Penulis: Sugerman
(Mahasiswa Pascasarjana di
Malang, pemerhati Dompu)
Ketika semangat cinta bangsa, cinta tanah air,
cinta bahasa luntur, ketika keserakahan dan egoisme tumbuh subur, ketika
keadilan terkubur, ketika para penegak hukuml berubah menjadi predator, ketika penghormatan terhadap jasa para pahlawan
telah lebur, maka sudah sepantasnya jika bangsa itu hancur.
Masa
lalu adalah kenangan kolektif dari sebagai besar orang Indonesia bukan hanya
merupakan reservoir dari bahan mentah bagi praktik dan pengalaman politik yang
bisa diteorisasikan secara berjarak, namun lebih merupakan akan dari penemuan
diri secara historis sebagai sumber utama untuk pembentukan identitas-identitas
kelompok. Maka, mengingat kembali kenangan merupakan sebuah penghubung yang
niscaya, tetapi sekaligus berbahaya, antara pengalaman masa lalu dan persoalan
identitas cultural.
Ketika
Orde Baru tumbang, semua orang berharap kepenatan sistem politik, mekanisme
kepemimpinan aktor yang berkuasa dapat direformasi secara menyeluruh. Sekalipun semuanya tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dari
struktur kekuasaan. Namun, paling tidak menjadi antek Orde Baru tidak berkuasa
lagi, atau meninggalkan panggung kekuasaan baik dengan sukarela atau secara
paksa. Fakta di lapangan membuktikan bahwa harapan-harapan tersebut hanya
sekedar mimpi-mimpi belaka. Kenyataannya bahwa, mereka yang berkuasa pada masa
Orde Baru justru meleburkan diri menjadi kekuatan politik pasca Soeharto. Perubahan slogan,
ide-ide, bahkan sebagian institusi-institusi demokrasi memanipulasi penampilan
para eks penguasa tersebut dan
membantu mereka melebur kedalam sistem baru. Meskipun perubahan tersebut di
atas menghasilkan sesuatu yang baru, namun pada prinsipnya tidak terdapat
perubahan yang signifikan dalam perilaku politik mereka. Dengan runtuhnya
Dinasti Soeharto maka runtuhlah hegemoni militeristik atas simbol-simbol
kebesaran dan kejayaan masa-masa silam dan menjadi kelam bagi teman-teman
Reformis masa orde baru yang telah tertindas oleh tangan-tangan diktator. Oleh
karena itu, semua sikap dan pola politik tersebut merupakan sifat predatoristik
kepemimpinan.
Istilah predator lebih banyak dilekatkan pada binatang
pemangsang. Jenis ini biasanya memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memangsang binatang
lain. Misalnya, Singa di dalam hutan belantara yang memangsa Kancil. Jika,
Singa memangsa Kancil dengan alasan agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan
habitat singa. Istilah ”predator” pun dapat dijadikan kiasan perwatakan
manusia yang memangsa sesamanya atau dalam istilah lainya dikenal dengan
”kanibalisme”. Kanibalisme lebih cocok digunakan untuk menyebut manusia yang
memakan daging sesamanya, (dalam artian denotatif) sedangkan ”predator”
cenderung menunjuk pada watak dan prilaku ”buas” manusia dalam konteks yang
lebih luas. Kecenderungan melakukan kontak fisik dan kolonialisasi serta imperialisme gaya baru yang
dilakukan oleh penegak hukum (polisi cs) tertentu terhadap masyarakat adalah bentuk yang bisa didekati dengan menggunakan
istilah ”predator”, penindasan dari elit penguasa kepada rakyat pun dapat
dikatakan dengan istilah ”predator” dan fakta lain membuktikan bahwa pada saat
ini telah terjadi bencana sosial diberbagai daerah khususnya di Dompu yang mengagung-agungkan
falsafah ”Nggahi Rawi Pahu”, yang menyebabkan rakyat tertindas secara
berjamaah. Hal ini terjadi, akibat dari tindakan represif dan
keangkaranmurkaan dari penegak hukum, yang
sejatinya dalam UU No. 2 tahun 2000 tentang Kepolisian Republik Indonesia telah
mengatur tugas dan wewenang kepolisian yaitu terdapat dalam pasal 13 yang
berbunyi ”(a) memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Kemudian
pasal 19 menjelaskan tentang wewenang Kepolisian Republik Indonesia yang
berbunyi “(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan
mengindahkan norma, agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak
asasi manusia, dan (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1 Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan
tindakan pencegahan”.
Undang-Undang
ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih
memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan
bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI
No.VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam
perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun,
dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia
secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri
sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas
subsidiaritas dan asas partisipasi.
Asas
legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam Undang-Undang ini
secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun,
tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas
kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia karena menyangkut
harkat dan martabat manusia, Negara Republik Indonesia telah membentuk
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi menentang
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia.
Berdasarkan
analisis singkat, UU tentang tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia
di atas, maka terdapat kontras dengan kenyataan di lapangan. Sesungguhnya
banyak tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
(polisi) terhadap masyarakat yang sejatinya tidak dilakukan oleh Kepolisian
Republik Indonesia khususnya Kepolisian di daerah Dompu. Sehingga menurut hemat
kami, bahwa sesungguhnya aparat penegak hukum kiranya dapat diberi predikat
sebagai “predator”.
Menurut Vedi R Hadiz, predatoris adalah aparat negara, aparat penegak hukum dan otoritas publik, yang menjadi milik dari korps birokratik-politik yang
tujuan utamanya adalah kekayaan politik dan ekonomi mereka sendiri. Kehidupan
ekonomi dikendalikan dengan penggunaan kekuasaan ketimbang ditata dengan
aturan-aturan dan lebih memikirkan alokasi daripada regulasi. Predator adalah
kelas penguasa yang memiliki akses atas kepentingan publik, lalu menguasai dan
mengelolanya sekehendak hati mereka tanpa memikirkan akibat-akibat sosial bagi
rakyat. Kemudian dari segi penegak hukum dikatakan
predator karena selalu memangsa manusia lain, dalam arti selalu melakukan
tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat.
Fajlurrahman Jurdi mengatakan bahwa predator adalah elit
yang memangsa hak-hak rakyat untuk digunakan demi kepentingan mereka, memenuhi
ambisi pribadi dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Sebagai pemangsa,
elit pemegang kekuasaan tersebut layaknya seperti ”binatang buas” pemangsa yang
tidak bernurani. Sistem predator merupakan mekanisme birokrasi masa lalu yang
diwariskan secara kontinuitas, serta karakter birokrasi yang tidak mengalami
perubahan, sehingga menyebabkan indonesia secara universal dan khususnya di
daerah Dompu yang terjebak kemiskinan, penindasan, tindakan represif aparat
keamanan terhadap rakyat sebagaimana dialami diera Orde Baru.
Menurut catatan waktu lebih
kurang 15 tahun, Indonesia keluar
dari rezim Orde baru atau lebih dikenal dengan rezim militeristik. Sejarah
tinggal sejarah, rezim tinggal rezim, akan tetapi, kenyataanya munculnya rezim
reformasi dan demokrasi sebagai payung untuk ”melindungi” rakyat ternyata
tersua kenestapaan dan kemunafikan dari para predator yang berkuasa. Demokrasi
yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyampaikan pendapat, gagasan
dan ide-ide, tapi sayang hanya sebuah topeng atau kisah lakon dalam drama
kemunafikan para penguasa dan penegak hukum. Semua orang mengira bahwa reformasi rezim merupakan
arah baru bagi terbangunnya demokrasi yang lebih berpihak, partisipatif dan
sekaligus menuju liberalisasi politik.
Suara hati terdalam yang ingin penulis ungkapkan lewat
kata-kata indah walaupun pahit, ”Pengalaman adalah guru yang terbaik karena setiap
pengalaman memiliki pesan edukatif artinya bahwa beberapa kasus yang terjadi
diberbagai daerah dapat menjadi pelajaran dan suntikan moral bagi para penguasa
dan aparat penegak ”hukum” di daerah yang mengagung-agungkan falsafah ”Nggahi
Rawi Pahu” dalam mengemban amanat UUD 1945 dan pancasila. Benarkah rezim Orde Baru
sudah tumbang dalam peraduan atau benarkah aparat penegak hukum berperan
sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom bagi masyarakat?.
Sebagai akhir dari tulisan ini, ada beberapa rentetan kalimat
bijak yang mudah-mudahan dapat dicerna oleh kita semua khususnya kepada
penguasa dan aparat penegak hukum: “Binalah anggotamu yang selalu represif, sebelum membina masyarakat yang
selalu menjadi korban dari kerepresifan anggotamu!”
”Jiwa yang merdeka tidak bisa diajarkan untuk
patuh. Karena pintalan-pintalan kepatuhan yang diajarkan akan menjadi racun
dalam kemapanan, jangan pula engkau paksa mereka untuk patuh. Biarkan mereka
hidup dalam kemerdekaan; merdeka pikiran, merdeka hati nurani dan merdeka
perasaan. Jangan pernah menutup rapat mulutku, ia akan berubah menjadi virus
yang berbahaya yang akan membuat mereka yang berkuasa selalu gusar dan jangan
paksa aku diam atau engkau akan di kudeta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar