Analisis
Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Bima
Dialek
Donggo
Sugerman
E-mail.dompucities@gmail.com
Mahasiswa
Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Islam Malang
Alamat
Korepondensi: Gang
18 Depan ATM BNI Unisma, Nomor Kos 1206 Kelurahan Dinoyo Kecamatan
Lowokwaru Kota Malang
Hp
(082232853786/ 087866748806).
Abstrak: Proses afiksasi kata
kerja Bahasa Bima dialek Donggo yaitu prefiks, sufiks, dan konfiks;
proses reduplikasi yaitu reduplikasi seluruh dengan penyekat ka
dan memunyai konsonan bilabial /p/,
reduplikasi sebagian, reduplikasi yang berkombinasi dengan pembubuhan
afiks, dan reduplikasi dengan perubahan fonem dengan penyekat ra;
komposisi yaitu komposisi dasar dan komposisi berafiks; memunyai
konsonan ganda (kluster); penambahan fonem hamzah atau glotal stop
(?); dan memunyai tanda sempang pada konsonan laminobilabial /b/ dan
/d/ sehingga menjadi fonem konsonan laminobilabial implosif /ḇ/ dan
/ḏ/.
Kata kunci: morfologi, kata
kerja, bahasa bima, dialek donggo
Abstract: Process of
affixation Bima language verbs, especially Donggo dialect are prefix,
suffix, and confix; process reduplication with all combination ka
and own consonant bilabial /p/, reduplication
one half, reduplication that combination with affix, and
reduplication with change of combination phoneme ra;
the compound are basic compound and affix compound; possess multiple
consonant (cluster); adding to hamzah phoneme or glotal stop (?); and
have symbol enough consonant laminobilabial /b/ and /d/ so that to
become consonant laminobilabial implosif phoneme /ḇ/ and /ḏ/.
Keywords:
morphologi, verbs, bima language, donggo dialect
PENDAHULUAN
Sejak zaman dahulu, bahkan mungkin semenjak zaman
manusia diciptakan, bahasa merupakan salah satu aspek yang tidak
dapat dipisahkan dari seluruh kehidupan umat manusia. Oleh karena
itu, bahasa sampai saat ini merupakan salah satu persoalan yang
sering dimunculkan dan dicari jawabannya. Mulai dari pertanyaan “Apa
itu bahasa?” sampai dengan “Dari mana asal mula bahasa itu?”.
Pertanyaan-pertanyaan menggelitik inilah yang kemudian menjadikan
suatu bahasa sebagai persoalan yang menghasilkan jawaban-jawaban yang
menurut hemat penulis belum memuaskan.
Banyak jawaban dari teori yang telah diungkapkan. Akan
tetapi, semuanya belum memuaskan. Mengapa demikian? karena bahasa
senantiasa hadir dan dihadirkan. Ia berada dalam diri manusia, dalam
alam, dalam sejarah, dalam wahyu Tuhan. Ia hadir karena karunia Tuhan
sang pencipta alam raya. Tuhan itu sendiri menampakkan diri pada
manusia bukan melalui Zat-Nya, akan tetapi melalui bahasa-Nya, yaitu
bahasa alam dan kitab suci (Hidayat, 2009:21).
Bahasa merupakan karunia Tuhan untuk manusia, maka upaya
mengetahuinya merupakan suatu kewajiban dan sekaligus merupakan amal
saleh. Jika seseorang mampu mengetahui berbagai bahasa, maka ia sudah
pasti termasuk orang yang banyak pengetahuannya. Jika dia banyak
pengetahuannya, maka dia termasuk orang yang beriman. Dialah yang
derajatnya diangkat oleh Tuhannya, “Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu”. Hidup tanpa
ilmu bagaikan berjalan ditengah malam yang gelap gulita tanpa
secercah cahaya. Dengan demikian, memelajari bahasa adalah bentuk
ibadah yang harus kita lakukan.
Bahasa merupakan sistem tanda bunyi ujaran yang bersifat
arbitrer atau sewenang-wenang. Bahasa mempunyai sistem yang sifatnya
mengatur. Bahasa merupakan suatu lembaga yang memiliki pola-pola atau
aturan-aturan yang dipatuhi dan digunakan (kadang-kadang tanpa sadar)
oleh pembicara dalam komunitas saling memahami. Berdasarkan
pengertian ini, bahasa secara substansi bahasa merupakan bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Hal ini sejalan dengan berbagai
pendapat bahwa asal mula sebuah bahasa adalah bahasa lisan, sehingga
menurut hemat penulis bahwa bahasa lisan tersebut merupakan lambang
bunyi yang dikeluarkan oleh alat ucap manusia. Bunyi bahasa diatur
oleh tata bunyi dan karena itulah bahasa merupakan sistem. Kumpulan
bunyi untuk menyebutkan sesuatu diluar. biasa tidak diatur secara
ketat, tetapi semaunya penutur sesuai dengan konvensi masyarakat.
Dalam linguistik mikro kita mengenal ilmu yang
memelajari asal mula pembentukan kata atau sistem pembentukan kata
yang disebut morfologi. Morfologi (atau tata bentuk; inggr.
Morphology, dulu juga
morphemics) adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan
bagian-bagian kata secara gramatikal (Verhaar, 1983:52). Secara
etimologis kata morfologi berasal dari kata morf
yang berarti “bentuk” dan kata logi
yang berarti “ilmu”. Jadi, secara harfiah kata morfologi berarti
“ilmu mengenai bentuk”. Di dalam kajian linguistik, morfologi
berarti “ilmu mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata”
(Chaer, 2009:3). Adapun menurut Sukri (2008:3) morfologi adalah
cabang ilmu bahasa (linguistik) yang berhubungan dengan struktur
internal kata serta korespondensi antara bentuk dan makna kata-kata
secara sistematis. Nida (dalam Sukri, 2008:8)
mendefinisikan morfologi sebagai berikut: “Morphology
is the study of morphemes and their arrangements in for ming word”.
Tampak jelas definisi tersebut mengisyaratkan bahwa morfologi adalah
studi tentang morfem dan aturannya atau kaidahnya dalam pembentukan
kata. Oleh karena itu, apapun bentuk dan jenis
bahasa pasti mengalami proses pembentukan kata atau ihwal pembentukan
kata termasuk berbagai macam bahasa daerah di Indonesia.
Istilah tata bahasa tradisional yang
dikemukan oleh Alisjahbana bahwa verba atau yang
lebih dikenal sebagai kata kerja adalah semua kata yang menyatakan
perbuatan atau laku. Selanjutnya verba adalah kata yang menyatakan
tindakan atau perbuatan (Chaer, 2010:166). Dalam bahasa Bima memunyai
ciri-ciri verba yang melekat pada satuan bahasa. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan (Rachman, dkk, 1985: 14) bahwa verba memunyai
ciri internal kata kerja yang timbul akibat proses morfologis yang
dialaminya. Ciri sebagai penanda formal kelas verba dalam bahasa Bima
ialah dengan hadirnya morfem imbuhan (afiks) berupa awalan (prefiks),
akhiran (sufiks), dan konfiks.
Bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama
oleh pendukungnya. Namun, karena pendukung bahasa merupakan kumpulan
manusia yang beragam, wujud bahasa yang menjadi tidak seragam (bahasa
itu menjadi bervariasi). Untuk mengkaji hal tersebut, maka munculnya
cabang ilmu linguistik yang disebut dialektologi yang mengkaji
tentang varian bahasa. Dialek berasal dari kata Yunani dialektos
yang berpadanan dengan logat.
Kata ini mula-mula digunakan untuk menyatakan sistem kebahasaan yang
digunakan oleh suatu masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya
yang bertetangga tetapi menggunakan sistem yang erat hubungannya.
Sementara itu, dialektologi
berasal dari paduan kata dialek
yang berarti varian bahasa dan logi
yang berarti ilmu. Berdasarkan etimologi kata itu, jadi dialektologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang dialek atau ilmu yang
mempelajari varian bahasa (Zulaeha, 2010:1). Varian bahasa Bima
seperti yang dijelaskan di atas terdapat empat macam dialek yang
mencolok yang digunakan oleh masyarakat penutur bahasa tersebut. Oleh
karena itu, variasi kata kerja bahasa Bima dialek Donggo yang
selanjutnya disebut KKBBDD merupakan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat suku Donggo yang berada dipesisir Kabupaten Bima dan
sebagian berada di Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat.
Bahasa daerah merupakan sebuah identitas dan kekayaan
suatu kelompok masyarakat yang dijadikan sebagai alat tutur dalam
berkomunikasi dengan sekelompok masyarakat bahasa. Ada ungkapan
“Bahasa menunjukkan bangsa”. Ungkapan ini berarti tutur kata
seseorang akan menunjukkan bagaimana sifat dan watak orang itu.
Alangkah indahnya keberagaman seni, ragam, dialek
dan tradisi disetiap daerah di Indonesia.
Dalam era Globalisasi keberadaan bahasa daerah
menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Bahasa daerah mulai
ditinggalkan penuturnya dalam pergaulan atau kegiatan antarmanusia
karena dominannya bahasa asing yang menguasai berbagai bidang.
Keadaan itu banyak dirasakan oleh pengguna bahasa daerah yang, antara
lain, menyadari bahwa bahasa daerahnya kehilangan otoritas publiknya
dan menjadi teks yang terkesan eksklusif.
TUJUAN
PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian secara khusus dalam penelitian
ini adalah (a) untuk mendapatkan kajian tentang sistem afiksasi kata
kerja bahasa Bima dialek Donggo, (b) untuk mendapatkan kajian tentang
sistem reduplikasi kata kerja bahasa Bima dialek Donggo, dan (c)
untuk mendapatkan kajian tentang sistem komposisi
kata kerja bahasa Bima dialek Donggo.
METODE
PENELITIAN
Pendekatan
Penelitian ini berdasarkan tujuan, tergolong penelitian
dasar dengan pendekatan kualitatif. Jenis
penelitian ini adalah etnografi.
Penelitian ini berdasarkan metode yang
digunakan tergolong kualitatif interaktif yang menggunakan teknik
tatap muka (Face to face interaction)
untuk mengumpulkan data. Face
to face interaction dalam penelitian ini
adalah tata muka antara peneliti dengan penutur KKBBDD.
Setting
dan Subjek Penelitian
Setting penelitian dalam penelitian ini yakni terdiri
atas satu desa pengamatan yaitu di desa Karamabura Kecamatan Dompu
Kabupaten Dompu NTB. Untuk meminimalisir waktu dan tenaga dalam
melakukan penelitian ini, penulis hanya menggunakan 3 (tiga) orang
informan. Oleh karena itu, syarat-syarat yang dilakukan dalam
pemilihan informan adalah sebagai berikut:
- Berjenis kelamin pria dan wanita
- Berusia antara 20-65 tahun
- Dilahirkan dan dibesarkan di daerah Donggo
- Memiliki kebanggaan terhadap dialeknya
- Dapat berbahasa Bima
- Dapat berbahasa Indonesia
- Sehat jasmani dan ruhani (modifikasi dari Mahsun, 2012:134).
Teknik
Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang memadai dalam penelitian ini,
ditetapkan tiga metode pengumpulan data, yaitu (1) metode simak
(pengamatan/ observasi), (2) metode cakap (wawancara), dan (3) metode
introspeksi (Mahsun, 2012:92).
Instrumen
Penelitian
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) pedoman wawancara, (b)
catatan lapangan, dan (c) dokumentasi kegiatan.
Teknik
Analisis Data
Dalam
penelitian teknik analisis data yang digunakan akan (a) metode padan
teknik referensial dan translasional, dan (b) metode distribusional
teknik interupsi (sisip). Teknik referensial digunakan dalam upaya
menjelaskan makna pembentukan KKBBDD baik itu afiksasi, reduplikasi,
maupun komposisi.
Contoh penggunaan teknik ini, misalnya pada afiksasi yakni prefiks
{ma-} pada BD {tulle} bermakna ‘dorong’, setelah mengalami proses
morfologi menjadi {matulle} bermakna ‘yang mendorong’. Melekatnya
prefiks {ma-} pada setiap bentuk dasar bermakna menyatakan persona
pelaku yang melakukan aktivitas atau laku. Teknik translasional
digunakan untuk melihat kesamaan dan perbedaan antara pembentukan
afiks yang satu dengan afiks yang lain, misalnya melihat kesamaan
prefiks {ma-} dengan prefiks {na-} atau perbedaan konfiks
{ra-na} dengan konfiks
{ma-na}. Adapun, teknik sisip antara lain digunakan untuk
mengidentifikasi apakah bentuk-bentuk kata tersebut termasuk kelas
kata kerja atau bukan, apakah pada kata tersebut akan bermakna kata
kerja setelah terjadi proses afiksasi, reduplikasi dan komposisi
atau bukan.
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data
Sistem Afiksasi Kata Kerja Bahasa Bima Dialek Donggo
Afiksasi
adalah suatu satuan gramatikal terikat yang terdapat dalam satu unsur
yang bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan yang melekat pada
satuan lain untuk membentuk kata atau kata baru
(Ramlan, 1985:50). Dilihat dari posisi melekatnya pada bentuk dasar,
maka afiksasi dalam KKBBDD dibedakan menjadi tiga antara lain
prefiks, sufiks, dan konfiks. Berikut akan dipaparkan data temuan dan
hasil penelitian yang telah penulis teliti.
Prefiks
Prefiks adalah satuan morfem yang
diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses prefiksasi
(Verhaar,
2010:107).
Adapun Chaer (2003:178) bahwa
prefiks adalah afiks yang
diimbuhkan di muka bentuk dasar. Oleh karena itu, secara
umum prefiks diartikan sebagai peristiwa pembubuhan afiks yang
diimbuhkan di muka bentuk dasar.
Bentuk
dasar yang dilekati prefiks {ma-}
Prefiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{ma-}
|
+
|
tulle
|
→
|
matulle
|
‘yang mendorong’
|
{ma-}
|
+
|
ce?i
|
→
|
macce?i
|
‘yang menggendong’
|
Prefiks {ma-} pada bentuk dasar {tulle} dan {ce?i}
memiliki karakteristik sebagai persona pelaku dan memunyai konsonan
ganda (kluster) pada bentuk dasar. Pada proses pembentukan bentuk
dasar {ce?i} yang melekat pada prefiks {ma-} mengalami gejala
morfofonemik yaitu penambahan fonem, fonem yang dimaksud adalah fonem
/c/. Penambahan fonem pada bentuk dasar apabila dalam bentuk dasar
tersebut tidak memunyai konsonan ganda (kluster) dan gejala
penambahan fonem pada setiap bentuk dasar disesuaikan dengan konsonan
awal setiap bentuk dasar, misalnya pada bentuk dasar {mai} menjadi
{mammai} ‘yang datang’, {wi?i} menjadi {mawwi?i} ‘yang
menyimpan’, {tio} menjadi {mattio} ‘yang melihat’, {rai}
menjadi {marrai} ‘yang berlari’. Dari beberapa contoh di atas,
terlihat bahwa setiap bentuk dasar yang tidak memunyai konsonan ganda
akan mengalami gejala morfofonemik yaitu penambahan fonem. Oleh
karena itu, setiap bentuk dasar dalam KKBBDD yang tidak memunyai
konsonan ganda memiliki karakteristik yang sama yaitu mengalami
gejala penambahan fonem.
Dari contoh di atas, terdapat penambahan fonem hamzah
atau glotal stop (?) yang melekat pada bentuk dasar {ce?i} dan
{wi?i}. Melekatnya glotal stop pada bentuk dasar tersebut terjadi
apabila dalam bentuk dasar terdapat fonem vokal /e/ dengan /i/ dan
/i/ dengan /i/ yang hadir secara berurutan dalam suatu kata.
Bentuk
dasar yang dilekati prefiks {ra-}
Prefiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{ra-}
|
+
|
ngahha
|
→
|
rangahha
|
‘telah makan’
|
{ra-}
|
+
|
domppo
|
→
|
radomppo
|
‘telah memotong’
|
Prefiks {ra-} pada bentuk dasar {ngahha} dan {domppo}
memiliki karakteristik sebagai kegiatan atau aktivitas yang telah
dilakukan oleh pelaku dan memunyai konsonan ganda pada bentuk dasar.
Dengan demikian, setiap bentuk dasar dalam KKBBDD baik sebelum
mengalami gejala morfologi maupun sesudah mengalami morfologis
memunyai konsonan ganda (kluster).
Bentuk
dasar yang dilekati prefiks {na-}
Prefiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{na-}
|
+
|
middi
|
→
|
namiddi
|
‘(dia) akan berhenti’
|
{na-}
|
+
|
semppa
|
→
|
nasemppa
|
‘(dia) akan menendang’
|
Prefiks {na-} pada bentuk dasar {middi} dan {semppa}
memiliki karakteristik sebagai kegiatan atau aktivitas yang belum
dilakukan oleh persona pelaku ketiga tungggal (dia), prefiks {na-}
bermakna pelaku ketiga tunggal (dia) dan memunyai konsonan ganda pada
bentuk dasar. Dengan demikian, setiap bentuk dasar dalam KKBBDD baik
sebelum mengalami gejala morfologi maupun sesudah mengalami
morfologis memunyai konsonan ganda (kluster).
Bentuk
dasar yang dilekati prefiks {ḏi-}
Prefiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{ḏi-}
|
+
|
kallu?u
|
→
|
ḏikallu?u
|
‘akan dimasukkan’
|
{ḏi-}
|
+
|
lette
|
→
|
ḏilette
|
‘akan dijemur’
|
Prefiks {ḏi-} pada bentuk dasar {kallu?u} dan {lette}
memiliki karakteristik sebagai kegiatan atau aktivitas yang belum
dilakukan oleh persona pelaku dan memunyai konsonan ganda pada bentuk
dasar, prefiks {ḏi-} berfungsi membentuk verba pasif. Dalam KKBBDD
memunyai konsonan laminobilabial implosif seperti bunyi /ḇ/ dan
/ḏ/, konsonan awal pada prefiks ini memunyai tanda sempang di bawah
hurufnya sehingga bunyi laminobilabial /d/ menjadi laminolbilabial
implosif /ḏ/.
Dari contoh di atas, terdapat penambahan fonem hamzah
atau glotal stop (?) yang melekat pada bentuk dasar {kallu?u}.
Melekatnya glotal stop pada bentuk dasar tersebut terjadi apabila
dalam bentuk dasar terdapat fonem vokal yaitu /u/ dengan /u/ yang
hadir secara berurutan dalam suatu kata.
Bentuk
dasar yang dilekati prefiks {ku-}
Prefiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{ku-}
|
+
|
hintti
|
→
|
kuhintti
|
‘(saya) akan menghisap’
|
{ku-}
|
+
|
ngenna
|
→
|
kungenna
|
‘(saya) akan menunggu’
|
Prefiks {ku-} pada bentuk dasar {hintti} dan {ngenna}
memiliki karakteristik sebagai kegiatan atau aktivitas yang belum
dilakukan oleh persona pelaku pertama tungggal (saya) dan memunyai
konsonan ganda pada bentuk dasar, prefiks {ku-} bermakna pelaku
pertama tunggal (saya).
Bentuk
dasar yang dilekati prefiks {da-}
Prefiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{da-}
|
+
|
nggawwi
|
→
|
danggawwi
|
‘tidak dipancing’
|
{da-}
|
+
|
mai
|
→
|
dammai
|
‘tidak datang
|
Prefiks {da-} pada bentuk dasar {nggawwi} dan {mai}
memiliki karakteristik sebagai kegiatan atau aktivitas yang
menyangkal (negatif) dan memunyai konsonan ganda pada bentuk dasar
kecuali pada bentuk dasar {mai}, serta membentuk verba pasif. Prefiks
{da-} yang melekat pada bentuk dasar {mai} mengalami gejala
morfofonemik yaitu penambahan fonem /m/ menjadi {dammai}.
Bentuk
dasar yang dilekati prefiks ganda {mada-}
Prefiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{mada-}
|
+
|
horro
|
→
|
madahorro
|
‘yang tidak gugur’
|
{mada-}
|
+
|
nunttu
|
→
|
madanunttu
|
‘yang tidak berbicara’
|
Prefiks ganda {mada-} pada bentuk dasar {horro} dan
{nunttu} memiliki karakteristik sebagai kegiatan atau aktivitas yang
menyangkal (negatif) yang dilakukan oleh persona pelaku serta
memunyai konsonan ganda pada bentuk dasar. Bentuk dasar {horro} pada
bentuk tersebut merupakan bentuk nomina yang mengarah pada daun,
sehingga setelah mengalami proses morfologi, maka bentuk tersebut
menjadi verba aktif, inilah yang disebut sebagai gejala derivasi
KKBBDD. Prefiks {mada-} berfungsi membentuk persona pelaku yang
melakukan aktivitas yang menyangkal.
Sufiks
Sufiks adalah satuan morfem yang
diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses sufiksasi
(Verhaar,
2010:107). Adapun
Chaer (2003:178) bahwa sufiks
adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar. Oleh
karena itu, secara umum sufiks diartikan
sebagai peristiwa pembubuhan afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir
bentuk dasar.
Bentuk
dasar yang dilekati sufiks {-pu}
Sufiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{-pu}
|
+
|
tuḇḇa
|
→
|
tuḇḇapu
|
‘tusuklah ’
|
{-pu}
|
+
|
wi?i
|
→
|
wi?ipu
|
‘simpanlah’
|
Sufiks {-pu} pada bentuk dasar {tuḇḇa} dan {wi?i}
memiliki karakteristik sebagai imperatif kepada persona pelaku dan
memunyai konsonan ganda pada bentuk dasar kecuali {wi?i}, sufiks
{-pu} berfungsi imperatif. Seperti yang telah diuraikan pada beberapa
contoh diprefiks KKBBDD, bahwa dalam bahasa Bima memunyai
laminobilabial implosif /ḇ/ yang menjadi karakteristik bahasa Bima
sehingga terdapat bentuk seperti {tuḇḇa}, dan terdapat penambahan
fonem hamzah atau glotal stop (?) pada bentuk dasar {wi?i}, hal
terjadi karena dalam bentuk dasar tersebut terdapat fonem vokal /i/
dengan /i/ yang hadir secara berurutan.
Bentuk
dasar yang dilekati sufiks {-ra}
Sufiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{-ra}
|
+
|
pamme
|
→
|
pammera
|
‘kunyahlah dengan segera’
|
{-ra}
|
+
|
Kantta
|
→
|
kanttara
|
‘laranglah dengan segera’
|
Sufiks {-ra} pada bentuk dasar {pamme} dan {kantta}
memiliki karakteristik sebagai imperatif kepada persona pelaku untuk
segera dilakukan dan memunyai konsonan ganda pada bentuk dasar,
sufiks {-ra} berfungsi imperatif.
Bentuk
dasar yang dilekati sufiks {-si}
Sufiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{-si}
|
+
|
ka?ihha
|
→
|
ka?ihhasi
|
‘seandainya rusak’
|
{-si}
|
+
|
pehhe
|
→
|
pehhesi
|
‘seandainya disebut’
|
Sufiks {-si} pada bentuk dasar {ka?ihha} dan {pehhe}
memiliki karakteristik sebagai pengandaian kepada persona pelaku yang
melakukan aktivitas dan memunyai konsonan ganda pada bentuk dasar,
sufiks {-si} berfungsi pengandaian dan membentuk verba pasif. Seperti
yang telah diuraikan pada beberapa contoh diprefiks KKBBDD, bahwa
dalam bahasa Bima terdapat penambahan fonem hamzah atau glotal stop
(?) pada bentuk dasar {ka?ihha}, hal terjadi karena dalam bentuk
dasar tersebut terdapat fonem vokal /a/ dengan /i/ yang hadir secara
berurutan.
Bentuk
dasar yang dilekati sufiks {-ro}
Sufiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{-ro}
|
+
|
kanggihhi
|
→
|
kanggihhiro
|
‘apakah akan berladang’
|
{-ro}
|
+
|
toḏḏo
|
→
|
toḏḏoro
|
‘apakah akan diikat’
|
Sufiks {-ro} pada bentuk dasar {kanggihhi} dan {toḏḏo}
memiliki karakteristik sebagai interogatif kepada persona pelaku yang
belum melakukan aktivitas dan memunyai konsonan ganda pada bentuk
dasar, sufiks {-ro} berfungsi intergatif dan membentuk verba pasif.
Seperti yang telah diuraikan pada beberapa contoh diprefiks KKBBDD,
bahwa dalam bahasa Bima memunyai laminobilabial implosif /ḏ/ yang
menjadi karakteristik bahasa Bima sehingga terdapat bentuk seperti
{toḏḏo}.
Bentuk
dasar yang dilekati sufiks {-ni}
Sufiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{-ni}
|
+
|
issu
|
→
|
issuni
|
‘keramaslah’
|
{-ni}
|
+
|
cencce
|
→
|
cencceni
|
‘berdebatlah’
|
Sufiks {-ni} pada bentuk dasar {issu} dan {cencce}
memiliki karakteristik yang sama dengan sufiks {pu-} sebagai
imperatif kepada persona pelaku dan memunyai konsonan ganda pada
bentuk dasar yang , sufiks {-ni} berfungsi imperatif.
Konfiks
Konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang
bagian pertama berpreposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian yang
kedua berpreposisi pada akhir bentuk dasar (Chaer,
2003:179).
Karena konfiks ini merupakan morfem terbagi, maka kedua bagian dari
afiks itu dianggap sebagai satu kesatuan, dan pengimbuhannya
dilakukan sekaligus, tidak ada yang lebih dahulu dan tidak ada yang
lebih kemudian. Oleh karena
itu, konfiks juga diartikan sebagai
peristiwa pembubuhan afiks yang diimbuhkan pada posisi di awal dan di
akhir bentuk dasar.
Bentuk
dasar yang dilekati konfiks {na-ra}
Konfiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{na-ra}
|
+
|
turru
|
→
|
naturrura
|
‘(dia) akan menunjuk’
|
{na-ra}
|
+
|
ceppe
|
→
|
naceppera
|
‘(dia) akan mengganti’
|
Konfiks {na-ra} pada bentuk dasar {turru} dan {ceppe}
memiliki karakteristik sebagai aktivitas yang belum dilakukan oleh
pelaku persona ketiga tunggal (dia) dan memunyai konsonan ganda pada
bentuk dasar, konfiks {na-ra} bermakna persona ketiga tunggal (dia).
Bentuk
dasar yang dilekati konfiks {na-ku}
Konfiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{na-ku}
|
+
|
maḇḇu
|
→
|
namaḇḇuku
|
‘(saya) akan jatuh’
|
{na-ku}
|
+
|
nonno
|
→
|
nanonnoku
|
‘(saya) akan meminum’
|
Konfiks {na-ku} pada bentuk dasar {maḇḇu} dan
{nonno} memiliki karakteristik sebagai aktivitas yang belum dilakukan
oleh pelaku persona pertama tunggal (saya) dan memunyai konsonan
ganda pada bentuk dasar, konfiks {na-ku} bermakna persona pertama
tunggal (saya). Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam
KKBBDD memunyai tanda sempang pada konsonan laminobilabial /b/
menjadi laminobilabial implosif /ḇ/, sehingga terdapat bentuk
seperti {maḇḇu}.
Bentuk
dasar yang dilekati konfiks {na-si}
Konfiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{na-si}
|
+
|
kappu
|
→
|
nakappusi
|
‘seandainya (dia) menutup’
|
{na-si}
|
+
|
kanggicca
|
→
|
nakanggiccasi
|
‘seandainya (dia) berteriak’
|
Konfiks {na-si} pada bentuk dasar {kappu} dan
{kanggicca} memiliki karakteristik sebagai pengandaian terhadap
aktivitas yang dilakukan oleh pelaku persona ketiga tunggal (dia) dan
memunyai konsonan ganda pada bentuk dasar, konfiks {na-si} bermakna
persona ketiga tunggal (dia) dan berfungsi pengandaian.
Bentuk
dasar yang dilekati konfiks {ti-ku}
Konfiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Kons truksi
|
Makna
|
|||||
{ti-ku}
|
+
|
hadde
|
→
|
tihaddeku
|
‘(saya) tidak bunuh’
|
|||||
{ti-ku}
|
+
|
macco
|
→
|
timaccoku
|
‘(saya) tidak cangkul’
|
Konfiks {ti-ku} pada bentuk dasar {hadde} dan {macco}
memiliki karakteristik sebagai aktivitas yang menyangkal (negatif)
yang dilakukan oleh pelaku persona pertama tunggal (saya) dan
memunyai konsonan ganda pada bentuk dasar, konfiks (ti-ku} bermakna
persona pertama tunggal (saya) dan berfungsi menyangkal (negatif).
Sistem
Reduplikasi Kata Kerja Bahasa Bima Dialek Donggo
Reduplikasi atau lebih dikenal sebagai pengulangan
adalah proses morfologis yang mengubah sebuah leksem menjadi kata
setelah mengalami proses proses morfologis reduplikasi, entah
dwipurwa (pengulangan suku awal), entah dwilingga (pengulangan
penuh), entah dwilingga salin suara (pengulangan yang berubah bunyi),
dan entah pengulangan dwiwasana (pengulangan suku akhir) (Arifin dan
Junaiyah, 2009:11). Adapun Sukri (2008:56) reduplikasi adalah
pengulangan satuan gramatik, baik unsur yang diduplikasi itu
sebagian; baik dengan disertai variasi fonem atau segmen maupun tanpa
disertai variasi fonem atau segmen. Dalam KKBBDD terdapat empat macam
reduplikasi yaitu pengulangan seluruh dengan penyekat ka,
pengulangan sebagian, pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhan
afiks, dan pengulangan dengan
perubahan fonem dengan penyekat.
Reduplikasi Seluruh dengan Penyekat ka
Bentuk Dasar
|
|
Reduplikasi Seluruh
|
Makna
|
tulle
|
→
|
tulle ka tullep
|
‘mendorong-dorong dengan segera’
|
ce?i
|
→
|
ce?i ka ce?ip
|
‘menggendong-gendong
dengan segera’
|
Reduplikasi seluruh dengan penyekat ka
memunyai bentuk dasar {tulle}, {ce?i} dan bentuk berulang {tullep},
{ce?ip} berfungsi
imperatif untuk
menyatakan perintah untuk dilaksanakan dengan segera.
Dalam bentuk ini ada hal yang
unik pada
bentuk berulang KKBBDD yaitu adanya
konsonan hambat bilabial /p/ dan
melekatnya ka sebagai
penyekat yang menghubungkan antara bentuk dasar dengan bentuk
berulang.
Reduplikasi
Sebagian
Bentuk Dasar
|
|
Reduplikasi Sebagian
|
Makna
|
kallu?u
|
→
|
kallu?u-lu?u
|
‘memasuk-masukkan’
|
ka?ihha
|
→
|
ka?ihha-ihha
|
‘merusak-rusakkan’
|
Reduplikasi sebagian memunyai bentuk dasar {kallu?u},
{ka?ihha} dan bentuk berulang {lu?u}, {ihha} berfungsi
deklaratif. Namun,
ada juga hal yang unik dalam pembentukan satuan reduplikasi sebagian
yaitu dibentuk oleh bentuk berulang yang berkelas kata adjektiva
yaitu pada bentuk berulang {ihha}
bermakna ‘rusak’.
Reduplikasi yang Berkombinasi dengan Pembubuhan Afiks
Bentuk Dasar Berulang yang dilekati afiks {ma-na}
Bentuk Dasar
|
Reduplikasi dan Pembubuhan Afiks
|
|
Hasil Reduplikasi
|
Makna
|
tulle
|
{ma-} R {-na}
|
→
|
matulle-tullena
|
‘yang telah mendorong-dorong’
|
ce?i
|
{ma-} R {-na}
|
→
|
mace?i-ce?ina
|
‘yang telah menggendong-gendong’
|
Reduplikasi
yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks memunyai bentuk
dasar {tulle}, {ce?i} yang melekat pada afiks {ma-na} menjadi bentuk
berulang {matulle-tullena}, {mace?i-ce?ina}, afiks {ma-na}
bermakna persona pelaku dan menyatakan
sesuatu yang telah terjadi.
Bentuk
Dasar Berulang yang dilekati afiks {ra-na}
Bentuk Dasar
|
Reduplikasi dan Pembubuhan Afiks
|
|
Hasil Reduplikasi
|
Makna
|
ngahha
|
{ra-} R {-na}
|
→
|
rangahha-ngahhana
|
‘(dia) telah makan-makan’
|
domppo
|
{ra-} R {-na}
|
→
|
radomppo-domppona
|
‘(dia) telah memotong-motong’
|
Reduplikasi
yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks memunyai bentuk
dasar {ngahha}, {domppo} yang melekat pada afiks {ra-na} menjadi
bentuk berulang {rangahha-ngahhana}, {radomppo-domppona}, afiks
{ra-na} bermakna persona
pelaku ketiga tunggal (dia)
dan menyatakan sesuatu yang telah terjadi.
Reduplikasi dengan Perubahan fonem dengan Penyekat ra
Bentuk Dasar
|
Reduplikasi dengan Perubahan Fonem
dengan Penyekat ra
|
|
Hasil Reduplikasi
|
Makna
|
ntaddi
|
Penyekat {-ra-}
|
→
|
ntaddi ra nteddi
|
‘berternak-ternak’
|
Salla
|
Penyekat {-ra-}
|
→
|
salla ra palla
|
‘bersalam-salaman’
|
Reduplikasi
dengan perubahan fonem dengan penyekat ra,
data di atas memunyai BD {ntaddi}, {salla} dan bentuk berulang
{nteddi}, {palla}. Bentuk
berulang dari konstruksi tersebut merupakan morfem terikat yang tidak
dapat berdiri dan akan memunyai
makna ketika sudah melekat pada bentuk dasar.
Selain dari itu, ada juga gejala morfofonemik adalah proses
berubahnya suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem awal
atau fonem yang mendahuluinya. Gejala
morfofonemik KKBBDD yang mengalami perubahan fonem vokal terdapat
pada konstruksi {ntaddi ra nteddi} mengalami perubahan fonem dari
fonem vokal /a/ menjadi fonem vokal /e/;
dan perubahan fonem konsonan
terdapat pada konstruksi {salla ra palla} mengalami perubahan fonem
dari fonem konsonan /s/ menjadi fonem konsonan /p/.
Sistem
Komposisi
Kata Kerja Bahasa Bima Dialek Donggo
Komposisi atau yang dikenal dengan pemajemukan adalah
konstruksi yang terdiri atas dua morfem atau dua kata atau lebih:
konstruksi ini bisa berupa: akar dengan akar, pokok dengan pokok,
atau akar dengan pokok (pokok dengan akar) yang mempunyai satu
pengertian (Samsuri,
1987:199). Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa komposisi adalah satuan
konstruksi morfem yang melekat pada bentuk lain sehingga membentuk
konstruksi baru, membentuk arti baru, dan tidak bisa disisipi dengan
bentuk lain. Dalam KKBBDD dikenal dua jenis komposisi yaitu komposisi
dasar dan komposisi berafiks.
Komposisi
Bentuk Dasar
Komposisi yang dibentuk dari verba dengan verba
Verba
|
Verba
|
|
Hasil Komposisi
|
Makna
|
tio ‘melihat’
|
gei ‘lotot’
|
→
|
tio gei
|
‘melirik’
|
co?o ‘melepas’
|
wi?i ‘simpan’
|
→
|
co?o wi?i
|
‘meninggalkan’
|
Komposisi dasar di atas merupakan konstruksi
yang
dibentuk dari dua kelas kata yang sama yaitu dibentuk oleh kelas
verba sehingga membentuk komposisi verba.
Komposisi yang dibentuk dari verba dengan nomina
Verba
|
Nomina
|
|
Hasil Komposisi
|
Makna
|
kattenggo ‘memperkuat’
|
wekki ‘keluarga’
|
→
|
kattenggo wekki
|
‘makan’
|
edda ‘melihat’
|
angi ‘keluarga’
|
→
|
edda angi
|
‘bertemu’
|
Komposisi dasar di atas merupakan konstruksi
yang
dibentuk dari dua kelas kata yang berbeda
yaitu dibentuk oleh kelas
verba dan kelas nomina sehingga membentuk
komposisi verba.
Komposisi yang dibentuk dari verba dengan adjektiva
Verba
|
Adjektiva
|
|
Hasil Komposisi
|
Makna
|
mppa?a ‘bermain’
|
lallone ‘becanda’
|
→
|
mppa?a lallone
|
‘becanda’
|
nunttu ‘berbicara’
|
cowwa ‘bohong’
|
→
|
nunttu cowwa
|
‘berdusta’
|
Komposisi dasar di atas merupakan konstruksi
yang
dibentuk dari dua kelas kata yang berbeda
yaitu dibentuk oleh kelas
verba dan kelas adjektiva sehingga
membentuk komposisi verba.
Komposisi yang dibentuk dari adjektiva dengan nomina
Adjektiva
|
Nomina
|
|
Hasil Komposisi
|
Makna
|
na?e ‘besar’
|
lokko ‘perut’
|
→
|
na?e lokko
|
‘hamil’
|
tanni ‘berat’
|
wekki ‘keluarga’
|
→
|
tanni wekki
|
‘hamil’
|
Komposisi dasar di atas merupakan konstruksi
yang
dibentuk dari dua kelas kata yang berbeda
yaitu dibentuk oleh kelas
adjektiva dan kelas nomina sehingga
membentuk komposisi verba.
Komposisi
Berafiks
Prefiks
Bentuk dasar yang dilekati prefiks {ma-}
Prefiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{ma-}
|
+
|
tio gei
|
→
|
mattio gei
|
‘yang melirik’
|
{ma-}
|
+
|
co?o wi?i
|
→
|
macco?o wi?i
|
‘yang meninggalkan’
|
Prefiks {ma-} pada bentuk dasar {tio gei} dan {co?o
wi?i} memiliki karakteristik sebagai persona pelaku. Pada proses
pembentukan komposisi dasar yang selanjutnya disebut KD {co?o wi?i}
yang melekat pada prefiks {ma-} mengalami gejala morfofonemik yaitu
penambahan fonem, fonem yang dimaksud adalah fonem /c/ menjadi
{macco?o wi?i}. Penambahan fonem pada bentuk dasar apabila dalam
bentuk dasar tersebut tidak memunyai konsonan ganda (kluster) dan
gejala penambahan fonem pada setiap bentuk dasar disesuaikan dengan
konsonan awal setiap bentuk dasar. Dari beberapa contoh di atas,
terlihat bahwa setiap bentuk dasar yang tidak memunyai konsonan ganda
akan mengalami gejala morfofonemik yaitu penambahan fonem. Oleh
karena itu, setiap bentuk dasar dalam KKBBDD yang tidak memunyai
konsonan ganda memiliki karakteristik yang sama yaitu mengalami
gejala penambahan fonem. Selain dari itu, ada juga penambahan fonem
hamzah atau glotal stop (?) pada bentuk {co?o wi?i}, hal ini terjadi
karena bertemunya fonem vokal /o/ dengan /o/ dan fonem vokal /i/
dengan /i/ hadir secara berurutan membentuk sebuah kata.
Sufiks
Bentuk dasar yang dilekati sufiks {-pu}
Sufiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{-pu}
|
+
|
tio gei
|
→
|
tio geipu
|
‘liriklah’
|
{-pu}
|
+
|
co?o wi?i
|
→
|
co?o wi?ipu
|
‘tinggalkanlah’
|
Sufiks {-pu} pada bentuk dasar {tio gei} dan {co?o wi?i}
memiliki karakteristik sebagai imperatif kepada persona pelaku,
sufiks {-pu} berfungsi imperatif. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, bahwa dalam bahasa Bima terdapat penambahan fonem hamzah
atau glotal stop (?) pada KD {co?o wi?i}, hal terjadi karena dalam
bentuk dasar tersebut terdapat fonem vokal /o/ dengan /o/ dan vokal
/i/ dengan /i/ yang hadir secara berurutan.
Konfiks
Bentuk dasar yang dilekati konfiks {na-ra}
Konfiks
|
|
Bentuk Dasar
|
|
Konstruksi
|
Makna
|
{na-ra}
|
+
|
tio gei
|
→
|
nattiogeira
|
‘(dia) akan melirik’
|
{na-ra}
|
+
|
co?o wi?i
|
→
|
nacco?owi?ira
|
‘(dia) akan meninggalkan’
|
Konfiks {na-ra} pada bentuk dasar {tio gei} dan {co?o
wi?i} memiliki karakteristik sebagai imperatif yang akan dilakukan
oleh persona pelaku ketiga tunggal (dia), konfiks {na-ra} berfungsi
imperatif. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam
bahasa Bima terdapat penambahan fonem hamzah atau glotal stop (?)
pada KD {co?o wi?i}, hal ini terjadi karena dalam bentuk dasar
tersebut terdapat fonem vokal /o/ dengan /o/ dan vokal /i/ dengan /i/
yang hadir secara berurutan. Selanjutnya terdapat gejala morfofonemik
yaitu penambahan fonem setelah terjadi proses morfologi seperti
{nattiogeira} dan {nacco?owi?ira}.
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam KKBBDD terdapat Afiksasi
(Prefiks, sufiks, dan konfiks); reduplikasi (Seluruh dengan penyekat
ka dan memunyai
konsonan bilabial /p/, reduplikasi sebagian, reduplikasi yang
berkombinasi dengan pembubuhan afiks, dan reduplikasi dengan
perubahan fonem dengan penyekat ra);
komposisi (Komposisi dasar dan komposisi berafiks); memunyai konsonan
ganda (kluster); penambahan fonem hamzah atau glotal stop (?); dan
memunyai tanda sempang pada konsonan laminobilabial /b/ dan /d/
sehingga menjadi konsonan laminobilabial implosif /ḇ/ dan /ḏ/.
Tulisan
ini diharapkan bermanfaat untuk semua. Dengan demikian, dengan
hadirnya penelitian sederhana dapat menambah khasanah kekayaan bahasa
daerah di Indonesia yang sangat majemuk dan juga dapat dijadikan
sebagai data perbandingan bahasa dalam rangka melakukan studi
komparatif terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia, serta
diharapkan kepada Pemerintah untuk merancang
peraturan daerah (Perda) tentang
aturan dalam pemertahanan bahasa daerah
Bima khusus dialek Donggo.
Aturan pemertahanan bahasa melalui perda dapat menjadikan bahasa
daerah yang memunyai dialek-dialek yang beragam sebagai bagian dari
budaya kearifan lokal suatu daerah dapat dilindungi oleh peraturan
daerah. Keberadaan perda tentang pemertahanan bahasa daerah kiranya
dapat menjadikan generasi mencintai, serta menjadikan dialek-dialek
sebagai bagian dari jiwa suatu kelompok masyarakat, yang tidak malu
menggunakan dialeknya sendiri ketika berkomunikasi dengan penutur
yang berdialek lain.
Daftar
Rujukan
Alwi, Muhammad Tahir. 2003. Kamus
Bahasa Bima, Indonesia, Inggris. Mataram:
Karsa Mandiri Utama.
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa
(Struktur Internal, Pemakaian dan Pemelajaran).
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi
Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses).
Jakarta: Rineka Cipta.
Hidayat.
2009. Filsafat
Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mahsun. 2012. Metode Penelitian
Bahasa, Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rachman, Abd, dkk. 1985. Sistem
Morfologi Kata Kerja Bahasa Bima. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Ramlan. 1985. Morfologi Suatu
Tinjaun Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.
Samsuri.
1987. Analisis
Bahasa.
Jakarta: Erlangga.
Sukrin, H. Muhammad. 2008. Morfologi;
Kajian antara Bentuk dan Makna. Mataram.
Lembaga Cerdas Press.
Taman, I Wayan, dkk. 1996. Fonologi
Bahasa Bima. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Verhaar. J.W.M. 2010. Asas-Asas
Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Zulaeha, Ida. 2010. Dialektologi;
Dialek Geografi dan Dialek Sosial.
Yogyakarta: Graha Ilmu.