Minggu, 31 Maret 2013

Budaya Rimpu Mpida



Sugerman


Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, setiap suku dan ras. Di setiap daerah memiliki budaya dan adat istiadat masing-masing yang memang menjadi rujukan hidup secara cultural dan berfungsi sebagai deskripsi keunikan sebuah daerah. Budaya (cultural) merupakan gaya hidup dalam setiap daerah. Dalam konteks cultural atau budaya secara historis dan secara empiris realitas di lapangan bahwa budaya merupakan deskripsi adat istiadat yang selalu melekat dalam diri setiap insan yang memang tidak bisa dipisahkan secara emosional dan batin dan bukan lahiriah.


Ketika proses kedekatan itu dilakukan secara emosional dan batin, maka setiap insan yang ada lingkaran cultural (budaya) tersebut misalnya budaya animisme dan dinamisme akan selalu jauh dengan sistem agamaisme ataupun aqidah. Ketika kemudian budaya tersebut selalu dikedepankan, maka secara aqidah setiap insan akan masuk dalam lingkaran setan maupun agamais sekulerisme. Sehingga kemudian setiap insan akan terjerumus dalam lingkaran tersebut dan memiliki pemahaman sekularisasi. Dan sebaliknya, ketika budaya yang melekat dalam setiap insan itu secara agamais yang mengarah pada proses peningkatan religiusitas dan humanitas maka kehidupan manusia akan masuk dalam lingkaran agamais, sehingga akan mendapatkan nilai-nilai islamisasi.


Secara historis kehidupan setiap bangsa dan setiap daerah memiliki keunikan sebuah cultural sehingga sebuah keunikan tersebut menjadi sebuah perspektif yang berbeda-beda dari diri setiap insan. Dalam konteks apapun sebuah budaya merupakan warisan nenek moyang dan kemudian warisan tersebut merupakan repsentatif gaya hidup jaman moyang ataupun jaman dahulu dan kemudian setiap insan pada hari ini merupakan regenerasi moyang-moyang terdahulu yang kemudian sebagai regenerasi moyang setiap insan harus menjadi regenerasi yang patuh dan taat kepada warisan moyang semasih warisan moyang tersebut tidak menyimpang dari nilai-nilai agamais.


Berdasarkan sebuah gagasan atau ide yang mendasar tersebut di atas, maka secara cultural daerah Bima dan Dompu merupakan sebuah daerah nomor dua yang diberi predikat sebagai daerah Serambi Mekkah, kedua dari Aceh diseluruh Indonesia. Yang menjadi pertanyaan kemudian mengapa daerah Bima dan Dompu diberi predikat sebagai daerah Serambi Mekkah?. Jawabannya, karena daerah Bima dan Dompu terkenal dengan budaya Rimpu Mpida. Dalam konteks “Rimpu Mpida” yang menjadi adat istiadat bagi kaum hawa, bahwa apabila keluar dari Rumahnya maupun berada dalam Rumahnya. Bagi kaum Hawa khususnya para pemudi daerah Bima dan Dompu selalu melekat sebuah falsafah ”Maja Labo Dahu”.


Maja Labo Dahu merupakan falsafah bagi para pemuda dan pemudi jaman dulu sampai jaman sekarang, sehingga bagi para pemuda dan pemudi jaman dulu selalu melekat falsafah tersebut dan falsafat tersebut merupakan pedoman hidup yang selalu membias dalam diri setiap insan khususya kaum Hawa. Kaum Hawa jaman dulu selalu malu dan takut apabila memperlihatkan atau memamerkan auratnya apalagi dilihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya, sehingga mereka selalu memakai “Rimpu Mpida”. Pembuktian ini bukan sebuah rekayasa, akan tetapi ini merupakan sebuah realitas kehidupan masyarakat pada jaman dulu yang selalu takut pada falsafah dan dosa kepada Tuhan yang telah menciptakan bumi dan langit beserta isinya.


Sejarah tinggal sejarah, falsafah tinggal falsafah dan Rimpu Mpida tinggal sebuah kenangan lama yang tiada terlupakan oleh insan yang masih melekat falsafah “Maja labo dahu”. Akan tetapi bagi insan yang tidak sadar akan sebuah jati diri sebagai anak turunan dari moyang-moyang Bima dan Dompu selalu mengeluarkan kata-kata “Kuno, Kampungan, nggak jamani dll” ketika orang tuanya, masyarakat, ulama (ustadz) melarang untuk membuka aurat lagi-lagi memamerkan aurat dan kemudian ketika  menceritakan sebuah historis masyarakat Bima dan Dompu tentang “Rimpu Mpida” pasti melontarkan kata-kata ”itukan jaman dulu Pak/ Ibu”


Seiring dengan perkembangan jaman yang begitu pesat sebuah budaya Rimpu Mpida dan sebuah Falsafah “Maja labo Dahu” tinggal sebuah kenangan lama dan simbolitas semata. Budaya tersebut jaman sekarang hanya ditampakkan untuk acara ceremonial saja pada saat acara-acara besar sebagai ajang pameran simbolitas historis ataupun menampakan dan mendekripsikan sebuah budaya daerah Bima dan Dompu.


“Dunia pada Menangis” ketika melihat perubahan pada diri masyarakat Bima dan Dompu yang terkenal dengan budaya tersebut. Perubahan pada diri para pemuda dan pemudi pada hari sangat drastis, sebuah suntikan budaya global yang telah melakukan gerakan-gerakan imperialisme historis. Sehingga budaya “Rimpu Mpida” telah terkikis dalam-dalam akibat derasnya pengaruh globalisasi. Pembuktian ini telah terjadi pada remaja pada hari ini yang tidak pernah tahu mana yang salah dan mana yang benar, banyak remaja yang masuk dalam lingkaran setan misalnya penyalahangunaan narkoba, seksual dan segala penyimpangan yang lainnya. Pertanyaan kemudian adalah siapakah yang patut kita persalahkah pada hari ini, apakah orang tua, pemerintah ataupun arus globalisasi yang selalu memberikan suntikan budaya ala barat? Pertanyaan ini mari kita renungi bersama sehingga menghasilkan sebuah jawaban yang perlu kita renungkan.


By:

Sugerman
Tanggal 15 Februari 2008







Upaya Mempertahankan Keunikan-Keunikan Bahasa Bima



Oleh: Sugerman
Abstrak: Keunikan bahasa Bima; (1) proses morfofonemik berupa penghilangan fonem pada konsonan akhir, (2) setiap nama panggilan kepada yang lebih tua, terjadi proses perubahan fonem,  (3) terdapat konsonan laminobilabial dan laminobilabial implosif yang berbeda dengan /b dan d/, keduanya dilambangkan /b/ dan /d/, serta (4) terdapat kluster (konsonan rangkap) pada awal kata. Upaya mempertahankan keunikan tersebut dapat dilakukan dengan; pemeliharaan identitas etnis, adaptasi sosial, pemerolehan bahasa, kebiasaan berbahasa, peningkatan kepekaan linguistis, rasa aman bagi anak, loyalitas berbahasa, peraturan daerah, kurikulum, dan media massa.
Kata kunci : keunikan, upaya, peran, dan kebijakan pemerintah

Sejak zaman dahulu, bahkan mungkin semenjak zaman manusia diciptakan, bahasa merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kehidupan umat manusia. Oleh Karena itu, bahasa sampai saat ini merupakan salah satu persoalan yang sering dimunculkan dan dicari jawabannya. Mulai dari pertanyaan “Apa itu bahasa?” sampai dengan “Dari mana asal bahasa itu?”
Banyak jawaban dari teori yang telah diungkapkan. Akan tetapi, semuanya belum memuaskan. Mengapa demikian? Karena bahasa senantiasa hadir dan dihadirkan. Ia berada dalam diri manusia, dalam alam, dalam sejarah, dalam wahyu Tuhan. Ia hadir karena karunia Tuhan sang pencipta alam raya. Tuhan itu sendiri menampakkan diri pada manusia bukan melalui Zat-Nya, akan tetapi lewat bahasa-Nya, yaitu bahasa alam dan kitab suci (Hidayat, 2009: 21).
Bahasa merupakan karunia Tuhan untuk manusia, maka upaya mengetahuinya merupakan suatu kewajiban dan sekaligus merupakan amal saleh. Jika seseorang mampu mengetahui berbagai bahasa, maka ia sudah pasti termasuk orang yang banyak pengetahuannya. Jika dia banyak pengetahuannya, maka dia termasuk orang yang beriman. Dialah yang derajatnya diangkat oleh Tuhannya, “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu” Dengan demikian, mempelajari bahasa adalah bentuk ibadah yang harus kita lakukan (Hidayat, 2009: 22).
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terpenting di kawasan republik. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesiapernyataan tekad kebahasaan bahwa kita bangsa Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia dan bukan pengakuan berbahasa satu.
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tidak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Pertama-tama kita kenali ragam menurut golongan penutur bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Kita akan melihat bahwa ragam-ragam itu bertautan. Ragam yang ditinjau dari sudut pandang penutur dapat diperinci menurut patokan kedaerahan, pendidikan dan sikap penutur.
Ragam daerah dalam hal ini bahasa daerah (bahasa Ibu) sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat. Masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang daerahnya berdampingan. Bahwa bahasa Indonesia merupakan yang terpenting diantara beratus-ratus bahasa daerah (bahasa jawa, sunda, betawi, sasak, mbojo (Bima), samawa, dan lain-lain).
Bahasa daerah merupakan sebuah identitas dan kekayaan suatu kelompok masyarakat yang dijadikan sebagai alat tutur dalam berkomunikasi dengan sekelompok masyarakat bahasa. Ada ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa.” Ungkapan ini berarti tutur kata seseorang akan menunjukkan bagaimana sifat dan watak orang itu (Sumarsono, 2007: 68). Ketika suatu kelompok masyarakat bahasa sasak bertemu dengan kelompok sasak, maka bahasa tutur yang digunakan adalah bahasa sasak dan sebaliknya ketika masyarakat bahasa Bima bertemu dengan masyarakat Bima, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Bima yang dikenal dengan bahasa Mbojo. Hal yang mendasar dari sekelompok bahasa suatu masyarakat pasti memiliki keunikan masing-masing. Sebagai sampel, misalnya bahasa Bima memiliki beberapa keunikan yang sangat berbeda dengan bahasa lain.
Berdasarkan dasar pemikiran di atas, maka dalam penulisan ini penulis akan mendeskripsikan tentang keunikan-keunikan bahasa Bima (Mbojo), dampak dari keunikan bahasa Bima, upaya pelestarian bahasa Bima, kondisi geografis daerah Bima, fungsi dan peran bahasa daerah Bima, bahasa dan budaya, dan kebijakan pemerintah terhadap bahasa daerah di Indonesia.
Keunikan-Keunikan Bahasa Daerah Bima
Hakikat Bahasa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memberikan pengertian “bahasa” ke dalam tiga batasan, yaitu (1) sistem lambang bunyi yang berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran, (2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku, daerah, negara), dan (3) percakapan (perkataan) yang baik: sopan santun, tingkah laku yang baik.   
Kemudian menurut pendapat Bloch dan Trager (dalam Hidayat, 2009: 22) yang berbunyi “Language is a system of arbitray vocal symbols by means of which a social group cooperates” (Bahasa sebagai sebuah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial untuk berkomunikasi). Oleh karena itu, menurut hemat penulis bahwa sesungguhnya bahasa merupakan sebuah sistem dan sebuah kaidah yang berstruktur dan simbol-simbol yang arbitrer dan unik yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul (communication) antara yang satu dengan yang lainnya.  
Definisi bahasa dari beberapa pakar lain, kalau dibutiri akan didapatkan beberapa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa, (Chaer, Agustina, 2010: 12-14).
Bahasa itu  bersistem, kata sistem sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan makna “cara” atau ”aturan”, seperti dalam kalimat (kalau tahu sistemnya, tentu mudah mengerjakan). Akan tetapi, dalam kaitan dengan keilmuan, sistem berarti susunan yang teratur berpola membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi.
Sistem ketatabahasaan pun begitu juga. Bahasa terdiri dari komponen-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu kesatuan yang kohesi dan koherensi. Kalau kita perhatikan sederatan kata-kata berikut.
1)      Amir pergi ke Toko buku
2)      Buku, Amir pergi ke Toko
3)      (Bahasa Bima) Mu lao ta be ku? (mau ke mana)?
4)      (Bahasa Bima) Ku, lao be ta mu?(tidak bisa diartikan)

            Secara intuisi, sebagai penutur bahasa Indonesia dan bahasa Bima, akan tahu bahwa kalimat pada deretan (1) dan (3) adalah sebuah kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Bima karena tersusun dengan benar menurut pola aturan kaidah bahasa Indonesia dan bahasa Bima. Sebaliknya pada deretan (2) dan (4), tidak berterima dan bukan kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Bima karena tidak menurut pola aturan atau sistem bahasa Indonesia dan juga dalam bahasa tidak bisa diartikan ke dalam bahasa ke dua karena strukturnya tidak sesuai dengan sistem atau kaidah bahasa Bima.  
            Bahasa itu unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ciri khas ini bisa bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikan bahasa Bima adalah penghilangan konsonan akhir pada setiap nama, kata benda, dan bahkan kata serapan.
            Bahasa adalah bunyi. Maka, seluruhnya dapat dikatakan, bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi. Setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Misalnya lambang bahasa yang berbunyi [kuda] melambangkan makna ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’; dan lambang bahasa yang berbunyi [spidol] melambangkan konsep atau makna ‘sejenis alat tulis bertinta’.
            Bahasa bersifat arbitrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengkonsepi makna tertentu. Secara konkret, mengapa lambang bunyi [kuda] digunakan untuk menyatakan ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’ adalah tidak dapat dijelaskan. Andaikan hubungan itu bersifat wajib, tentu untuk menyatakan binatang yang dalam bahasa Indonesia itu disebut [kuda] tidak ada yang menyebutnya <jaran>, <horse>, <paard>, atau dalam bahasa Bima <jara>.
            Meskipun lambang-lambang bahasa itu bersifat arbitrer, tetapi juga bersifat konvensional. Artinya, setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Misalnya dalam bahasa Bima, lambang oha ‘nasi’ hanya digunakan untuk menyatakan ‘sejenis makanan pokok bagi orang Bima’ dan tidak melambangkan konsep lain, sebab jika dilakukan berarti dia telah melanggar konvensi itu. Sebagai akibatnya, tentu komunikasi akan terhambat karena semua orang Indonesia tidak mengenal lambang oha, kecuali orang Bima.
            Bahasa itu beragam, artinya, meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis, maupun leksikon. Bahasa Bima yang digunakan oleh masyarakat suku Donggo tidak persis sama dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat disekitar gunung Tambora, dialek Kuta di sebelah selatan, dialek Kolo dan dialek Manggarai di Flores Barat dan seterusnya.
            Karakteristik bahasa seperti yang dibicarakan di atas, yang menjadi indikator akan hakikat bahasa adalah menurut pandangan linguistik umum (general linguistics) yang melihat bahasa sebagai bahasa. Menurut pandangan sosiolinguistik bahasa itu juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai alat mengidentifikasikan diri. 
Keunikan Bahasa Bima
Bahasa Bima memiliki keunikan-keunikan yang fantastis, identitasnya sejalan dengan keunikan bahasa di dunia, ada beberapa hal yang penulis deskripsikan tentang bahasa Bima yaitu,  mengapa bahasa Bima itu unik?, bagaimana alur berpikir dikatakan bahasa Bima itu unik?. Dari pertanyaan sederhana ini, penulis akan mendeskripsikan keunikan-keunikan bahasa bima yang penulis akronimkan sebagai BB.
Di bawah ini penulis mendeskripsikan tentang keunikan-keunikan bahasa Bima yang penulis akronimkan dengan istilah (BB) yaitu sebagai berikut.
1.      Setiap konsonan akhir pada sebuah kata pasti dihilangkan
Umumnya bahasa Bima (tidak berakhir dengan konsonan pada kata) kecuali pada para penutur yang berpendidikan akibat pengaruh bahasa lain. Penghilangan konsonan akhir ini terjadi pada nama seseorang yang memiliki konsonan pada akhir kata dan juga terdapat pada kata-kata serapan dari bahasa kedua atau bahasa lain.
Dalam bahasa Bima untuk setiap nama yang diakhiri oleh konsonan, akan terjadi penghilangan fonem. Akan tetapi, apabila sebuah nama diakhiri oleh vokal maka, tidak ada penghilangan fonem akhir, misalnya nama Fahruroji akan tetap dilafalkan Fahruroji, Amri akan tetap dilafalkan Amri, dan seterusnya.
Perhatikan contoh di bawah ini.  
a         Firdaus akan menjadi Firdau, konsonan (s) dihilangkan
b        Ahmad akan menjadi Ahma, konsonan (d) dihilangkan
c         Bakar akan menjadi baka, konsonan (r) dihilangkan
d        Hasan akan menjadi hasa, konsonan (n) dihilangkan
e         Ismail akan menjadi Ismai, konsonan (l) dihilangkan
f         Mesin akan menjadi mesi, konsonan (n) dihilangkan
g        Astronot akan menjadi astrono, konsonan (t) dihilangkan

Proses morfofonemik berupa penghilangan fonem atau segmen dalam bahasa Bima terjadi karena kosakata daerah yang selalu diujar dengan huruf mati. Kemudian hal lain dari penghilangan fonem akhir pada setiap kata yang diakhiri oleh konsonan. Kasus ini disebut reduksi artinya peristiwa pengurangan fonem dalam suatu kata. Gejala reduksi dibedakan menjadi tiga yaitu aferesis, sinkop, dan apokop (Muslich, 2010: 106). Akan tetapi, yang berkaitan dengan bahasa Bima yaitu penghilangan fonem pada akhir kata, yang disebut apokop.  

2.      Setiap nama panggilan, kepada yang lebih tua (di lia kai atau panggilan penghormatan kepada yang lebih tua) akan terjadi perubahan fonem.
Perhatikan contoh di bawah ini
a      Ismail dipanggil Mo’i,
b      Bakar dipanggil Beko,
c      Hasan dipanggil Heso,
d     Dan seterusnya.

Pembahasan.
a.       Nama Ismail dipanggil Mo‘i, nama (Ismail) memiliki 6 fonem (/i/,/s/,/m/,/a/,/i/,/l/) untuk di lia kai  (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua) maka akan dipanggil mo’i. Hal ini terjadi karena dalam fonem /m/, /a/, /i/, melalui proses perubahan fonem, maka fonem /a/ menjadi fonem /o/, sehingga Ma’i dipanggil Mo’i.
b.      Nama Bakar dipanggil Beko, nama (Bakar) memiliki 5 fonem (/b/, /a/, /k/, /a/, /r/), untuk di lia kai (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua) maka akan dipanggil Beko. Hal ini terjadi karena dalam fonem (/b/,/a/, /k/, /a/), melalui proses perubahan fonem, maka fonem /a/ menjadi /e/ dan fonem /a/ menjadi /o/, sehingga Baka dipanggil Beko.
c.       Nama Hasan dipanggil Heso, nama (Hasan) memiliki 5 fonem (/h/, /a/, /s/, /a/, /n/), untuk di lia kai (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua) maka akan dipanggil heso. Hal ini terjadi karena dalam fonem (/h/, /a/, /s/, /a/), melalui proses perubahan fonem, maka fonem /a/ menjadi /e/ dan fonem /a/ menjadi /o/, sehingga Hasa dipanggil Heso.
Berdasarkan beberapa contoh perubahan fonem di atas, menurut hemat penulis disebabkan oleh 3 (tiga) faktor sebagai berikut.
1.      Adanya perubahan fonem yang disebut sebagai modifikasi vokal yang fonemis artinya modifikasi yang menyebabkan fonem vokal tertentu berubah menjadi fonem vokal yang lain (Verhaar, 2010: 81). Berdasarkan pendapat tersebut menurut hemat penulis, dapat disimpulkan sebagai berikut; Ismail (Ma’i) dilafalkan Mo’i, di mana bunyi /a/ dilafalkan menjadi bunyi /o/ sehingga menyebabkan vokal /a/ menjadi bunyi vokal /o/. kata Bakar (Baka) dilafalkan Beko dan Hasan (Hasa) dilafalkan Heso, di mana bunyi vokal /a/ dilafalkan menjadi bunyi /e/ sehingga menyebabkan bunyi vokal /a/ menjadi bunyi vokal /e/ dan bunyi vokal /a/ dilafalkan menjadi bunyi /o/ sehingga menyebabkan bunyi vokal /a/ menjadi bunyi vokal /o/.
2.      Adanya perubahan bentuk kata yang disebut sebagai analogi yaitu suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh sudah ada. Dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang, pembentukan kata-kata baru sangat penting sebab bentukan kata baru akan memperkaya perbendaharaan bahasa (Muslich, 2010: 101). Misalnya dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata putra dan putri. Kedua bentuk kata ini terdapat perbedaan fonem yaitu fonem /a/ dan /i/. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai fungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kemudian, dalam bahasa Bima tidak membedakan jenis kelamin, akan tetapi hanya sebagai panggilan kehormatan kepada yang lebih tua yang tidak membedakan fungsi. Namun, membentuk kata baru yang menyebabkan terjadinya perubahan fonem seperti contoh yang diuraikan di atas. 
3.      Perubahan bentuk kata, dari nama (1) Ismail menjadi Mo’i, (2) Abakar menjadi Beko, dan (3) Hasan menjadi Heso, dalam hal ini perubahan fonemnya (1) /a/ menjadi /o/, (2) /a/ menjadi /e/ dan /a/ menjadi /o/, dan (3) /a/ menjadi /e/ dan /a/ menjadi /o/, dapat membedakan fungsi yaitu dapat menjaga etika berbahasa dan bertutur kepada yang lebih tua.
3.      Terdapat dua buah konsonan laminobilabial dan laminobilabial implosif yang berbeda dengan /b dan d/. Keduanya dilambangkan dengan /b dan d/.
Konsonan laminobilabial merupakan konsonan yang terjadi atas penggabungan dari lamino dan bilabial yang pada proses artikulasinya, lamino yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini daun lidah menempel pada gusi seperti bunyi /t/ dan/d/, sedangkan bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir bawah, bibir bawah merapat pada bibir atas, yang termasuk bunyi bilabial ini adalah bunyi /b/, /p/, dan /m/. Sedangkan laminobilabial implosif merupakan penggabungan dari dua konsonan; lamino yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini daun lidah menempel pada gusi seperti bunyi /t/ dan/d/, sedangkan bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir bawah, bibir bawah merapat pada bibir atas, yang termasuk bunyi bilabial ini adalah bunyi /b/, /p/, dan /m/. Jadi, konsonan laminobilabial implosif artinya bunyi hambat yang terjadi dengan aliran udara yang diisap, seperti bunyi /b/ dan /d/.
Sebagai pembanding, perhatikan huruf dalam bahasa Arab, misalnya dalam huruf-huruf suara (vokal) pengganti fathah, kasrah, dan dammah, dipergunakan a, i, u seperti biasa. Kecuali bunyi panjang atau maddah masing-masing diberi tanda sempang di atasnya yaitu a, i, dan u. Akan tetapi, dalam bahasa Bima pemberian tanda sempang di atas konsonan /b/ dan /d/ tidak bermakna sebagai bunyi panjang seperti dalam bahasa Arab, tetapi memiliki makna sebagai bunyi hambat yang terjadi dengan aliran udara yang diisap.
Perhatikan contoh di bawah ini.
a.       Kata /baba/ ‘orang Cina peria; /baba/ ‘kakak atau abang’, sedangkan /baba/ ‘mengikat seluruh tubuh’.
b.      Kata /didi/ ‘memesan’; sedangkan /didi/ ‘menekan, membenam, dan lusa (kemarin)’.

Dari beberapa contoh di atas, kalau dilihat dari kajian semantik yang berkaitan dengan jenis makna, maka penulis berkesimpulan bahwa kata (baba) dengan (baba) dan kata (didi) dengan kata (didi) merupakan homografi yang mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Dasar pemikiran penulis menyimpulkan di atas karena menurut analisis penulis tentang bahasa Bima pada fonem /b/ terdiri dari dua alofon [b] dan [b] sedangkan fonem /d/ memiliki dua alofon [d] dan [d].
4.      Terdapat kluster (konsonan rangkap) pada awal kata.  
Kluster adalah dua konsonan yang dibaca satu bunyi. Oleh karena itu, dalam bahasa Bima kluster ini biasanya selalu muncul pada awal kata yang berbeda dengan bahasa lain yang kadang muncul di awal kata, di tengah kata, maupun di akhir kata.
Perhatikan contoh di bawah ini.
a.       mb seperti pada mbai, artinya ‘busuk’
b.      nc seperti pada ncai artinya ‘jalan’
c.       nd seperti pada ndore artinya ‘berbaring’
d.      ngg seperti pada nggala artinya ‘bajak’
e.       nt seperti pada ntau artinya ‘kepunyaan’
f.       ng seperti pada kata ngolu artinya ‘menang’

Bahasa Bima Sekilas Pintas
Bahasa ini dikenal di daerah dari kalangan penuturnya dengan sebutan “Nggahi Mbojo”. Nggahi ‘bahasa’ atau bicara’ atau  ucapan’ dan Mbojo diterjemahkan dari kata ‘Bima’. Bahasa ini terdapat dan dipakai oleh masyarakat di Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu yang berada di Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB) dan di pesisir pantai Flores Barat (Manggarai/Ruteng) Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan penutur sekitar 500.000 jiwa. Terdapat empat buah dialek yang mencolok pada bahasa Bima yaitu dialek Donggo di sekitar gunung Tambora, dialek Kuta di sebelah selatan, dialek Kolo dan dialek Manggarai di Flores Barat.
Upaya Mempertahankan Bahasa Bima
            Bahasa adalah penciri utama suatu budaya yang membedakan budaya itu dengan budaya lainnya. Tradisi yang diekspresikan dengan tindakan nyata antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain boleh saja sama, tetapi ketika kita mendengar “bahasa” yang terucap, akan segera tampak perbedaannya. “Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian kata sebuah pepatah.
            Menghidupkan bahasa daerah tidak berarti etnosentris. Sebagai Warga Negara Indonesia, kita diharapkan untuk dapat memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, bukan berarti kita melupakan bahasa daerah. Pemilihan pemakaian antara pemakaian bahasa Indonesia dengan  pemakaian bahasa daerah dapat disesuaikan dengan konteks yang ada. Dengan demikian, bahasa daerah dapat tetap sejalan dengan bahasa Indonesia serta dapat menjaga kelangsungan bahasa daerah dari kepunahan. Untuk mempertahankan keberlangsungan bahasa daerah tidaklah mudah, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Diperlukan kemauan dari pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk mempertahankan bahasa yang terancam punah.
Usaha yang dapat diupayakan untuk mencegah kepunahan bahasa antara lain dengan mengolah bahasa daerah yang terancam punah menjadi buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal  sehingga dikenal generasi muda. Selain itu, bahasa daerah juga dapat dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesia. Menghidupkan bahasa daerah tentu saja tidak hanya sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya,  tetapi dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.
Pemerintah sendiri telah menunjukan keberpihakannya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. Selain itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan membuat bidang khusus untuk perlindungan bahasa Indonesia dan daerah. Perlindungan itu akan lebih mengarah kepada bahasa daerah dan sastra lisan yang hampir punah. Ada dua langkah yang akan diterapkan Pusat Bahasa untuk perlindungan, yaitu dokumentasi dan revitalisasi. dokumentasi berbentuk pengumpulan kosa kata dan merekamnya, kemudian revitalisasi untuk menghidupkan kembali dengan cara mengadakan berbagai pagelaran festival seni.
      Bahasa daerah khusus bahasa Bima adalah salah satu warisan budaya non-benda bangsa Indonesia yang mengandung peristiwa historis dan kultural dibalik makna-maknanya.  Menurut  Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Junus Satrio Atmojo (9/1/2010),  sudah sekitar 15 bahasa daerah yang sudah punah. Dan menurut  Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (13/6/2010), ada sekitar 169 bahasa daerah yang kini terancam punah.
     Indonesia sekarang terdiri dari 33 provinsi, mempunyai 17.504 buah Pulau dan   7.870 diantaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Terdapat  1.128 suku bangsa dan 750 bahasa daerah.  Alangkah indahnya keberagaman seni dan tradisi  Indonesia. Ribuan sumber mata air tradisi telah mengilhami nasionalisme keindonesiaan founding fathers negeri ini. Di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, terdapat 742 bahasa daerah. Namun, hanya 13 bahasa yang memiliki penutur di atas satu juta. Tiga belas bahasa itu adalah bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Sasak (Kompas, 14 November 2007). Semakin banyak jumlah penutur dan semakin sering penutur menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah, semakin kuat ketahanan bahasa itu. Dengan demikian, semakin jauh bahasa tersebut dari kepunahan. Dan sebuah peringatan besar telah ditabuh ketika UNESCO melalui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaannya mengeluarkan penelitiannya. Mereka menyebut sekitar 700 bahasa daerah di Indonesia terancam punah pada akhir abad 21. Kepunahan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkawinan campur dengan suku lain, urbanisasi, dan bencana alam.
Tentu kita tidak ingin kehilangan begitu banyak kekayaan budaya bangsa. Bahasa daerah harus tetap kita lestarikan, menjadi bahasa yang dikuasai selain bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Oleh karena itu, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah. Terpinggirnya bahasa daerah juga disebabkan karena terjadinya pertarungan budaya sebagai dampak dari perkembangan budaya yang tumbuh sedemikian cepat.
Salah satu cara melestarikan bahasa daerah adalah dengan cara memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan. Tidak hanya ditingkat pendidikan sekolah dasar, namun juga tingkat pendidikan di atasnya. Guru yang mengampu mata pelajaran ini, juga harus benar-benar kompeten di bidangnya. Bukan merupakan guru ‘comot’ dari mata pelajaran lainnya.
Akhirnya, untuk melestarikan bahasa daerah Bima bukan hanya tugas yang diletakkan di bahu negara, namun merupakan tanggung jawab kita bersama. Buang jauh-jauh pikiran ‘kampungan’ atau ‘katrok’ ketika berbicara dalam bahasa daerah. Buang persepsi dalam diri, merasa modern dan hebat ketika mengaku tidak lagi bisa berbahasa daerah. Tegaskan dalam diri, menguasai bahasa daerah berarti cinta budaya bangsa, mencintai budaya sendiri adalah langkah awal mengenal jati diri. bangga menjadi bangsa Indonesia yang sangat beragam.
Pihak yang melakukan upaya dapat dibedakan menjadi dua, yakni internal maupun eksternal. Yang dimaksud dengan pihak internal adalah orang atau lembaga yang berupaya mempertahankan penggunaan suatu bahasa yang berasal dari komunitas tutur. Sementara pihak eksternal adalah orang atau lembaga yang berada di luar masyarakat tutur. Bentuk upaya pemertahanan dalam artikel ini dimaknai sebagai usaha, yang bersifat nyata atau abstrak, yang dilakukan sehingga penggunaan bahasa tertentu dapat lebih eksis daripada bahasa lain. Menurut (Maman, 2009), upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan bahasa daerah Bima adalah sebagai berikut
1)        Pemeliharaan identitas etnis
Pemeliharaan identitas etnis adalah upaya yang dilakukan oleh masyarakat tertentu untuk mempertahankan adat budaya yang mereka miliki. Pemeliharaan identitas etnis dapat diwujudkan dengan dua model; yakni (1) hanya melaksanakan adat budaya milik sendiri dan mengabaikan adat budaya masyarakat lama, dan (2) melaksanakan adat budaya milik komunitas sendiri, tetapi juga ikut serta dalam pelaksanaan adat budaya masyarakat setempat.
Model pertama, masyarakat pendatang menjaga jarak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini dapat saja menimbulkan konflik dengan masyarakat lama, tetapi dapat juga tidak. Hal tersebut sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh karakter masyarakat setempat. Contoh pemeliharaan identitas etnis ini adalah penggunaan bahasa daerah tertentu (Bima) ketika berada di kalangan pengguna bahasa yang lain. Sebaliknya model kedua, meminta masyarakat pendatang untuk lebih menunjukkan toleransinya. Hal ini mengakibatkan bertambahnya kegiatan yang harus dilakukan oleh masyarakat pendatang, ketika terjadi interaksi budaya dengan budaya masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah masyarakat Hindu di Bima dan Dompu yang ikut melakukan “sedekah”  menjelang Idul Fitri.  
2)        Adaptasi sosial
Upaya ini dilakukan oleh masyarakat pendatang sebagai wujud toleransi terhadap budaya masyarakat setempat. Adaptasi dimaknai sebagai terjadinya penggabungan budaya dari masyarakat pendatang dan masyarakat setempat. Adaptasi tersebut dapat bersifat parsial maupun mutlak. Adapatasi yang bersifat parsial berbentuk penambahan kegiatan adat budaya pada masyarakat pendatang. Penambahan itu dilakukan dengan mengambil sebagian adat dari masyarakat lama. Contohnya, mengawinkan dengan budaya masyarakat lama. Penggabungan tersebut dapat mengakibatkan munculnya wujud budaya yang baru. Wujud budaya merupakan bentukan baru yang berbeda dengan adat setempat maupun adat dari kaum pendatang. Biasanya penggabungan ini dilakukan atas inisiatif masyarakat pendatang. Bagi masyarakat yang lama hal ini dianggap sebagai pergeseran budaya akibat pertemuan dua budaya, dan bentuk toleransi terhadap warga baru.
3)        Pemerolehan bahasa
Salah satu upaya pemertahanan yang bersifat linguistik adalah pemerolehan bahasa. Orang tua menggunakan bahasa daerah etnis orang tua sebagai  “bahasa ibu” pada anak-anak mereka. Berbagai faktor yang melatarbelakangi keadaan tersebut. Dengan menggunakan bahasa daerah menyebabkan anak-anak harus menguasai lebih dari satu bahasa, ketika nantinya mereka berinteraksi dengan masyarakat pengguna bahasa yang lain. Namun, seringkali itu tidak menjadi hambatan yang terlalu penting daripada untuk menjaga persatuan dan keutuhan komunitas.
4)        Kebiasaan berbahasa
Jika pada pemerolehan bahasa, upaya tersebut bersifat genetis, artinya, terjadi pada generasi yang berbeda; maka pada bagian ini dapat dilakukan pada generasi yang sama. Kebiasaan berbahasa ini lebih menekankan pada aspek untuk kemudahan memproduksi dan memahami unsur bahasa. Selain itu juga, ada anggapan bahwa nilai rasa penggunaan bahasa tertentu lebih sesuai dengan keinginan pengguna daripada jika harus menggunakan bahasa yang dirasanya kurang familier. Dengan kata lain, kebiasaan ini dilakukan untuk mengakrabkan para partisipan tuturnya
5)        Peningkatan kepekaan linguistis
Yang dimaksud dengan peningkatan kepekaan linguistis adalah upaya yang dengan sengaja dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas rasa linguistis. Hal ini mudah ditemui pada kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tutur bahasa Indoensia ketika berada di luar negeri. Selain mereka bermaksud untuk menimbulkan rasa sebangsa, mereka juga memberikan pembelajaran pada anak-anak mereka yang lahir atau tinggal di luar negeri sejak kecil. Penggunaan bahasa Indonesia diharapkan dapat membuat anak-anak mereka mengenal dan meningkatkan kemahiran berbahasa Indonesia.  
6)        Rasa aman bagi anak
Upaya lain dilakukan dengan maksud untuk memberikan rasa aman bagi anak-anak dari masyarakat tutur tertentu ketika berada di komunitas tutur bahasa lain. Sebagai contoh, anak-anak yang belum mampu menguasai bahasa kedua akan ketakutan atau menarik diri ketika diajak menggunakan bahasa lain. Sementara jika orang tua atau guru menggunakan bahasa daerah yang dikuasainya, maka anak akan mempunyai pemahaman yang selanjutnya merasa aman karena merasa tidak berada dalam lingkungan yang asing.
7)        Loyalitas berbahasa
Upaya ini biasanya bersifat internal dari dalam diri penutur. Kebanggaan sebagai bagian dari etnis tertentu menyebabkan penggunaan bahasa yang berbeda dengan bahasa dalam komunitas setempat. Sebagai contoh adalah bahasa Indonesia yang digunakan oleh seseorang yang berbicara di depan forum internasional, walaupun sebenarnya dia mampu menggunakan bahasa Inggris. 
8)        Peraturan Daerah
Dalam upaya pelestarian budaya, beberapa  daerah di Indonesia mengeluarkan peraturan daerah untuk menggunakan bahasa daerah dalam wacana-wacana tertentu. Hal ini tentu saja dapat meningkatkan peran bahasa daerah dalam penggunaannya. Sebagai contoh, penggunaan bahasa Jawa, bahasa Sunda, ataupun bahasa Bima yang diatur oleh peraturan daerahnya. 
9)        Kurikulum
Memasukkan pembelajaran bahasa tertentu ke dalam kurikulum sekolah merupakan cara yang cukup efektif untuk mempertahankan bahasa tertentu. Selain subjek didik yang mempelajari sejak usia muda, tetapi juga mendorong orang tua untuk membantu dan membimbing anak-anak untuk menguasainya. Dengan demikian, bahasa tersebut dapat lebih bertahan daripada bahasa yang lain.
Hanya saja perlu diwaspadai tentang materi yang diberikan. Banyak pembelajaran bahasa tertentu (daerah) yang hanya bersifat untuk memenuhi syarat pembelajaran bahasa tetapi tidak memberikan keterampilan berbahasa yang sebenarnya. Materi yang diberikan bersifat pengetahuan bahasa, buka ketererampilan berbahasa. Jika hal ini dilakukan terus menerus dan tidak diperbaiki maka bahasa daerah tersebut juga hanya menjadi pelajaran yang bersifat hafalan saja tetapi tidak pernah diterapkan.
10)    Media massa
Upaya yang cukup efektif dan efisien juga dapat dilakukan dengan menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik. Upaya ini telah dilakukan untuk pemertahanan bahasa Bima. Program-program radio di Bima, banyak menggunakan bahasa Bima. Hal ini tentu membuat pengguna lebih akrab dan merasa familiar dengan penggunaan bahasa Bima.
Kondisi Geografis Daerah Bima
Sejarah Singkat Daerah Bima
Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a (batu pahat), Wadu Nocu (batu tumbuk), Wadu Tunti (batu bertulis) di desa Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo (orang Bima), Dou Donggo (orang Donggo) yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Kondisi geografis daerah Bima
a.      Letak
Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari Kota Bima). Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi 117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan.
b.      Topografi
Secara topografis wilayah Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi bertekstur pegunungan sementara sisanya (30%) adalah dataran. Sekitar 14% dari proporsi dataran rendah tersebut merupakan areal persawahan dan lebih dari separuh merupakan lahan kering. Oleh karena keterbatasan lahan pertanian seperti itu dan dikaitkan pertumbuhan penduduk kedepan, akan menyebabkan daya dukung lahan semakin sempit. Konsekuensinya diperlukan transformasi dan reorientasi basis ekonomi dari pertanian tradisional ke pertanian wirausaha dan sektor industri kecil dan perdagangan. Dilihat dari ketinggian dari permukaàn laut, Kecamatan Donggo merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut, sedangkan daerah yang terendah adalah Kecamatan Sape dan Sanggar yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari permukaan laut. Di Kabupaten Bima terdapat lima buah gunung, yakni:
1.      Gunung Tambora di Kecamatan Tambora
2.      Gunung Sangiang di Kecamatan Wera
3.      Gunung Maria di Kecarnatan Wawo
4.      Gunung Lambitu di Kecamatan Lambitu
5.      Gunung Soromandi di Kecamatan Donggo, merupakan gunung tertinggi di wilayah ini dengan ketinggian 4.775 m.
c.      Batas wilayah
Kabupaten Bima terletak di bagian timur Pulau Sumbawa dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

Fungsi dan Peran Bahasa Daerah Bima
Fungsi Bahasa Daerah Bima
Salah satu aspek penting dari bahasa ialah aspek  fungsi bahasa. Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama dari bahasa. Secara tradisional kalau ditanyakan apakah bahasa itu, akan dijawab bahwa bahasa adalah alat untuk berinteraksi, dalam arti untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.
Menurut Kinneavy (dalam Chaer, dkk, 2010: 15) fungsi bahasa memiliki lima fungsi dasar yakni expression, information, exploration, persuassion, dan entertainment. Kemudian Fishman (dalam Chaer dkk, 2010: 15) menyatakan bagi konsep sosiolinguistik bahwa memiliki fungsi “who speak what language to whom, when and to what end”, fungsi-fungsi bahasa itu antara lain, dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.
Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnis di tanah air. Setiap kelompok etnis mempunyai bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam komunikasi antar etnis atau sesama suku. Perencanaan bahasa nasional tidak bisa dipisahkan dari pengolahan bahasa daerah, demikian pula sebaliknya. Itulah sebabnya, di samping mengolah bahasa nasional, politik bahasa Nasional pun berfungsi sebagai sumber dasar dan pengarah bagi pengolahan bahasa daerah yang jumlahnya ratusan dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Hal itu sejalan dengan UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 di dalam penjelasannya, dikatakan: “Bahasa daerah itu adalah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup; bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara”, yang fungsinya sebagaimana disimpulkan oleh peserta Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975 di Jakarta, yakni: “Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Makassar, Bima dan Batak berfungsi sebagai:
1.      Lambang kebanggaan daerah,
2.      Lambang identitas daerah, dan
3.      Alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.  
Berdasarkan beberapa konsep yang diungkapkan oleh ahli linguistik tentang fungsi bahasa, maka penulis simpulkan bahwa fungsi utama dari semua bahasa, khususnya bahasa Bima yakni digunakan sebagai alat komunikasi baik lisan maupun tulisan. Dalam UUD 1945 dinyatakan juga bahwa bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai oleh Negara karena ia merupakan bagian daripada kebudayaan bangsa yang hidup, Badudu (dalam Sumarsono, 2000: 175).
Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosakata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya.
Peran Bahasa Daerah Bima
Persatuan bangsa Indonesia terbentuk bukan dari keseragaman, tetapi terbentuk dari keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika selalu melekat di hati setiap warga negara Indonesia, karena dengan kebhinekaan inilah bangsa Indonesia ada. Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menyangkut suku-suku, ras-ras, dan agama-agama saja, tetapi juga mencakup bahasa, karena pada hakikatnya bahasa melekat pada diri manusia. Sementara manusia itu sendiri merupakan pelaku kebudayaan.
Apa jadinya apabila bangsa Indonesia ini terbentuk dari keseragaman budaya, adat-istiadat, agama, bahasa, dan keseragaman yang lain. Ada pendapat menarik dari Cuellar (dalam Hidayat, 2009: 40), yaitu setiap usaha yang memaksakan keseragaman atas kebhinekaan ini merupakan tanda-tanda awal kematian. Pernyataan ini memang terdengar ekstrim, tetapi bukannya tanpa alasan, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lain. Maka, apa jadinya ketika dunia ini semuanya sama, tidak ada perbedaan dan tentunya tidak ada warna warni kehidupan. Lebih lanjut dikatakan bahwa khusus dalam hubungannya dengan keberagaman bahasa dikatakan bahwa kebhinekaan bahasa (linguistic diversity) merupakan aset kemanusiaan yang tidak ternilai harganya, dan hilangnya sebuah bahasa merupakan pemiskinan (impoverishment) akan sumber pengetahuan dan pikiran masyarakatnya.  
Bahasa dan Budaya
Hubungan Bahasa dan Budaya
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Chaer, dkk, 2010: 165) bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan. Namun, pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Masinambouw (dalam Chaer, dkk, 2010: 165) menyatakan bahwa bahasa (istilah beliau kebahasaan) dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, dua jenis fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
Sebagai contoh dalam bahasa Bima yang membuktikan bahwa bahasa memiliki hubungan erat dengan kebudayaan. untuk di lia kai (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua), seperti contoh yang penulis deskripsikan sebelumnya, selain karena persoalan fonologi dan morfologi bahasa, itu juga disebabkan karena budaya Bima yang dikenal dengan tingkat kesopanan yang tinggi sehingga istilah di lia kai  merupakan bagian dari kebudayaan Bima yang masih melekat sampai saat ini.
Fenomena antara Bahasa dan Budaya
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Oleh karena itu, bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik (Chaer, 2010: 286) menyatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Misalnya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.
Begitu juga dalam bahasa Bima, misalnya Uta (Ikan) bukan hanya binatang yang hidup dalam air. Akan tetapi, Uta tersebut bukan hanya ikan laut melainkan juga daging yang digunakan juga sebagai lauk. Ada juga istilah atay frase Uta mbeca (Sayur mayur) yang menambah makna dari istilah uta tadi.  
Mengapa hal ini bisa terjadi? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyarakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga berarti adik.
Kebijakan Pemerintah terhadap Bahasa Daerah di Indonesia
     Dalam UUD 1945 Bab XV Pasal 36 Bahasa Daerah yangg masih dipakai sebagai alat hubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh Negara. Kemudian pasal 37 ayat 1 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa bahan kajian bahasa mencakup bahasa Ibu, bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan pertimbangan. Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya.
Bahasa daerah dan Bahasa Indonesia yang digunakan secara bergantian menjadikan masyarakat Indonesia menjadi dwibahasawan. Menurut Mackey dan Fishman (Chaer, 2010: 84) kedwibahasaan diartikan sebagai “...penggunaan dua bahasa oleh penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian”.
      Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka isi artikel nonpenelitian ini dapat penulis simpulkan, bahwa Bahasa Bima memiliki keunikan-keunikan yang fantastis yang identitasnya sejalan dengan keunikan-keunikan bahasa di dunia. Keunikan sebuah bahasa akan menggambarkan ciri khas dan karakteristik sebuah daerah. Keunikan bahasa Bima yaitu adanya proses morfofonemik berupa penghilangan fonem atau segmen pada konsonan akhir baik nomina, pronomina maupun numeralia yang terjadi dalam bahasa Bima karena kosakata daerah yang selalu diujar dengan huruf mati dan disebut juga gejala reduksi yang namanya apokop. Kemudian Setiap nama panggilan, kepada yang lebih tua (di lia kai/ panggilan penghormatan kepada yang lebih tua) akan terjadi perubahan fonem. Perubahan fonem ini dapat dikatakan sebagai modifikasi vokal.
     Dalam UUD 1945 Bab XV Pasal 36 Bahasa Daerah yangg masih dipakai sebagai alat hubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh Negara. Kemudian pasal 37 ayat 1 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa bahan kajian bahasa mencakup bahasa Ibu, bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan pertimbangan. Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara.
       Tentu kita tidak ingin kehilangan begitu banyak kekayaan budaya bangsa. Bahasa daerah harus tetap kita lestarikan, menjadi bahasa yang dikuasai selain bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Oleh karena itu, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah. Terpinggirnya bahasa daerah juga disebabkan karena terjadinya pertarungan budaya sebagai dampak dari perkembangan budaya yang tumbuh sedemikian cepat. Salah satu cara melestarikan bahasa daerah adalah dengan cara memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan. Tidak hanya ditingkat pendidikan sekolah dasar, namun juga tingkat pendidikan di atasnya. Guru yang mengampu mata pelajaran ini, juga harus benar-benar kompeten di bidangnya. Bukan merupakan guru ‘comot’ dari mata pelajaran lainnya.
      Oleh karena itu, diperlukan usaha yang keras dari semua pihak dalam memvitalisasikan kembali peran dari bahasa daerah sebagai bahasa asli daerah setempat. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan begitu saja kepada pemerintah lewat dewan bahasa atau apapun. Akan tetapi, semua pihak mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan daerah setempat untuk bisa mempertahankan kearifan lokal berupa bahasa daerah tersebut.
Daftar Rujukan
Anonim. 2008. 169 Bahasa Daerah Terancam Punah. Kompas, 12 Agustus 2008.
Ajisapto, Dwi. 2008. Peranan bahasa daerah dalam persatuan bangsa. Wordpress.com, (online),(http://asefamani.wordpress.com/2008/09/08/peranan-bahasa-Daerah-dalam-persatuan-bangsa/html. Diakses 28 November 2012). 2011. pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing. Blogspot.com,(online),(http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/02/26/pengaruh-bahasa-daerah-Dan-bahasa-asing/html. Diakses 28 November 2012)
Chaer. 2010. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Agustina. 2010. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Hidayat. 2009. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Maman, Gunawan (Ed) 2009. Pemertahanan Bahasa Bima di NTB.  Bima: Bima Press. 
Muslich, Masnur. 2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia, Kajian Ke arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
______Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari 2011. Diakses 28 November 2012.
______Potensi Daerah Kabupaten Bima. Situs Pemkab Bima. Diakses 28 November 2012.
Rifaid. 2010. Kamus Bahasa Inggris, Indonesia, Bima (Mbojo). Kota Bima: Yayasan Pendidikan Islam (As Saba).
Sugerman. 2011. Gejala-Gejala Bahasa Bima dalam Kajian Fonologi dan Morfologi. Lombok Post, hlm. 10.
Sugono, Dendy, dkk. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik.Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Thalib, Ariyanti. 2012. kedudukan dan fungsi bahasa daerah. Blogspot.com (online),(http://pendidikanmatematika2011.blogspot.com/2012/04/khusnul-khatimah.html. diakses 28 November 2012).