleh tangan-tangan diktator. Oleh karena itu, semua sikap dan pola politik tersebut merupakan sifat predatoristik kepemimpinan.
Istilah predator lebih banyak dilekatkan pada binatang pemangsang. Jenis ini biasanya memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memangsang binatang lain. Misalnya, Singa di dalam hutan belantara yang memangsa Kancil. Jika, Singa memangsa Kancil dengan alasan agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan habitat singa. Istilah ”predator” pun dapat dijadikan kiasan perwatakan manusia yang memangsa sesamanya atau dalam istilah lainya dikenal dengan ”kanibalisme”. Kanibalisme lebih cocok digunakan untuk menyebut manusia yang memakan daging sesamanya, (dalam artian denotatif) sedangkan ”predator” cenderung menunjuk pada watak dan prilaku ”buas” manusia dalam konteks yang lebih luas. Kecenderungan melakukan kontak fisik dan kolonialisasi serta imperialisme gaya baru yang dilakukan oleh penegak hukum (polisi cs) tertentu terhadap masyarakat adalah bentuk yang bisa didekati dengan menggunakan istilah ”predator”, penindasan dari elit penguasa kepada rakyat pun dapat dikatakan dengan istilah ”predator” dan fakta lain membuktikan bahwa pada saat ini telah terjadi bencana sosial diberbagai daerah khususnya di Dompu yang mengagung-agungkan falsafah Nggahi Rawi Pahu, yang menyebabkan rakyat tertindas secara berjamaah. Hal ini terjadi, akibat dari tindakan represif dan keangkaranmurkaan dari penegak hukum, yang sejatinya dalam UU No. 2 tahun 2000 tentang Kepolisian Republik Indonesia telah mengatur tugas dan wewenang kepolisian yaitu terdapat dalam pasal 13 yang berbunyi (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Kemudian pasal 19 menjelaskan tentang wewenang Kepolisian Republik Indonesia yang berbunyi “(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma, agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan”.
Undang-Undang ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi.
Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam Undang-Undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia karena menyangkut harkat dan martabat manusia, Negara Republik Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Berdasarkan analisis singkat, UU tentang tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia di atas, maka terdapat kontras dengan kenyataan di lapangan. Sesungguhnya banyak tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (polisi) terhadap masyarakat yang sejatinya tidak dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia khususnya Kepolisian di daerah Dompu. Sehingga menurut hemat kami, bahwa sesungguhnya aparat penegak hukum kiranya dapat diberi predikat sebagai “predator”.
Menurut Vedi R Hadiz, predatoris adalah aparat negara, aparat penegak hukum dan otoritas publik, yang menjadi milik dari korps birokratik-politik yang tujuan utamanya adalah kekayaan politik dan ekonomi mereka sendiri. Kehidupan ekonomi dikendalikan dengan penggunaan kekuasaan ketimbang ditata dengan aturan-aturan dan lebih memikirkan alokasi daripada regulasi. Predator adalah kelas penguasa yang memiliki akses atas kepentingan publik, lalu menguasai dan mengelolanya sekehendak hati mereka tanpa memikirkan akibat-akibat sosial bagi rakyat. Kemudian dari segi penegak hukum dikatakan predator karena selalu memangsa manusia lain, dalam arti selalu melakukan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat.
Fajlurrahman Jurdi mengatakan bahwa predator adalah elit yang memangsa hak-hak rakyat untuk digunakan demi kepentingan mereka, memenuhi ambisi pribadi dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Sebagai pemangsa, elit pemegang kekuasaan tersebut layaknya seperti ”binatang buas” pemangsa yang tidak bernurani. Sistem predator merupakan mekanisme birokrasi masa lalu yang diwariskan secara kontinuitas, serta karakter birokrasi yang tidak mengalami perubahan, sehingga menyebabkan indonesia secara universal dan khususnya di daerah Dompu yang terjebak kemiskinan, penindasan, tindakan represif aparat keamanan terhadap rakyat sebagaimana dialami diera Orde Baru.
Menurut catatan waktu lebih kurang 15 tahun, Indonesia keluar dari rezim Orde baru atau lebih dikenal dengan rezim militeristik. Sejarah tinggal sejarah, rezim tinggal rezim, akan tetapi, kenyataanya munculnya rezim reformasi dan demokrasi sebagai payung untuk ”melindungi” rakyat ternyata tersua kenestapaan dan kemunafikan dari para predator yang berkuasa. Demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyampaikan pendapat, gagasan dan ide-ide, tapi sayang hanya sebuah topeng atau kisah lakon dalam drama kemunafikan para penguasa dan penegak hukum. Semua orang mengira bahwa reformasi rezim merupakan arah baru bagi terbangunnya demokrasi yang lebih berpihak, partisipatif dan sekaligus menuju liberalisasi politik.
Suara hati terdalam yang ingin penulis ungkapkan lewat kata-kata indah walaupun pahit, ”Pengalaman adalah guru yang terbaik karena setiap pengalaman memiliki pesan edukatif artinya bahwa beberapa kasus yang terjadi diberbagai daerah dapat menjadi pelajaran dan suntikan moral bagi para penguasa dan aparat penegak ”hukum” di daerah yang mengagung-agungkan falsafah ”Nggahi Rawi Pahu” dalam mengemban amanat UUD 1945 dan pancasila. Benarkah rezim Orde Baru sudah tumbang dalam peraduan atau benarkah aparat penegak hukum berperan sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom bagi masyarakat?.
Sebagai akhir dari tulisan ini, ada beberapa rentetan kalimat bijak yang mudah-mudahan dapat dicerna oleh kita semua khususnya kepada penguasa dan aparat penegak hukum: Binalah anggotamu yang selalu represif, sebelum membina masyarakat yang selalu menjadi korban dari kerepresifan anggotamu!”

Jiwa yang merdeka tidak bisa diajarkan untuk patuh. Karena pintalan-pintalan kepatuhan yang diajarkan akan menjadi racun dalam kemapanan, jangan pula engkau paksa mereka untuk patuh. Biarkan mereka hidup dalam kemerdekaan; merdeka pikiran, merdeka hati nurani dan merdeka perasaan. Jangan pernah menutup rapat mulutku, ia akan berubah menjadi virus yang berbahaya yang akan membuat mereka yang berkuasa selalu gusar dan jangan paksa aku diam atau engkau akan di kudeta.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar